tirto.id - Satu dari sekian banyak jargon yang Prabowo Subianto kerap ucapkan dalam momen kampanye Pilpres 2019 adalah kebocoran anggaran. Perkara ini kemudian ditanggapi beberapa politikus dengan nada negatif.
Joko Widodo, lawannya dalam pemilu yang kini berstatus petahana, misalnya, mempertanyakan maksud Prabowo berkata demikian. Ia bahkan menuduh apa yang dikatakan bekas Danjen Kopassus itu mungkin membuat masyarakat jadi resah.
"Saya tanya hitungannya dari mana? Jangan buat pernyataan-pernyataan yang membuat masyarakat menjadi resah," kata Jokowi, Februari lalu, mengutip Antara. Jokowi bahkan menantang Prabowo untuk lapor ke KPK.
"Bawa bukti dan fakta. Jangan asal," katanya, dalam kesempatan lain.
Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, bahkan mengatakan apa yang dikatakan Prabowo tak lebih sebagai "ocehan politik" dan sekadar "mencari sensasi" yang tak perlu dihiraukan.
Dua Makna
Mantan menantu Soeharto itu memang tak pernah lapor ke siapa-siapa, dan ia terus saja bicara hal serupa dalam pelbagai kesempatan. Masalahnya, penjelasan soal "anggaran bocor" itu selalu berbeda-beda.
Setidaknya ada dua definisi kebocoran anggaran ala Prabowo, yang itu berbeda satu sama lain.
Simak pernyataan Prabowo dalam acara ulang tahun Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Jakarta, 6 Februari 2019 berikut:
"25 persen taksiran saya anggaran bocor. Bocornya macam-macam. Proyek yang harganya 100 dibilang 150. Itu namanya apa, penggembungan, mark up. Harga 100 dia tulis 150... Kalau anggaran kita yang sudah disepakati 200 miliar dolar AS, kalau kebocoran tadi 25 persen, artinya yang hilang hampir Rp500 triliun."
Arti "anggaran bocor" di atas adalah ada sejumlah uang yang seharusnya dipakai untuk proyek tertentu, tapi malah masuk ke kantong pribadi para koruptor.
Penjelasan lain soal kebocoran anggaran lebih terkait ke potensi penerimaan negara yang belum maksimal. Misalnya, semestinya pendapatan itu mencapai 100, tapi realisasinya hanya 50. Maka 50-nya lagi bisa disebut kebocoran.
Penjelasan ini pernah Prabowo utarakan pada 3 Maret 2019 di Hotel Sahid, Jakarta. Dia menjelaskan itu lewat kisah seorang pengusaha sawit.
Si pengusaha sawit itu dikisahkan Prabowo membuka usahanya dengan modal pinjaman dari bank negara. Ketika usaha berkembang dan modal telah dikembalikan, hasil produksi lantas dijual ke luar negeri, dan uang hasil penjualannya pun disimpan di luar negeri. Yang masuk ke dalam negeri jauh lebih sedikit.
"Dia pakai solar subsidi rakyat, pakai APBN, pakai jalan kabupaten, lewat jembatan kabupaten, pakai jalan provinsi, jalan nasional, APBD, APBN, sampai ke pelabuhan, naik ke atas kapal-kapal. Kelapa sawit dikirim ke luar negeri. Uangnya tidak kembali ke Indonesia," kata Prabowo.
Prabowo mengatakan anggaran bocor (maksudnya: yang seharusnya masuk ke kas negara tapi 'parkir' di luar negeri) mencapai Rp1.000 triliun saban tahun.
Prabowo mengulang kembali soal kebocoran tiga hari lalu (5/4/2019). Bedanya, kini dia mengatakan kalau apa yang kerap ia bilang terkonfirmasi dari pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan.
"Dua hari yang lalu kalau tidak salah, salah satu pimpinan KPK menyatakan bahwa sebenarnya kebocoran yang dihitung oleh KPK itu Rp2.000 triliun," kata Prabowo.
Beda Persepsi
Apa yang dikatakan Prabowo dikomentari atau lebih tepatnya disanggah KPK. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyanggah pernyataan Prabowo soal "kebocoran" yang maknanya adalah perkara korupsi, mark up, dan sejenisnya.
Saut menegaskan kalau apa yang dikatakan Basaria lebih kepada potensi anggaran negara yang sejauh ini belum tergarap maksimal. Berdasarkan hitung-hitungan KPK, potensi yang dimaksud bisa mencapai Rp4.000 triliun.
"Bukan soal kebocoran yang disampaikan oleh ibu [Basaria] itu, tapi kita itu sebenarnya punya potensi masih banyak lagi," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/4/2019).
Saut lantas menilai kalau Prabowo salah persepsi. "Jadi itu sebenarnya arti yang mungkin salah persepsi," tambahnya.
Jika kembali ke dua definisi kebocoran ala Prabowo di atas, maka tampaknya yang salah persepsi adalah Saut. Kritik Saut benar sepanjang yang ia pahami adalah bocor karena korupsi atau mark up, namun keliru kalau menggunakan definisi potensi penerimaan karena dua-duanya sama-sama bicara soal itu.
Bedanya hanya Prabowo pakai kata "bocor", yang bisa jadi memang tak tepat-tepat amat untuk menggambarkan belum maksimalnya penerimaan.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino