tirto.id - Istilah kleptomania mendadak mencuat setelah viral video kasus ibu-ibu mengambil makanan cokelat di minimarket Alfamart, tapi justru mengancam pegawai toko yang memergokinya.
Bukannya minta maaf, ibu-ibu ini membawa pengacara sembari menyuruh pegawai tersebut yang meminta maaf. Netizen menduga, ibu-ibu ini menderita kleptomania.
Kleptomania merujuk pada keadaan mental seseorang yang tidak bisa menahan diri dalam mengambil sesuatu tanpa izin.
Barang yang diambilnya bahkan seringkali tidak dibutuhkannya. Dia dapat mengambil apa pun meski tidak bernilai ekonomis.
Orang yang menderita kleptomania seakan menjadikan kebiasaannya mengambil sesuatu sebagai sebuah tantangan.
Dia merasa cukup tegang atau cemas sewaktu menjalankan proses pengambilannya. Begitu berhasil tanpa ketahuan, orang tersebut menikmati sensasi puas yang luar biasa.
Penderita tidak akan berhenti mengambil sesuatu di satu kejadian saja. Dia merasa tertagih untuk mengulang kembali perbuatannya sehingga menjadi kebiasaan.
Oleh sebab itu, kleptomania merupakan gangguan mental yang perlu mendapatkan penanganan psikis serius.
Penyebab kleptomania
Penyebab seseorang menjadi kleptomania bisa muncul dari berbagai macam faktor. Seseorang dari usia anak-anak hingga remaja dapat mulai terserang gangguan mental ini.
Salah satu pemicunya, menurut laman Mayo Clinic, yaitu adanya model yang dicontohnya dalam keluarga.
Contohnya, ketika orang tua seseorang memiliki kebiasaan klepto, maka anak yang melihatnya dalam meniru perbuatan tersebut.
Faktor lainnya yaitu kekurangan neurotransmitter serotonin. Akibatnya, seseorang yang mengidap kleptomania kadang tidak menyadari kebiasaan mengutilnya itu sampai benar-benar ketahuan orang lain.
Kleptomania juga dapat disebabkan penyalahgunaan zat terlarang atau kebiasaan mengonsumsi minuman keras.
Dari sisi kejiwaan, orang yang sebelumnya memiliki masalah bipolar atau gangguan kecemasan dapat pula mengembangkan kebiasaan menjadi pelaku kleptomania.
Kleptomania Apakah Bisa Disembuhkan?
Kasus kleptomania di Amerika Serikat, seperti dikutip situs Cleveland Clinic, diketahui telah diidap 6 dari 1.000 orang di sana. Rata-rata yang mengalami gangguan mental ini adalah perempuan.
Pada hakikatnya, sebagian pengidap kleptomania juga sangat tertekan dengan kebiasaannya itu.
Mereka merasa bersalah, malu, bahkan menyesal. Sebagian mereka juga akan mengembalikan atau membayar barang telah diambil meski sangat sulit menghentikan kebiasaannya.
Bila kebiasaan ini berlanjut, maka penderita kleptomania akan menghadapi masalah emosional, keluarga, pekerjaan, sampai risiko hukum. Belum lagi, lingkungan di sekitarnya rentan memberikan rasa tidak percaya untuk pelaku.
Dengan demikian, ketika dalam anggota keluarga atau masyarakat didapati ada yang mengidap kleptomania sebaiknya tidak lantas dikucilkan.
Mereka perlu didorong untuk bersedia berobat karena gangguan kejiwaannya masih bisa disembuhkan secara medis. Rasa malu kadang membuat mereka tidak segera bisa mengakses pengobatan tersebut.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dhita Koesno