tirto.id - Satu siang, pertengahan Juli lalu, Jaja dan rekan-rekannya bergegas turun kembali ke parit. Ayunan tiga cangkul dan dua kantong goni membuka kegiatan mereka yang sudah dua pekan membuat parit.
Mereka mengenakan seragam oranye plus helm dan sepatu bot. Di dada kanan seragam tertulis HSRCC, kependekan dari High Speed Railway Contractor Consortium, gabungan 7 kontraktor yang mengerjakan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer bersama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pengembang proyek.
Perusahaan-perusahaan itu sudah menekan kontrak senilai 4,7 miliar dolar AS pada April 2017 lalu untuk pengerjaan rekayasa, pengadaan, dan konstruksi. Perusahaan negara PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) adalah satu dari ke-7 kontraktor tersebut. Enam perusahaan lain dari Tiongkok: China Railway International, China Railway Group Ltd., Sinohydro Corporation Ltd, CRRC Qingdao Sifang Co. Ltd, China Railway Signal & Communication Corporation Co. Ltd, dan The Third Railway Survey Design Institute Group Corporation.
Dalam proyek tersebut, WIKA menggenggam porsi 30 persen dari nilai kontrak Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Sisanya dibiayai oleh ke-6 perusahaan Cina tersebut. Mayoritas pembiayaan proyek akan dikucurkan lewat pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB), sementara empat perusahaan pelat merah lain dilibatkan buat menyediakan pembebasan lahan proyek.
Keempatnya—tergabung dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)—terdiri PT WIKA, PT Kereta Api Indonesia, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Jasa Marga. Pembagian semula proyek ini: PT PSBI memiliki saham 60 persen dan China Railway Corporation memiliki saham 40 persen di PT KCIC.
Sampai kini proyek yang ditaksir semula menghabiskan duit 5,1 miliar dolar AS atau setara Rp70 triliun ini tidak jelas, molor, perhitungan biayanya membengkak, dan problem pelik lain seperti proses pembebasan lahan yang mandek.
Baca:
- Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Diprediksi Molor
- Sudah Sampai Mana Kereta Cepat Jakarta-Bandung?
- Biaya Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bisa Membengkak
Di lapangan, reporter Tirto mendatangi lokasi yang sedang dikerjakan Jaja dan rekan buruh lain. Mereka adalah sekrup kecil dari megaproyek tersebut, yang lebih menampakkan ambisi Presiden Joko Widodo ketimbang hitungan cermat pemerintahannya yang getol menggenjot sejumlah proyek infrastruktur.
Jalur yang tengah dikerjakan Jaja dan rekan-rekannya berada di Desa Mandalasari, Bandung Barat. Desa ini pernah disambangi Jokowi pada 21 Januari 2016 dalam acara groundbreaking. Ia terletak di lokasi Perkebunan Walini yang disiapkan sebagai transit oriented development (TOD) kereta cepat seluas 2.800 hektare milik PTPN VIII.
“Di sini untuk stasiunnya, tetapi enggak tahu titiknya yang mana. Dengar-dengar juga harus selesai 2019. Ini sudah 2017. Enggak tahu nanti jadi enggak,” ucap salah satu rekan Jaja.
Di bagian lain, tampak tiga ekskavator, satu buldoser, satu loader, dan satu pemadat tanah. Namun tak semua alat berat itu dipakai. Usut punya usut, aktivitas ala kadar di tengah belantara hutan karet ini belum berjalan rutin. Beberapa kali kegiatan lapangan dihentikan dan alat berat dipindahkan.
Di sisi timur, berjarak belasan kilometer dari lokasi peletakan batu pertama proyek, ada lokasi batching plant kereta cepat seluas 3 ha di Kampung Cigentur. Lokasinya di pinggir Jalan Cikalongwetan, sekitar 200 meter dari Kantor Desa Mandalasari.
Dari pantauan kami, pertengahan Juli lalu, belum ada aktivitas kegiatan konstruksi yang penting sama sekali selain tumpukan material pasir dan batu di lokasi tersebut.
“Sekarang ada alat berat di TOD, ada sekitar 5 alat berat. Itu baru berjalan satu-dua bulan. Sebelumnya putus hingga empat bulan ke belakang sehingga pekerjaan berhenti,” kata Adey, kepala desa setempat, kepada kami.
Sembari tertawa, Adey hanya menduga-duga bahwa “mungkin uang belum cair” sehingga proyek berjalan putus-sambung. Itu juga yang bikin macet proses jual-beli lahan proyek seluas 4 hektare di desanya.
Setidaknya ada dua warga dari Kampung Cikuda yang belum sepakat soal biaya ganti rugi yang diberikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China. Begitu pula di Desa Cikalong, Desa Rende, dan Desa Puteran. Desa-desa ini berada di Kecamatan Cikalongwetan.
Mereka termasuk dari 17 desa di antara 4 kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang akan dilintasi oleh trase atau sumbu jalan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Tirto menurunkan laporan khusus yang mengkritisi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini pada Maret 2016: Grusa-Grusu Mengebut Proyek Kereta Cepat
Konsorsium BUMN Kewalahan Menalangi Proyek
Perkara pembebasan lahan yang macet adalah imbas dari pembiayaan proyek yang terhambat: dana pinjaman dari Bank Pembangunan China dan duit patungan dari konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
Empat perusahaan negara di PT PSBI terseok-seok untuk menyetor dana. Keempatnya kesulitan memenuhi tambahan biaya buat membebaskan lahan, salah satunya PT KAI.
Menurut direktur keuangan Didiek Hartantyo, PT KAI—perusahaan negara yang berumur 71 tahun tersebut—belum mampu menyetor modal tahap kedua karena menunggu pendapatan dan pengerahan aset.
PT KAI telah menggelontorkan Rp478 miliar pada tahap pertama ke PT PSBI. Dana ini berasal dari pinjaman internal anak perusahaan. Pada awal pembentukan KCIC tahun 2015, empat perusahaan pelat merah dalam konsorsium kewalahan menyetor dana tunai patungan.
Pasalnya, dalam rencana bisnis megaproyek ini, mereka semula tidak memakai dana tunai. PT KAI, PT Jasa Marga, dan PTPN VIII memakai aset lahan sebagai lintasan kereta cepat.
Namun, karena ada perubahan sumbu jalan kereta cepat—semula dari Stasiun Gambir ke Stasiun Bandung diubah jadi Stasiun Halim Perdanakusuma ke Stasiun Bandung—nilai aset dalam penyertaan modal semakin kecil.
Karena perubahan itu, ujar Didiek, “Aset yang digunakan berkurang sehingga kita optimalkan dari aset Manggarai.”
PTPN VIII juga punya kesulitan modal tunai. Karena hal inilah akhirnya hanya PT KAI, PT WIKA, dan PT Jasa Marga yang menyetor modal tunai tambahan. Sebagai gantinya, PTPN VIII merelakan seluruh aset tanah di Walini sebagai bagian penyertaan modal. Kawasan Walini dikenal punya lanskap indah serta dalam perencanaan proyek kota baru oleh pemerintah Bandung Barat.
Pelbagai masalah ini memunculkan pertanyaan besar kepada PT KCIC sebagai pengembang megaproyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Direktur Utama PT KCIC Hanggoro Budi Wiryawan irit bicara saat dikonfirmasi reporter Tirto, “Saya belum kasih rilis, saya harus menghormati perintah atasan.”
“Nanti pada saatnya saya akan sampaikan begitu kondisi sudah lebih kondusif. Tahun lalu juga begitu, jadi saya tidak perlu klarifikasi,” lanjut Hanggoro saat ditemui di lantai lima Gedung WIKA, beberapa waktu lalu.
Sementara Komisaris PT KCIC Sahala Lumban Gaol menyatakan “tidak ada hambatan” yang penting pada proyek tersebut. “Semua sesuai rencana,” klaim Sahala saat ditemui di lobi Kementerian BUMN.
Apa yang disampaikan oleh Sahala menafikan kondisi di lapangan sejak omong-omong proyek ini tercetus pada 2015 dan peletakan batu pertama proyek oleh Jokowi pada awal tahun 2016.
Baru-baru ini Presiden Jokowi menghendaki perubahan komposisi saham Cina di proyek tersebut. Perusahaan Tiongkok diharapkan meningkatkan komposisi saham hingga 90 persen, sementara BUMN hanya 10 persen. Langkah Jokowi ini lebih terlihat biar proyek kereta cepat tidak mangkrak berlarut-larut.
Di sisi lain, Menteri BUMN Rini Soemarno—yang diberi tugas untuk mengevaluasi pembiayaan proyek bersama Menteri Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan—masih “optimistis” soal pencairan dana pinjaman dari China.
Dalam satu pernyataan di Istana Negara beberapa lalu, Soemarno mengatakan pembebasan lahan proyek kereta cepat baru 55 persen, tapi dengan capaian sebanyak itu, pinjaman tahap pertama sebesar 1 miliar dolar AS dari Bank Pembangunan China sudah bisa dicairkan.
“Jadi target kita untuk penarikan, kita harapkan bisa dilakukan di akhir minggu pertama bulan Agustus,” kata Rini.
Tangan Jokowi di Kereta Cepat
Persoalan pinjaman memang jadi pelik dan berisiko gagal. Semula pemerintah tak mau ikut campur soal pembiayaan proyek. Namun, belakangan, Presiden Jokowi mengeluarkan beberapa regulasi yang bisa memberi ruang bagi pemerintah terlibat dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Regulasi itu termasuk Peraturan Presiden No. 3/2016 tentang proyek strategis nasional dan Perpres No. 107/2015 tentang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung masuk di urutan 60 dari 225 proyek strategis nasional. Artinya, pembangunan kereta cepat memang sangat mungkin mendapat jaminan dan anggaran dari pemerintah. Padahal, di sisi lain, Perpres 2015 menegaskan proyek tersebut tak memakai APBN atau dana jaminan pemerintah.
“Dalam proyek strategis nasional (ada proyek kereta cepat) itu udah enggak benar. Ada upaya colongan. Diam-diam memasukkan kereta cepat dalam daftar proyek strategis nasional,” kata Azas Tigor Nainggolan yang konsen pada isu transportasi.
Usai ada peraturan soal proyek yang dinilai “strategis” dalam skala nasional, di hari yang sama, 8 Januari 2016, Jokowi menginstruksikan kepada kejaksaan agung, menteri, kepolisian, dan pejabat lain untuk “mengambil langkah agar proyek strategis nasional berjalan dengan cepat.” Artinya, ada keistimewaan bagi proyek tersebut termasuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki pernah menyatakan khusus proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak akan memakai anggaran negara dan jaminan pemerintah, sebagaimana disebutkan lewat Perpres 107/2015.
Namun, dalih macam itu bisa dipatahkan karena Indonesia juga punya peraturan pemerintah—notabene lebih tinggi kedudukan hukumnya ketimbang Perpres—mengenai badan usaha milik negera. Dalam PP No. 45/2005 ada pasal yang menyebut pemerintah bisa menugaskan BUMN untuk memberi ganti rugi atas semua biaya jika secara keuangan tidak menguntungkan.
“Lebih tinggi PP daripada Perpres. Masa enggak terbalik cara berpikirnya,” tegas Tigor.
Selain itu, Jokowi juga telah mengelurkan perubahan aturan atas Perpres No. 58/2017, isinya termasuk menambahkan sejumlah proyek infrastruktur baru, dan menetapkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di urutan ke-82 dari 248 proyek strategis nasional.
Perpres itu mengatur, salah satunya, proyek strategis nasional—yang bersumber dari anggaran pemerintah maupun nonpemerintah—harus dipercepat pelaksanaannya. Ia juga menegaskan bahwa Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bisa ditunjuk sebagai koordinator untuk mengusulkan perubahan proyek strategis nasional yang bersumber dari non pembiayaan negara.
Lagak tergesa-gesa demi mengamankan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung oleh Jokowi ini mengesankan cara pemerintahan sekarang yang ingin serba cepat tetapi luput perhitungan yang riil.
Itu dikemukakan oleh Djoko Setijowarno, akademisi teknik sipil dari Unika Soegijapranata, yang pernah menjadi pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia. Keterlibatan negara luar, dalam hal ini perusahaan negara Cina semakin besar justru ketika proyek macam ini diklaim pemerintah punya nilai “strategis” secara nasional.
“Saya sudah beri masukan sejak awal. Harusnya kita siap dulu,” kata Setijowarno, “Jadi jangan membikin groundbreaking dahulu sementara tidak jelas perjanjiannya.”
“Akhirnya, kan, seperti ini … Sudah salah langkah. Yang rugi kita sendiri … Kita sudah keluarkan duit sementara yang janji (perusahaan negara Cina), satu Yuan pun belum keluar.”
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam