Menuju konten utama
Horizon

Anak Sekecil Itu Berkelahi dengan Waktu

Si Budi dalam "Sore Tugu Pancoran" mesti bekerja hingga tak sempat bermain. Di Palu, situasinya lebih sulit: anak-anak putus sekolah karena harus bekerja.

Anak Sekecil Itu Berkelahi dengan Waktu
Zaldin, siswa yang sempat tidak bersekolah karena terbatas akses ekonomi dan edukasi. Tirto.id/Fadli Nasrudin

tirto.id - Anak berusia 10 tahun jamaknya sudah duduk, setidak-tidaknya, di bangku kelas dua atau tiga sekolah dasar. Yang pasti, anak seumuran itu semestinya menghabiskan waktu belajar di sekolah dan bermain bersama sebayanya. Namun, tidak demikian dengan Zaldin. Sejak belia, ia justru menghabiskan waktu sehari-hari melakukan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa: bekerja.

Pagi-pagi sekali, ketika anak-anak lain biasanya berangkat ke sekolah dan bersenda gurau dengan kawan sebangku, Zaldin malah sibuk membantu kakeknya menyiapkan peralatan melaut. Tak jarang ia ikut memancing dan menjaring ikan di lepas pantai.

Siang atau sore hari, saat teman-teman di lingkungan sekitar rumahnya sudah pergi berjalan-jalan di pinggiran kampung kota, Zaldin juga sama. Akan tetapi, tujuannya lain. Ia berkeliling kelurahan untuk menjual hasil tangkapan ikan dan surabe (makanan khas Palu), sementara sebayanya pergi bermain.

Hasil jualan ikan tangkapan biasanya ia berikan kepada sang kakek untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara jatah uang jajannya berasal dari usahanya menjajakan surabe, yang tentu saja hasilnya tak seberapa.

Tidak ada yang lebih representatif daripada syair Iwan Fals: anak sekecil itu berkelahi dengan waktu. Zaldin adalah sebenar-benarnya gambaran dari penggalan lirik lagu bertajuk "Sore Tugu Pancoran" tersebut. Ia bertarung melawan waktu, melawan masa kecilnya yang nahas lantaran aksesnya terhadap pendidikan terpenggal keadaan.

Zaldin hanya punya kakek, tanpa ayah, tanpa ibu. Orang tua kandungnya sudah lama berpisah, meninggalkannya yang tak tahu apa-apa tentang dunia, apalagi soal sekolah. Sang kakek, yang menggantikan peran orang tua dan merawatnya sejak dini, cuma tahu cara mencari nafkah sebisanya. Yang terpenting bagi Musran (nama kakek Zaldin), anak itu bisa bertahan hidup di tengah nasib masa kecilnya yang terombang-ambing.

Miris bagi Zaldin. Sejak kecil, ia tak punya tempat bersandar, berharap, apalagi bergantung. Ia tak bisa seperti anak lainnya yang merengek meminta uang jajan; ia mesti mencarinya sendiri. Ia sukar menuntut hidup yang lebih baik; Zaldin mesti memperjuangkannya sendirian.

Mau tak mau, ia terpaksa menanggung beban yang teramat berat di pundaknya yang mungil.

Kepolosan sebagai anak-anak pada umumnya serta keterbatasan pengetahuan sang kakek membuat masa depan Zaldin menggantung.

Jangankan sekolah, akta kelahiran dan kartu keluarga pun Zaldin tak punya. Padahal, dokumen tetek bengek itu menjadi aspek penting untuk bisa mendaftar sekolah. Akses kendaraan dan keterbatasan wawasan sang kakek membuat urusan administrasi itu tak kunjung rampung.

Bertahun-tahun Zaldin mempertaruhkan masa depannya, berjibaku dengan waktu, tanpa imbalan jelas. Di depan mata, masa depannya masih lesu lagi muram.

Sebenarnya rumah Zaldin termasuk di area perkotaan, wilayah yang seharusnya terlihat jelas oleh pihak dinas pendidikan, terjangkau oleh bantuan sosial, serta memperoleh akses edukasi yang merata.

Namun kenyataannya, hal-hal itu cuma fatamorgana. Keluarga Zaldin, salah satunya, tetap kesusahan dengan urusan ekonomi, belum lagi soal sekolah. Orang-orang dewasa di sekitar rumahnya pun sama: hidup sekenanya, dengan kerja seadanya, tanpa bekal pendidikan layak.

"Yang 'bermasalah', ya, cuma daerah situ (menunjuk wilayah RT. 1 RW. 1 Kelurahan Baru di depan kantor kelurahan)... Warganya sudah begitu, orang tuanya ndak memperhatikan anaknya [sehingga] itu sudah, sampai putus sekolah, termasuk itu sudah si Zaldin," kata Bachira Ulfah, pejabat tertinggi di Kelurahan Baru, ketika diwawancarai di kantornya yang baru rampung dibangun, Selasa (9/9/2025).

Kasus Anak Putus Sekolah

Lurah Kelurahan Baru, Kecamatan Palu, Kota Palu. Tirto.id/Fadli Nasrudin

Tertutup dari Dalam, Dibuka dari Luar

Lubang hitam di garis usia anak-anak seperti Zaldin, yang dibuat oleh pemerintah setempat, akhirnya diisi oleh Wahana Visi Indonesia, organisasi kemanusiaan Kristen yang berfokus pada isu anak. Lewat program "Anak Putus Sekolah", mereka berhasil mengubah alur hidup Zaldin sehingga bisa meniti kembali masa depannya.

Syarat-syarat administrasi, macam kartu keluarga dan akta kelahiran, dibantu urus oleh Wahana Visi Indonesia dan dilancarkan oleh pihak kelurahan. Seretnya penghasilan keluarga Zaldin juga sedikit banyak terbantu. Pihak organisasi memberikan bantuan seragam dan alat tulis untuknya di awal masuk sekolah.

Per 2025, Zaldin resmi berseragam sekolah dasar, mimpi yang sebelumnya terlempar jauh di seberang lautan tempatnya mencari ikan. Di usianya yang genap 10 tahun, ia memulai langkah awal pendidikan di kelas satu.

Zaldin memang terlambat secara usia, tapi hasratnya untuk menempuh pendidikan formal masih sangat besar, dan memang itu yang seharusnya ia peroleh.

Saat kami berkunjung ke sekolah, Zaldin terlihat berkumpul bersama kawannya di teras kelas. Binar matanya seolah menggambarkan kelegaan. Keinginan kuat yang telah lama terpendam akhirnya terwujud: bersekolah dan berkumpul bersama sebayanya, tanpa terbebani "tanggung jawab" bekerja yang memang tak seharusnya ia emban.

Air mukanya berseri, menguarkan kebahagiaan. Penantian selama kurang lebih lima tahun—dihitung sejak usia PAUD dan TK—akhirnya menemui titik terang. Lelah yang dipikul bertahun-tahun seketika lenyap tertutup senyum lebarnya.

"Saya sangat senang sudah bisa sekolah, dapat seragam, alat tulis, tas, dan sepatu baru, yang dipakai pergi sekolah," begitu Taufik Tri Nur Hidayat menirukan perkataan Zaldin dalam laporan tertulisnya. Taufik adalah seorang penyedia jasa individu dari Wahana Visi Indonesia, berperan menemani dan membantu mengurus administrasi sehingga Zaldin bisa sekolah.

Kasus Anak Putus Sekolah

Zaldin dan Kepala Sekolah. Tirto.id/Fadli Nasrudin

Panas terik yang menusuk kulit saban hari tak menyusutkan tekad Zaldin untuk bersekolah. Dibanding deru angin sekaligus panas yang menerpanya saat mencari ikan di laut, Zaldin lebih suka hawa sumuk dan panas yang menyengat di halaman sekolah.

Para guru juga melihat hal itu: kehendak Zaldin yang begitu kuat untuk bersekolah.

"Ndak pernah dia ndak sekolah," kata kepala sekolah.

Andaikan tak ada pihak luar yang mengintervensi agar dirinya bisa bersekolah, barangkali Zaldin akan mengikuti jejak orang dewasa di lingkungan rumahnya: tak pernah tamat sekolah, bekerja serabutan, dan mau tak mau terus melanjutkan hidup seadanya.

Anak-anak di sekitar rumah Zaldin sudah merasakan pahitnya hidup dengan latar belakang pendidikan yang minim. Banyak dari mereka kini sudah dewasa, bahkan tak sedikit yang menikah di bawah umur, sehingga pemerintah tak bisa banyak mengintervensi urusan pendidikannya.

"Memang kemarin dia (angka) putus sekolah sebenarnya banyak. Tapi, sudah dengan adanya [kebijakan] pemerintah kota dengan memprogramkan [pemberantasan] anak putus sekolah, jadi makanya itu tinggal 1-2 orang saja," terang Bachira, menceritakan kondisi anak-anak di kelurahan tempatnya menjabat.

Wilayah dengan angka putus sekolah yang cukup tinggi di Kelurahan Baru, menurut Ulfah selaku lurah, hanya berkutat di RW. 1, tepatnya RT. 1 dan 3.

Gunung Es Masalah Putus Sekolah

Permasalahan anak putus sekolah di Kota Palu dan sekitarnya, termasuk Sigi dan Donggala, bagaikan fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan hanya sedikit. Sisanya tertimbun, menumpuk, dan tersembunyi di bawah gunungan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Wahana Visi Indonesia per April-Juli 2025, sekurang-kurangnya terdapat 117 anak putus sekolah di Kota Palu. Jumlah kasus di Kota Palu merupakan yang terbanyak dibanding wilayah lain yang diintervensi oleh organisasi, seperti Kabupaten Sigi (68) dan Kabupaten Donggala (27).

Salah satu faktor yang membuat banyak anak putus sekolah di Kota Palu dan sekitarnya, menurut penelusuran Wahana Visi Indonesia, adalah pelibatan anak-anak dalam pekerjaan mencari uang. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kendala ekonomi keluarga dan minimnya pemahaman orang tua terkait pentingnya pendidikan anak.

Maka itu, pihak organisasi mengambil langkah solusi dari akar rumput, yakni melakukan pendekatan kepada anak dan keluarga, konseling, dan pendampingan persiapan sekolah. Mereka juga tak luput mengupayakan kerja sama dengan pemerintah setempat, termasuk lewat program Berani Cerdas yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Berkat kerja-kerja Wahana Visi di akar rumput dan dukungan dari pemerintah, dari total anak putus sekolah hasil pantauan itu, sepertiga di antaranya berhasil dibujuk dan dibantu untuk bisa kembali bersekolah. Keseluruhan di tiga wilayah dampingan (Sigi, Palu, dan Donggala), per Juli 2025, 91 anak bersedia memulai kembali pembelajaran, baik formal maupun non-formal.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa jumlah kasus anak putus sekolah yang dirilis oleh Wahana Visi Indonesia belum mencakup semua wilayah. Hal itu karena wilayah jangkauan dan intervensi mereka memang terbatas.

Kasus Anak Putus Sekolah

Bu Eda dan Helda. Tirto.id/Fadli Nasrudin

Kalaupun mau dihitung berdasarkan data rilisan Wahana Visi Indonesia, rerata jumlah kasus putus sekolah per kelurahan di Kota Palu semestinya jauh lebih banyak, bukan seperti angka yang disebutkan Kelurahan Baru (hanya satu, Zaldin, dan sudah tidak ada lagi).

Terdapat 46 kelurahan di Kota Palu, merujuk data terbaru 2024 dari Badan Pusat Statistik. Dengan asumsi total 117 anak putus sekolah di Kota Palu, seharusnya, sekurang-kurangnya ada 2-3 kasus per kelurahan. Dan angka itu bukan hitungan maksimal, melainkan minimal, sebab data dari Wahana Visi Indonesia hanya berlandaskan pada wilayah dampingan tertentu.

Sayangnya, angka kasus anak putus sekolah masih sumir. Belum ada rilis resmi dari dinas pendidikan setempat terkait data anak yang tidak menempuh pendidikan formal maupun yang putus sekolah.

Padahal, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Dalam upaya mewujudkannya, pemerintah berkewajiban membiayai dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional.

Wahana Visi Indonesia berhasil menjangkau dan merangkul sebagian dari anak-anak yang putus sekolah, membantu mereka mengenyam pendidikan yang layak. Akan tetapi, bola tetap berada di tangan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab menyediakan akses pendidikan.

"Kami hanya menjadi pemantik. Harapannya program-program kami bisa diteruskan oleh pemerintah setempat," ujar Agustinus Polabi atau akrab dipanggil Apo, Area Program Manager Wahana Visi Indonesia wilayah Palu.

===============

Catatan:

Judul artikel ini diambil dari penggalan lirik lagu Iwan Fals "Sore Tugu Pancoran".

Baca juga artikel terkait PUTUS SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Fadli Nasrudin

tirto.id - Horizon
Penulis: Fadli Nasrudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi