tirto.id - Pengacara publik LBH Jakarta Oky Wirata Siagian, yang juga merupakan kuasa hukum sejumlah pengamen Cipulir mempertanyakan argumen Kuasa Hukum Kemenkeu Daryono, dalam persidangan terakhir, Selasa (23/7/2019).
"Itu sudah mekanisme yang ada di dalam PP 92 Tahun 2015 tentang pelaksanaan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang memandatkan Kementerian Keuangan yang memberikan ganti rugi," ungkap Oky saat ditemui di PN Jakarta Selatan, pada Kamis (25/7/2019).
"Kalau Kementerian Keuangan protes, enggak suka, ya silakan saja ubah itu PP-nya, ubah aturannya," lanjutnya.
Oky pun menyampaikan, ini bukan kasus pertama penggunaan pasal tersebut untuk menggugat ganti rugi ke Kemenkeu.
"Kasus sebelumnya, Andro-Nurdin juga kami menggunakan PP 92 dan sudah diberikan," ungkap Oky.
"Dalam permohonan kami, saya jelaskan juga kenapa kami menarik pihak kementerian keuangan terlibat karena berdasarkan PP itu," sambungnya.
Dalam persidangan sebelumnya, Daryono memang menyinggung terkait potensi beban ke negara atas ganti rugi tersebut.
"Sudah sepantasnya tuntutan ganti rugi yang diajukan para pemohon dalam perkara a quo ditolak hakim, terlebih hal tersebut dapat berpotensi membebani keuangan negara," ujar Daryono saat pemberian jawaban dalam sidang Praperadilan di PN Jaksel, pada Selasa (23/7/2019).
Gugatan ganti rugi tersebut dilayangkan oleh empat mantan pengamen Cipulir, yakni Fikri, Fatahillah, Arga atau Ucok, Pau yang mengalami salah tangkap oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada Juli 2013 dengan tuduhan membunuh sesama pengamen anak bermotif berebut lapak mengamen.
Oky menyampaikan, ia dan teman-temannya ditangkap dan dipaksa mengaku, serta mendapatkan penyiksaan dari pihak kepolisian saat menjadi tahanan.
"Dengan bermodalkan pengakuan dan ”skenario" rekayasa hasil penyiksaan, mereka kemudian diajukan ke pengadilan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sehingga harus merasakan dinginnya jeruji penjara sejak masih kanak-kanak," jelas Oky.
Namun, akhirnya terbukti di persidangan bahwa mereka bukanlah pembunuh korban dan kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
Kini, para korban salah tangkap menggugat Polda Metro Jaya dan Kejati DKI sebagai pihak termohon, karena telah melakukan salah tangkap, penyiksaan, hingga putusan yang tak sah.
Kemudian juga ikut menggugat Kemenkeu sebagai turut termohon karena menjadi pihak yang seharusnya membayar ganti rugi tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno