tirto.id - Juned, bukan nama sebenarnya, berkali-kali menggosok-gosok belakang kepalanya sambil bercerita. Tampak ekspresi ragu, curiga, dan malu-malu sebelum dia bertutur secara lancar kepada wartawan Tirtodi pelataran sebuah ruko yang menjual alat-alat optik di Kabupaten Bogor, Rabu (19/6/2025) sore.
Memang tak mudah, Juned hendak bercerita soal salah satu pengalaman apes dalam kehidupannya: menjadi korban penipuan romansa palsu alias love scam.
Pengalaman tersebut dialami Juned hampir 3 tahun lalu. Pria berusia 38 tahun itu sudah hampir empat tahun bekerja sebagai cleaning servicedi toko optik tersebut. Kepada Tirto, Juned meminta sebagian ceritanya untuk tidak ditulis secara mendetail dan menolak didokumentasikan selama sesi wawancara.
“Saya masih kesel kalau inget-inget kejadiannya, ngerasanya kok bisa-bisanya itu,” kata dia dengan nada serius.
Mulanya, permintaan pertemanan muncul di notifikasi akun Facebook pribadinya. Sekilas, ia melihat permintaan itu datang dari sebuah akun dengan foto profil seorang perempuan yang sedang berswafoto. Setelah saling terhubung pertemanan Facebook, wanita yang mengaku bernama Lia itu mengirimkan sebuah pesan pribadi kepada Juned.
Mereka lantas berkenalan dan bertukar informasi pribadi. Kepada Juned, wanita bernama Lia itu mengaku bekerja sebagai seorang pramusaji di sebuah rumah makan di Depok. Lia mengaku sudah memiliki satu orang anak perempuan berumur 2 tahun. Lia menyatakan juga kepada Juned bahwa ia telah bercerai secara resmi dengan suaminya.
Pekan berganti, obrolan Juned dengan Lia di pesan pribadi Facebook semakin intim. Hanya dalam waktu sebulan, Juned bertutur sudah mempunyai ‘panggilan khusus’ untuk Lia, pun sebaliknya. Mereka hampir setiap hari bertukar pesan di Facebook, biasanya pada waktu malam setelah Juned pulang bekerja.
“Baru dia (Lia) minta nomor WhatsApp pas sebulan lebih, katanya males kalau di FB banyak yang nginbox dia juga. Saya kasih lah tanpa ada curiga awalnya itu,” cerita Juned.
Usai pindah ke WhatsApp, Juned dan Lia sering bertukar pesan. Bahkan Juned, beberapa kali membelikan kuota internet untuk Lia. Terkadang Lia meminta langsung, namun ada pula saat Juned berinisiatif sendiri mengirimkan kuota secara cuma-cuma.
Juned yakin betul bahwa Lia seorang perempuan asli. Ia mengaku pernah menelepon Lia di WhatsApp dan pernah menerima pesan suara, namun Lia tak pernah mau diajak panggilan video.
Juned juga pernah mengajak Lia untuk bertemu langsung di sebuah kafe, namun Lia menolaknya karena beralasan sibuk mengurus anaknya yang masih kecil.
Hampir sebulan bertukar pesan di WhatsApp, suatu hari Lia meminjam uang Juned sebesar Rp200 ribu. Di momen itu, Juned memberikan uang kepada Lia secara cuma-cuma karena merasa kasihan sebab disebut akan digunakan untuk anaknya yang sakit.
Beberapa hari berselang, Lia kembali ingin meminjam uang kepada Juned sebanyak Rp650 ribu. Menurut Juned, setelah dipinjamkan uang, Lia semakin intim mengirimkan pesan. Bahkan, tak segan-segan mengirimkan foto yang disebut ‘vulgar’ oleh Juned.
Merasa hubungannya lancar, Juned kembali mengajak bertemu Lia secara langsung, namun kali ini Lia bersedia asal dengan syarat.
Syaratnya, Juned harus mengirimkan lagi uang kepada Lia dengan nominal Rp2 juta rupiah. Ia mengaku bahwa Lia berkata uang itu akan dipinjam dulu untuk modal usaha warung nasi di rumahnya. Walaupun uang pas-pasan dan ‘ngebet’ ingin bertemu wanita yang menggaet hatinya, Juned sampai harus meminjam uang lewat aplikasi pinjaman daring atau pinjol.
Usai mengirimkan uang sebesar Rp2 juta itu, Juned diberikan sebuah titik lokasi oleh Lia yang disebutnya sebagai rumah kontrakan tempatnya tinggal berdua dengan anaknya.
Namun, usai sampai di lokasi yang dimaksud, ternyata lokasi tersebut adalah rumah pribadi milik orang lain. Pemilik rumah itu menyatakan bahwa Juned bukan orang pertama yang datang ke rumahnya dan menanyakan perempuan bernama Lia.
“Abang udah ketiga nih kalo saya inget-inget. Penipuan itu bang, modusnya ngasih alamat palsu, nggak ada Lia di rumah saya, mah. Anak saya aja laki bang,” kata Juned menirukan si pemilik rumah.
Merasa kecewa dibohongi, Juned menelepon Lia namun tidak diangkat-angkat. Membuka medsos Facebook, akun yang mengaku bernama Lia tersebut sudah lenyap. Beberapa jam kemudian, giliran nomor WhatsApp Juned yang diblokir.
“Saya baru sadar ditipu setelah 4 bulan kontakan. Ya, duit sih memang nggak banyak, cuma Rp3 jutaan. Baru sadar pas temen ngasih tau lagi udahannya, kalau foto-foto yang pernah dikirim orang itu (Lia) ternyata artis Vietnam apa Thailand gitu,” sesal Juned.
Penipuan yang dialami Juned adalah modus kejahatan siber yang kini tengah melejit, yakni love scamming. Di kawasan Asia Tenggara bahkan Global, modus kejahatan siber ini tengah menjadi perhatian karena telah memakan banyak korban. Laku penipuan ini juga tak jarang dioperasikan secara berkelompok atau berbentuk sindikat.
Love scammingmerupakan praktik penipuan ketika pelaku memanfaatkan ikatan emosional untuk memperoleh keuntungan finansial atau material dari korbannya. Korban akan tergoda janji-janji cinta dari individu yang biasanya mereka temui di dunia maya seperti medsos atau aplikasi kencan. Ujungnya, korban dieksploitasi secara emosional dan finansial.
Modus penipuan ini memang seperti tak memandang profil korban alias bisa menjerat siapa saja. Teranyar, seorang staf media lembaga pemerintahan, Kani Dwi Haryani, terjebak modus penipuan serupa. Pelakunya sudah dicokok Polda Banten, Selasa, 17 Juni 2025 lalu.
Tersangka merupakan seorang perempuan bernama Marpuah (21). Dia menyamar sebagai Febrian, pria yang berprofesi sebagai pilot di sebuah maskapai penerbangan. Kani mengaku mengenal Febrian lewat media sosial usai pelaku berkomentar di Instagram pribadinya.
Kani sendiri mengaku pernah bertemu Marpuah, yang mengaku sebagai sepupu Febrian. Ia meminjamkan uang sebesar Rp15 juta, pada 2 Maret 2025, karena Febrian yang berdalih duit itu digunakan untuk membantu Marpuah bekerja
Kani mulai merasa curiga bahwa Febrian merupakan entitas fiktif usai menemukan fakta video yang pernah dikirim Febrian ternyata merupakan milik orang lain. Selain itu, Kani menemukan bahwa alamat yang diakui sebagai tempat tinggal Febrian juga fiktif. Setelah itu Kani kembali meminjamkan Rp35 juta kepada Febrian dengan alasan untuk pelatihan pilot.
Namun, Kani yang curiga, sengaja meminjamkan uang tersebut agar menjebak Febrian dan melaporkan pelaku sesungguhnya ke polisi. Betul saja, ternyata adalah Marpuah di balik entitas yang mengaku bernama Febrian.
"Kenapa saya melaporkan kasus tersebut? Selain mengalami kerugian materi, saya mau pelaku tertangkap dan diadili agar berhenti membuat akun palsu dan menjerat banyak korban lainnya,” ucap Kani kepada awak media yang diizinkan olehnya dikutip Tirto, Kamis (19/6/2025).
Polda Banten lewat Subdit V Siber Ditreskrimsus berhasil mengungkap kasus ini setelah adanya laporan polisi nomor: LP/B/219/VI/SPKT I. DIRESKRIMSUS/2025/POLDA BANTEN yang dibuat oleh Kani pada 13 Juni 2025. Tersangka dijerat dengan Pasal 35 Jo Pasal 51 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, dan/atau Pasal 378 KUHP. Ancaman hukuman yang dikenakan yakni pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar.
Taktik Penipuan Romansa Palsu
Modus penipuan love scammingmemang tak selalu dioperasikan pelaku individu. Dalam banyak kasus, kejahatan siber berupa love scammingbahkan melibatkan jaringan kejahatan transnasional dan berkaitan erat dengan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Misalnya pada Januari 2025 lalu, Polsek Metro Gambir berhasil mengungkap penipuan love scamming jejaring Internasional yang diotaki oleh pelaku asal Cina. Polisi membekuk sekitar 20 pelaku di sebuah apartemen di Jakarta Pusat. Mereka diduga menipu korban dari banyak negara Asia Tenggara dengan menciptakan profil fiktif di media sosial. Usai korban terbuai, para pelaku meminta korban melakukan investasi yang berujung bodong.
Pekan lalu, Polda Bali juga mengungkap sindikat penipuan love scamming yang beroperasi di sejumlah wilayah Bali. Polisi membekuk 38 orang penipu yang mengincar korban spesifik dari Amerika Serikat. Polisi menemukan bahwa para pelaku menggiring korban berinteraksi di Telegram yang dioperasikan oleh individu dari Kamboja.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyatakan bahwa modus penipuan love scammingmenjadi semacam ‘wabah’ di Indonesia. Pelaku bahkan berani berpura-pura memakai identitas palsu dari negara lain.
Beberapa modus umum pelaku adalah meminjam uang untuk kebutuhan darurat, ingin bertemu korban namun tak punya uang, barang pribadi ditahan bea cukai, hingga investasi bisnis.
“Banyak korban tidak melapor karena malu. Apalagi, banyak pelaku menyasar lelaki atau perempuan mapan, sudah berkeluarga,” ucap Heru kepada wartawan Tirto, Kamis (19/6/2025).
Selain itu, beberapa pelaku juga melakukan pengancaman kepada korban setelah berhasil memanipulasi korban mengirimkan foto atau video pribadi. Pelaku biasanya mengancam menyebarkan dokumentasi tersebut kepada keluarga/kerabat korban apabila tak membayar jaminan.
“Pelaku meminta kita memfoto diri kita dan bagian vital, yang ternyata digunakan sebagai sandera atau alat pemerasan agar kita memberikan uang,” lanjut Heru.
Sementara itu, Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, memandang faktor yang membuat modus love scammingmenjadi sangat berbahaya adalah kedalaman manipulasi psikologis para pelaku. Pelaku tidak sekadar merayu korbannya, tapi mempelajari detail kehidupan korban, menciptakan persona yang nyata, hingga memainkan kebutuhan korban akan cinta, perhatian, serta validasi.
Menurut Wawan, menyalahkan korban love scamming sebagai individu yang ‘bodoh’ adalah pandangan yang keliru. Hal itu justru menutupi fakta utama bahwa modus penipuan siber ini bekerja dengan cara memahami dan mengeksploitasi sisi paling manusiawi: kerinduan akan cinta dan rasa aman.
Karena itu, pencegahan mesti berangkat dari pemahaman psikologis, bukan sekadar teknis. “Menyalahkan korban tak hanya keliru, tapi kontraproduktif. Setiap orang rentan terhadap manipulasi emosional —bukan soal intelegensi, tapi soal situasi psikologis dan emosional. Korban bisa orang yang sangat cerdas, tapi berada dalam kondisi kesepian, duka, atau stres,” ucap Wawan kepada wartawan Tirto, Kamis (19/6).
Dalam artikel ilmiah yang ditulis Whitty, M. T. (2015) berjudul 'Anatomy of the Online Dating Romance Scam', disebut bahwa terdapat lima tahap yang berbeda dari modus kejahatan ini. Pertama, penjahat membuat profil yang menarik bagi korban; kedua, pelaku mempercantik korban, membujuk korban untuk mengirimkan uang. Pada tahap ketiga, penjahat sudah mulai berani meminta uang dari korban.
Selanjutnya, tahap keempat terjadi atau dilalui beberapa orang, korban dilecehkan secara seksual melalui kejahatan siber seksual. Terakhir, terungkap bahwa korban selama ini ditipu.
Dampak yang dialami oleh korban penipuan love scamming juga tak main-main, sebab berefek terhadap keadaan emosional dan psikologis korban. Dalam artikel ilmiah yang ditulis Niman dkk. (2023) berjudul 'Online Love Fraud and the Experiences of Indonesian Women: a Qualitative Study” ditemukan bahwa korban penipuan romansa palsu mengalami berbagai masalah psikologis seperti trauma, kecemasan, kesedihan, menurunnya penghargaan diri, dan bahkan keinginan bunuh diri.
Adanya masalah psikologis yang dialami para korban mengindikasikan bahwa diperlukan intervensi kesehatan jiwa bagi korban yang diberikan oleh tim kesehatan jiwa profesional dan dukungan sosial dari keluarga, kelompok dan lingkungan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menegaskan bahwa love scamming mesti mulai dipandang pemerintah sebagai kejahatan serius lintas negara. Artinya, penanganannya tak bisa hanya dilakukan kasuistik dan perlu melibatkan kolaborasi aparat penegak hukum dari negara lain.
Tentu, kata dia, akan sangat menguntungkan apabila Indonesia menjalin kerjasama di level pemerintahan dengan negara lain dalam membasmi modus penipuan ini.
“Kejahatan lintas batas negara ini kemudian memerlukan political commitment antara pemerintah negara lain dan pemerintah Indonesia di dalam proses penegakan hukumnya,” ucap Satria kepada wartawan Tirto, Kamis (19/6/2025).
Lewat penegakan hukum yang tegas dan lebih transparan, pelaku bisa diberi efek jera, dan masyarakat diyakinkan untuk lebih berani melapor. Pekerjaan rumahnya, menghapus stigma kepada korban love scamming yang akhirnya merasa malu melapor karena takut dianggap bodoh atau menjadi bahan ejekan.
Mereka korban, sepantasnya mendapatkan keadilan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto