tirto.id - Derasnya hujan yang mengguyur Kota Tangerang Selatan beberapa waktu lalu kembali memunculkan genangan dan banjir di sejumlah titik krusial. Genangan yang berlangsung berjam-jam itu tak hanya mengganggu aktivitas warga, tapi juga melumpuhkan lalu lintas di jalan-jalan utama seperti kawasan Ciputat, Pondok Aren, Serpong, hingga Pamulang.
Banjir ini bukan kali pertama terjadi, dan menurut pengamat tata kota dari Institut Teknologi Indonesia (ITI), Medtry, kejadian tersebut merupakan cerminan kegagalan sistemik dalam perencanaan dan pengelolaan ruang kota.
“Perubahan fungsi lahan dari daerah resapan menjadi kawasan terbangun, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, jadi pemicu utama. Air hujan yang seharusnya meresap justru menjadi limpasan yang langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan luapan,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (12/7/2025).
Menurutnya, pembangunan pesat yang terjadi di Tangerang Selatan dalam satu dekade terakhir tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas drainase. Banyak saluran air masih berukuran kecil, dangkal, atau bahkan tersumbat oleh sampah rumah tangga.
“Drainase di banyak wilayah belum didesain untuk menghadapi perubahan pola curah hujan ekstrem. Selain itu, sedimentasi dan penyempitan sungai menyebabkan daya tampung aliran air semakin berkurang. Ini bom waktu,” imbuh Medtry.
Pelanggaran Tata Ruang Jadi Masalah Struktural
Medtry juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap implementasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), termasuk aturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Ia menyebut banyak pengembang dan warga yang membangun tanpa menyisakan ruang terbuka hijau.
“Misalnya, dalam RDTR, KDB untuk perumahan ditentukan 60 persen bangunan dan 40 persen ruang terbuka hijau atau area resapan. Namun di lapangan, rumah-rumah dibangun sampai mepet pagar, bahkan seluruh lahan diplester tanpa celah air bisa meresap,” jelasnya.
Menurut dia, pelanggaran tata ruang ini seolah-olah dibiarkan terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum atau evaluasi yang tegas. “Pemerintah seperti kehilangan kontrol atas ruang kota. Semua dibangun, semua diaspal. Padahal banjir adalah akumulasi dari ketidakteraturan itu,” katanya.
Minimnya Infrastruktur Pengendali Banjir
Medtry menambahkan, minimnya infrastruktur pengendali banjir seperti kolam retensi, embung, dan waduk menjadi faktor pendukung bencana. Beberapa titik rawan banjir seperti Perumahan Maharta, Kompleks BPI, dan Kampung Bulak di Ciputat Timur terus terdampak, namun belum terlihat adanya proyek strategis untuk penanggulangan jangka panjang.
“Kita butuh sistem drainase perkotaan yang terpadu dan berbasis ekologi. Drainase bukan sekadar parit, tapi juga mencakup penataan sungai, sumur resapan, ruang terbuka biru dan hijau,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pemerintah daerah melakukan audit tata ruang dan drainase, sekaligus pendataan ulang kawasan rawan banjir. Jika perlu, kawasan yang selalu tergenang sebaiknya direlokasi dan difungsikan ulang menjadi kawasan konservasi air.
“Kalau sebuah perumahan terus kebanjiran tiap musim hujan, itu berarti sudah tidak layak huni. Pemerintah harus berani menata ulang kawasan itu menjadi ruang terbuka biru seperti embung atau kolam retensi,” tegas Medtry.
Peringatan untuk Masa Depan
Ia mengingatkan bahwa jika tidak ada reformasi kebijakan tata ruang dan infrastruktur, banjir di Tangerang Selatan hanya akan menjadi bencana berulang dengan dampak sosial dan ekonomi yang terus membesar.
“Air akan selalu mencari tempat rendah. Jika rawa dan cekungan dibangun jadi rumah, dan semua tanah dipaving tanpa ruang serapan, maka banjir bukan lagi risiko, tapi keniscayaan,” tutupnya.
Sebelumnya, Hujan deras yang mengguyur Kota Tangerang Selatan sejak Senin (7/7/2025) sore mengakibatkan banjir di 22 titik dan satu kejadian longsor, dengan ketinggian air mencapai 140 sentimeter.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat 1.516 kepala keluarga (KK) terdampak, sebagian di antaranya terpaksa dievakuasi dari rumah mereka.
Menurut BPBD Tangsel, banjir terjadi akibat luapan Kali Serua, Kali Kedaung, serta drainase lingkungan yang tidak mampu menampung debit air. Genangan juga diperparah oleh hujan berintensitas tinggi yang mengguyur secara merata.
Penulis: Tangsel_Update
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id

































