tirto.id - Kasus dugaan pelecehan kepada Baiq Nuril yang dilaporkan ke polisi, dihentikan Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan alasan tak ada saksi. Hal ini menurut Amnesty Internasional Indonesia mencederai rasa keadilan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Polda NTB telah gagal melindungi dan berpihak pada korban pelecehan seksual, setelah menghentikan pengusutan pidana terhadap terduga pelaku dugaan pelecehan seksual yang dialami oleh Baiq Nuril.
“Keputusan polisi untuk menghentikan pengusutan kasus ini mencederai rasa keadilan untuk Baiq Nuril dan dan membiarkan pelaku tetap bebas,” kata Usman Hamid dalam keterangan tertulis kepada Tirto, Minggu (27/1/2019).
Pada 22 Januari 2019, Polda NTB menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) atas laporan Baiq Nuril terhadap terduga pelaku pelecehan seksual pada 19 November 2018.
Usman mengatakan, dari dokumen SP2HP yang diperlihatkan kepada Amnesty International, polisi beralasan menghentikan kasus, karena belum mendapati atau menemukan peristiwa pidana atas perbuatan cabul. Tanpa adanya saksi, kasus Nuril dihentikan polisi.
“Alasan ini aneh, karena dugaan tersebut terjadi melalui sambungan telepon antara terduga pelaku dan Nuril tanpa ada orang lain yang mendengar. Seharusnya polisi menelusuri apakah yang berbicara di rekaman tersebut adalah terduga pelaku yang dilaporkan Nuril dan apakah ujaran verbal terduga pelaku kepada Nuril termasuk pelecehan seksual daripada berargumen tidak ada saksi dalam kejadian tersebut,” kata Usman.
Polri, kata Usman, harus mengambil langkah proaktif untuk meninjau kembali keputusan penghentian penyelidikan tersebut dan memerintahkan Polda NTB melanjutkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan.
Usman juga mengatakan, kasus ini menjadi refleksi untuk merevisi undang-undang guna memperluas defenisi pelecehan seksual yang juga memuat tindakan verbal atau tertulis seperti dialami oleh Nuril tapi diabaikan polisi.
“Yang lebih aneh, polisi mengatakan kepada penasihat hukum, tindakan terduga pelaku tidak termasuk dalam kategori pelecehan seksual karena ‘tidak terjadi kontak fisik antara mereka berdua’. Pelecehan seksual juga bisa terjadi lewat tindakan verbal maupun tertulis,” ujar dia.
Usman menilai, polisi agar meninjau ulang lagi laporan Nuril, karena akan menimbulkan persepsi publik yang negatif terhadap kepolisian, karena laporan terduga pelaku pelecehan Nuril telah diproses polisi.
“Sebelumnya, polisi memproses laporan terduga pelaku terhadap Nuril, membuat Nuril dihukum enam bulan penjara oleh Mahkamah Agung dan denda sebesar Rp500 juta, walaupun sebelumnya Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Nuril pada 2015. Ketika Nuril mencoba mencari keadilan dengan melaporkan terduga pelaku, polisi tampak tidak sungguh-sungguh menindaklanjuti laporan tersebut,” imbuh dia.
Penolakan polisi untuk mencari terduga pelaku dalam laporan Nuril, kata Usman, berdampak buruk bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan, terutama perempuan yang mengalami pelecehan seksual.
Saat ini Nuril sedang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang memvonis dia bersalah karena telah menyebarkan rekaman dugaan pelecehan seksual. Sidang perdana PK digelar pada 10 Januari 2019.
“Kini satu-satunya harapan mencari keadilan adalah melalui PK di MA setelah kita kecewa atas ketidakseriusan polisi menjerat terduga pelaku dalam kasus Nuril. Publik menunggu hasil PK di MA dan berharap agar lembaga tersebut berpihak pada korban dan bersikap adil dalam mengambil keputusan,” jelas Usman.
Editor: Zakki Amali