Menuju konten utama

Apa Itu Arakan Rohingya Salvation Army, Sejarah, & Tujuan ARSA

Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terlibat dalam konflik etnis di Myanmar. Apa itu ARSA, sejarah, dan apa tujuannya?

Apa Itu Arakan Rohingya Salvation Army, Sejarah, & Tujuan ARSA
arakan rohingya salvation army. wikimedia commons/fair use

tirto.id - Konflik etnis di Myanmar telah membuat pengungsi Rohingya melarikan diri ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. Di tengah polemik tersebut, muncul kelompok bersenjata yang menamakan diri mereka sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

ARSA menjadi perhatian publik setelah melakukan penyerangan terhadap tiga pos polisi di wilayah Maungdaw dan Rathedaung. Insiden yang terjadi pada Oktober 2016 tersebut diketahui telah menewaskan 9 petugas polisi.

Tak hanya itu, ARSA juga bertanggung jawab atas pembantaian puluhan umat Hindu pada 2017 silam. Aksi ARSA pun berkelanjutan hingga tahun-tahun berikutnya dan terus memakan korban.

Keberadaan ARSA akhirnya menjadi ancaman bagi pemerintah Myanmar, bahkan mereka dianggap sebagai kelompok teroris. Namun, siapa ARSA sebenarnya dan bagaimana sejarahnya?

Mengenal Apa Itu Arakan Rohingya Salvation Army dan Sejarahnya

Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) merupakan kelompok pemberontak Rohingya yang berasal dari Rakhine, Myanmar. Sebelum dikenal sebagai ARSA, kelompok ini dulunya bernama Harakah al-Yaqin atau Gerakan Iman.

Kelompok ini dipimpin oleh Ataullah Abu Ammar Jununi atau yang lebih dikenal sebagai Ata Ullah. Pembentukan ARSA sendiri terjadi setelah konflik di Rakhine pada 2012 silam, tepatnya ketika warga muslim Rohingya mulai bentrok dengan warga Hindu di sana.

Konflik ini akhirnya terus bergulir di Myanmar dan etnis Rohingya terus mengalami penindasan. Bahkan, pemerintah Myanmar melalui angkatan militernya tak segan-segan melakukan genosida terhadap etnis Rohingya.

Dari sinilah ARSA kemudian muncul dan membangun kekuatan. Kepada Asia Times, juru bicaranya pernah mengaku bahwa ARSA mulai melakukan pelatihan sejak 2013. Sampai akhirnya pada 2016, ARSA melakukan aksi penyerangannya yang pertama dan menargetkan tiga pos polisi di Maungdaw and Rathedaung.

Dilansir dari Al Jazeera, saat itu ada lusinan laki-laki yang mendadak menyerang pos polisi menggunakan tongkat dan pisau. Mereka membunuh petugas di sana, lalu melarikan diri sambil membawa kabur sejumlah senjata.

Setelah penyerangan tersebut, ARSA merilis sebuah video sebagai pesan kepada pemerintah Myanmar. Dalam video berdurasi 18 menit tersebut, Ata Ullah yang memimpin ARSA pun memberi peringatan agar pemerintah berhenti melakukan kekerasan terhadap etnis Rohingya.

“Selama lebih dari 75 tahun, telah terjadi berbagai kejahatan dan kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya. Itulah sebabnya kami melakukan serangan pada 9 Oktober 2016 sebagai pesan bahwa jika kekerasan tidak dihentikan, kami berhak membela diri,” ucapnya.

Sejak saat itu, ARSA terus melakukan aksinya dengan skala yang lebih besar. Misalnya pada 25 Agustus 2017, ARSA menyerang komunitas Hindu di sebuah desa bernama Kha Maung Seik yang ada di Maungdaw utara.

Situs Amnesty melaporkan total ada 53 korban yang tewas dieksekusi oleh ARSA saat itu. Korban terdiri dari 20 pria, 10 wanita, dan 23 anak-anak, bahkan 14 di antaranya masih berusia 8 tahun ke bawah.

Masih di hari yang sama, 46 orang Hindu di desa tetangga yang bernama Ye Bauk Kyar tiba-tiba menghilang dan tak pernah ditemukan sampai sekarang. Muncul asumsi bahwa mereka juga menjadi korban keganasan ARSA.

Kelompok ini terus melakukan aksinya dan semakin banyak orang yang tewas di tangan ARSA. Pemerintah Myanmar pun menyatakan bahwa ARSA adalah teroris, bahkan menuding ARSA memiliki hubungan dengan kelompok teroris seperti Al Qaeda dan ISIL, tapi tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.

Apa Tujuan Arakan Rohingya Salvation Army?

Penasihat Pusat Studi Ekstremisme Eropa, Maung Zarni, mengungkapkan bahwa ARSA bukanlah teroris yang bertujuan menyerang jantung masyarakat Myanmar. ARSA lahir akibat dari kekerasan atau genosida yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Rohingya.

Mereka adalah sekelompok orang yang melakukan pertahanan diri. Tindakan mereka juga terbilang mirip dengan kelompok Yahudi di Auschwitz yang memutuskan bangkit melawan Nazi pada 1944 silam.

International Crisis Group (ICG) mengungkapkan bahwa anggota ARSA adalah para pemuda Rohingya yang marah dengan kerusuhan 2012 silam. Seperti yang diketahui, konflik tersebut memakan banyak korban jiwa. Etnis Rohingya pun banyak yang berusaha melarikan diri, tapi justru terdampar di tengah lautan.

Kondisi kemiskinan ekstrem, pergerakan yang terbatas, serta status kewarganegaraan yang tidak jelas, membuat sekelompok orang mulai melakukan perlawanan dengan membentuk ARSA.

Dari sini dapat diketahui bahwa ARSA sebenarnya bermaksud memperjuangkan hak-hak orang Rohingya. Dikutip dari BBC, tujuan ARSA adalah untuk membela, menyelamatkan, dan melindungi etnis Rohingya dari penindasan yang dilakukan oleh negara.

Oleh pemerintah setempat, ARSA telah dicap sebagai teroris muslim yang ingin menegakkan pemerintahan Islam di Myanmar. Namun, ARSA menolak label teroris tersebut karena mereka mengklaim tidak menimbulkan kerugian atau kehancuran bagi warga Rakhine dan Rohingya.

Maung Zarni berpendapat bahwa ARSA bukan gerakan separatis atau kelompok yang menginginkan negara Islam. Mereka hanya menginginkan kesetaraan etnis dan perdamaian.

Pendapat Maung Zarni ini pun didukung oleh Direktur Program Asia di ICG, Anagha Neelakantan, yang menyebutkan bahwa ARSA hanya sedang berjuang melindungi etnis Rohingnya dan tidak ada maksud lain.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Nur Hidayah Perwitasari