Menuju konten utama

Angkatan Laut Jepang Membantai Kaum Terpelajar di Kalimantan

Di Kalimantan, tentara Jepang menghabisi para dokter, guru, pejabat daerah, personel KNIL, dan penguasa Kesultanan Pontianak.

Angkatan Laut Jepang Membantai Kaum Terpelajar di Kalimantan
Tentara Jepang menuju ke Kalimantan, 1941. FOTO/commons.wikimedia.org

tirto.id - Raden Abdoel Moetallip Djojonegoro adalah guru kepala di HIS Balikpapan ketika tentara Jepang mendarat di kota itu. Pulau Kalimantan dan pulau lain di Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Komando militer ini memberlakukan pembersihan kepada hal-hal yang berbau Belanda. Orang-orang yang dulu terkait dengan Belanda diintai dan terancam dihabisi.

Sekali waktu, Moetallip pernah diundang oleh Jepang untuk datang ke balai kota Balikpapan.

“Syukurlah ayah bersama enam temannya yang juga guru menolak datang dan melarikan diri masuk hutan, karena tidak percaya Jepang mempunyai niat baik. Ternyata benar, semua guru dan kaum cerdik pandai yang dikumpulkan di balai kota itu tidak diminta menyatakan ikrar kesetiaan, tetapi ditangkap kemudian dipancung,” tulis Wardiman Djojonegoro--mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru--dalam memoarnya Sepanjang Jalan Kenangan (2016:12).

Menurutnya, jumlah guru, dokter, dan orang terdidik lainnya yang dibunuh Jepang mencapai 40 orang. Sementara angka lain dikemukakan dr Mohamad Ali Hanafiah Gelar Sutan Maharaja dalam Drama Kedokteran Terbesar (1976:60). “Waktu negara diduduki tentara Jepang, 19 orang dokter dibunuh,” ungkapnya.

Saat pendudukan oleh tentara Jepang, dokter Soemarno Sasroatmodjo juga tengah berada di Kalimantan Selatan. Suatu hari pada 1942, dr. Soemarno dan dr. Sosrodoro yang sedang bersantai di Banjarmasin, mendapat surat edaran yang isinya meminta sumbangan bagi orang-orang Belanda yang menjadi tawanan perang. Karena merasa tidak kenal dengan panitia penghimpun sumbangan tersebut, dr. Soemarno enggan menyumbang. Sementara di antara daftar penyumbang terdapat nama dr. Soesilo.

“Betapa kaget saya beberapa waktu kemudian ketika terdengar kabar bahwa semua orang yang namanya tercantum dalam surat edaran itu ditangkap Jepang menjelang hari natal, dan semuanya dibunuh termasuk dr. Soesilo,” ujar Soemarno Sasroatmodjo dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (1981:253).

Dua dokter yang dikenal Soemarno yang juga menjadi korban pembunuhan adalah dokter Kanujoso dan dokter Tan Siang Bing.

“Kira-kira sesudah bulan April 1945 mereka diajak oleh Jepang bekerja Kinrohoshi (kerja bakti) di luar kota. Selain para dokter, juga orang terkemuka lain seperti jaksa, kepala polisi, pejabat tinggi pemerintahan dan guru pun diajak serta. Beberapa hari kamudian hanya orang-orang Jepang saja kembali ke kota,” kata Soemarno. Sementara mereka yang diajak Jepang tak pernah kembali.

Sejak Jepang mendarat, banyak dokter Belanda ditawan hingga jumlahnya berkurang, termasuk di Kalimantan. Kondisi kesehatan masyarakat pun kian terpuruk. Setelah itu, dokter-dokter Indonesia yang jumlahnya tidak banyak pun turut berkurang karena banyak yang dibunuh. Mereka dianggap punya hubungan dengan tentara Sekutu.

Selain para dokter, sejumlah guru di Kalimantan pun turut menjadi korban yang akhirnya memengaruhi kualitas pendidikan. Para murid di sekolah akhirnya lebih sering diajari penderitaan perang daripada memahami ilmu pengetahuan.

Dokter Soeharso, pendiri Rehabilitasi Centrum di Surakarta yang namanya dijadikan nama rumah sakit ortopedi Surakarta dan merupakan Pahlawan Nasional, juga pernah berada dalam bahaya di Kalimantan. Setelah lulus dari Nederlandsch Indische Artsen School (Sekolah kedokteran Hindia Belanda) di Surabaya, Soeharso sempat ditugaskan sebentar di Surabaya sebelum ditempatkan di Ketapang, Kalimantan Barat.

Dari Ketapang dia pindah ke Sambas. Ketika berada di Pontianak, Soeharso berkenalan dengan dokter Agusjam dan keluarganya. Dia kemudian menjadi menantu dokter Agussjam setelah menikahi putrinya, Johar Insiyah, pada 1941. Setelah tentara Jepang menguasai Kalimantan Barat, Soeharso merasa terancam lalu kabur bersama istrinya ke Jawa.

Infografik Dokter-Dokter Yang Dibunuh Jepang

Infografik Dokter-Dokter Yang Dibunuh Jepang. tirto.id/Fuad

Setelah tiba di Jawa, seperti ditulis Poliman dalam Prof.Dr.R. Soeharso (1984:33-36), ada panggilan kepada Soeharso untuk kembali ke Kalimantan Barat. Jika panggilan tersebut tidak diindahkan, maka mertuanya, dr. Agussjam, akan dieksekusi.

Demi istrinya, Soeharso mau berangkat lagi ke Kalimantan meski pada akhirnya tak jadi pergi karena tidak ada kapal yang bisa mengangkut mereka. Pada mulanya mereka tidak tahu, Agussjam sudah dibunuh.

Sementara menurut penuturan Soemarno, pada tahun 1943 dalam sebuah pesta yang diatur oleh istri dokter Rubini, militer Jepang tiba-tiba datang dan menangkapi para dokter. Istri dokter Rubini adalah salah seorang pimpinan organisasi wanita (Fujinkai). Sejumlah dokter seperti Rubini, Sunaryo, Asussjam, dan Ismail dibawa tentara.

“Mereka gugur atas fitnahan. Jepang mengumumkan bahwa ada komplotan besar mata-mata musuh yang dipimpin dokter Rubini dan istrinya, dan menghidangkan makanan yang mengandung racun buat orang-orang Jepang yang diundang ke pesta itu,” kata Soemarno.

Menjelang proklamasi kemerdekaan 1945, Soemarno akhirnya kabur ke Jawa. Belakangan, kakeknya Bimbim Slank ini pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Menteri Dalam Negeri.

Di Kalimantan Timur, Jepang juga membunuh para pejabat daerah yang dianggap punya hubungan dengan tentara Sekutu. Di Samboja--kini masuk wilayah Kutai Kartanegara--seperti dicatat dalam buku Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-sanga (1982:62), seorang penjawat (kepala distrik atau semacam camat) bernama Aji Raden Ariomidjojo, Kepala Kampung Haji Arif, dan Kepala Polisi Haji Amir ditangkap Jepang setelah membantu penyusupan tentara Sekutu Z Force di Samboja pada pertengahan tahun 1945. Ketiganya tidak pernah kembali dalam keadaan hidup.

Sementara di Kalimantan Barat, selain membunuh sejumlah dokter, militer Jepang juga menghabisi bekas tentara kolonial atau KNIL dan penguasa Kesultanan Pontianak.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh