Menuju konten utama

Asal Muasal Air Minum Kemasan di Indonesia

Air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia bermula dari orang asing yang tak bisa mengonsumsi air rebusan. Seorang mantan pegawai Pertamina memiliki ide dan kemudian membuat pabrik AMDK. Kini, hampir semua orang di perkotaan meminumnya.

Asal Muasal Air Minum Kemasan di Indonesia
Pekerja merapikan tumpukan minuman kemasan di salah satu distributor, Jakarta, Senin (19/1). Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) menyatakan bahwa konsumsi air minum dalam kemasan selama tahun 2014 mencapai 23,1 miliar liter atau tumbuh 11,3 persen dari tahun sebelumnya yang ditopang oleh pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/15

tirto.id - Aqua, Ades, Pure Life. Tiga produk air minum dalam kemasan (AMDK) itu sudah menjadi barang familiar. Hampir setiap hari dijumpai dan diminum oleh orang-orang di perkotaan seperti Jakarta. Mendapatkannya pun mudah, cukup mendatangi minimarket atau warung kelontong terdekat. Tidak pula perlu mengeluarkan gocek yang banyak, cukup selembar Rp5 ribu pasti dapat kembalian.

Namun siapa sangka produk yang sangat mudah dan familiar di masyarakat modern itu, dulunya adalah barang yang eksklusif dan tidak sembarang orang bisa membelinya. Dulu, minuman ini, biar isinya hanya air putih, biasanya hanya diminum oleh orang-orang penting seperti tamu dari luar negeri atau wisatawan asing.

Pada awal tahun 1970-an, minuman AMDK belum ada di Indonesia.Kalau pun ada, dipastikan bukan produk lokal, melainkan produk impor. Saat itu para wisatawan atau tamu dalam negeri yang berkunjung di Indonesia hanya mau minum air dalam kemasan. Perut mereka tidak cocok dengan minum air rebusan.

Untuk mendapatkan minuman kemasan pun tidak sembarangan. Pada masa itu hanya tersedia di hotel-hotel berbintang. Tidak seperti sekarang yang ada di setiap warung kelontong.

Pada Mulanya Puritas

Kemunculan AMDK pertama di Indonesia tidak lepas dari sejarah produk bermerek Aqua. Sebab Aqua menjadi produk AMDK pertama yang diproduksi di Indonesia.

Pencetus idenya adalah Tirto Utomo, warga asli Wonosobo yang pernah bekerja untuk Pertamina. Saat itu, dia kerap kesulitan untuk mencari air minum untuk para tamu dari luar negeri. Karena itu, dia pun berinisitif mendidikan perusahaan air minum kemasan.

Sebelum mendirikan perusahaan, dia belajar terlebih dahulu teknologi pengolahan air minum kemasan ke negara tetangga Thailand. Dia pun meminta adiknya Slamet Utomo untuk magang di Polaris, salah satu perusahaan air minum kemasan di Thailand. Setelah itu, barulah mereka merintis perusahaan di Indonesia.

Secara resmi, Aqua diproduksi pertama kali pada tahun 1973 di bawah bendera PT Aqua Golden Mississippi. Pada awal diproduksi, produk air minum kemasan itu diberi nama “Puritas”. Namun karena penyebutannya yang sulit dan tidak familiar, brand “Puritas” pun diganti dengan “Aqua”. Brand Puritas hanya bertahan 2 tahun.

Muncul dengan nama dagang Aqua seolah membawa hoki. Aqua diproduksi dengan kemasan botol ukuran 950 ml dan dijual dengan harga Rp75. Harga itu dua kali lebih mahal dari harga bensin pada saat itu yang hanya Rp 46/liter.

Dengan harga yang mahal, tidak sembarang orang bisa membelinya. Hanya kalangan kelas atas saja yang mampu membelinya.

Infografik AMDK 3

Capai 25 Miliar Liter

Berkembang pesatnya perkotaan di Indonesia, seperti pembangunan di ibukota Jakarta, memiliki konsekuensi lahan terbuka hijau menjadi berkurang. Akibat selanjutnya, air bersih layak konsumsi pun makin sulit diperoleh.

Ketua Umum ASPADIN Rahmat Hidayat menjelaskan, permasalahan air di perkotaan membuka celah lebar bagi industri AMDK. Mulai tahun 2000-an, mulai banyak perusahaan AMDK yang bermunculan dan tumbuh subur di Indonesia.

“Pertumbuhan ekonomi membuat daya beli masyarakat meningkat. Namun pada saat yang sama, air bersih menjadi sulit. Maka perlahan, orang pun beralih ke AMDK,” kata Rahmat kepada tirto.id, Jumat (21/10/2016).

Air minum kemasan dalam botol plastik pun menjamur bak cendawan di musim hujan. Hampir di setiap toko dan minimarket memajang AMDK dari berbagai merek dan harga yang bersaing. Membelinya pun tidak lagi semahal dulu. Sekarang, harganya hampir sepadan dengan setengah harga bensin.

Inovasi muktahir adalah membuat kemasan galon 19 liter yang bisa diisi ulang. Sejak saat itu, rumah tangga di perkotaan pun beralih menggunakan galon. Ditambah dengan layanan antar jemput yang semakin memanjakan konsumen.

Produksi AMDK pun kian tahun kian meningkat. Pada tahun 2015, produksi nasional mencapai 25 miliar liter. Sebuah capaian yang gemilang dalam dunia industri.

Meski kehadiran AMDK memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan air minum layak minum, namun produksi AMDK menyisakan banyak kekhawatiran. Mulai dari eksploitasi sumber mata air yang berlebihan, hingga maraknya sampah plastik yang berpotensi mencemari lingkungan.

Baca juga artikel terkait AMDK atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Bisnis
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti