Menuju konten utama

Membongkar Korupsi Proyek Infrastruktur

ICW mencatat nilai kerugian akibat korupsi dalam proyek infrastruktur lebih besar dibanding korupsi lain.

Membongkar Korupsi Proyek Infrastruktur
Terdakwa kasus dugaan suap proyek Jalan Trans Seram Kementerian PUPR di Maluku, Damayanti Wisnu Putranti menangis saat menjalani sidang pembacaan pledoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/9). Dalam pledoinya, Damayanti mengakui dan meminta maaf atas segala kesalahannya serta meminta majelis hakim meringankan hukumannya. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/16.

tirto.id - Damayanti Wisnu Putranti meneteskan air mata saat majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, pada 26 September 2016. Politisi PDIP itu dinyatakan bersalah dan terbukti menerima suap proyek pelebaran jalan Tehoru-Laimu, Maluku, senilai Rp8,1 miliar.

Vonis untuk Damayanti ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta hakim menjatuhi hukuman 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengajukan banding.

“Alasannya, kalau dilihat dari pertimbangan kita sudah banyak masuk ke putusan, itu pertimbangan pertama. Kedua, hukuman pidana juga sudah dua pertiga, kemudian dendanya sudah sesuai,” kata Ronald F Worotikan, ketua jaksa penuntut umum KPK dalam perkara Damayanti, seperti dikutip Antara.

Dalam vonis tersebut, Damayanti mendapat status justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan perkara berdasarkan surat keputusan Pimpinan KPK No.Kep-911/01-55/08/2016.

Permohonan status justice collabrator Damayanti dikabulkan KPK sebagai pintu masuk bagi komisi antirasuah untuk membogkar korupsi dalam proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Melalui kesaksian Damayanti, KPK mengembangkan penyelidikan kasus ini.

Sejauh ini, sejumlah nama telah ditetapkan sebagai tersangka, seperti Andi Taufan Tiro (anggota Komisi V dari fraksi PAN), Amran Hi Mustary (Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional/BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Kementerian PUPR) dan Budi Supriyanto (anggota Komisi V dari Golkar Budi Supriyanto).

Sementara rekan Damayanti, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi, sudah divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Sedangkan penyuap Damayanti, Abdul Khoir (Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama) juga sudah divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.

Seperti diketahui, Abdul Khoir memberikan uang suap kepada Damayanti agar ia mengusulkan kegiatan pelebaran jalan Tehoru-Laimu. Damayanti juga diminta menggerakkan rekannya, Budi Supriyanto, untuk mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di wilayah BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sebagai usulan "program aspirasi" anggota Komisi V DPR. Tujuannya, agar proyek itu bisa disertakan dalam Rapat APBN Kementerian PUPR 2016 dan nanti dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama.

Korupsi Proyek Infrastruktur Masif

Kasus yang menjerat Damayanti dan sejumlah anggota DPR serta pengusaha tersebut hanya satu dari banyak kasus korupsi proyek infrastruktur. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan jumlah kasus korupsi pada tahap penyidikan semester I tahun 2016 mencapai 211 kasus. Kasus ini ditangani oleh tiga institusi yang berbeda: Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Menurut ICW, 63 dari 211 kasus itu adalah kasus korupsi proyek infrastruktur.

Secara kuantitas, jumlah korupsi infrastruktur memang lebih sedikit dibanding kasus korupsi non-infrastruktur. Namun, kerugian negara lebih besar, yakni Rp486,5 miliar. Adapun kerugian negara akibat korupsi non-infrastruktur sekitar Rp404 miliar.

Infografik Korupsi Proyek Infrastruktur

Korupsi proyek infrastruktur yang meluas ini jadi sinyalemen mengkhawatirkan di tengah keseriusan pemerintah Presiden Joko Widodo yang getol menggalakkan proyek infrastruktur. Apalagi persoalan yang muncul dari proyek infrastruktur tak hanya soal korupsi, melainkan problem yang melibatkan urusan pembebasan lahan, yang memicu kekerasan dan konflik agraria. Problem lain adalah banyak proyek mangkrak lantaran dana keburu habis dikorupsi.

Misalnya, untuk menggenjot sejumlah proyek infrastruktur, pemerintah membutuhkan dana tak kurang dari Rp5.000 triliun. Dana sebesar ini tentu tak dapat mengandalkan APBN sehingga pemerintah melibatkan pihak swasta nasional dan asing.

Selain itu, pemerintah mengandalkan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) untuk terlibat dalam proyek infrastruktur ini.

Laporan tahunan IIF 2015 mencatat pembiayaan infrastruktur naik secara signifikan. Misalnya, pada 2012, komitmen IIF hanya sekitar Rp500 miliar, lalu naik signifikan menjadi 2,49 triliun pada 2013. Jumlah ini terus naik menjadi Rp2,52 triliun pada 2014 dan Rp5,58 triliun pada 2015.

Sementara pencairan pinjaman juga menunjukkan kenaikan. Misalnya, pada 2013, pencairan pinjaman untuk proyek infrastruktur baru sekitar Rp995 miliar, naik menjadi 1,77 triliun pada 2014, dan naik menjadi Rp4,23 triliun pada 2015. Kenaikan pencairan pinjaman ini sejalan sejumlah proyek infrastruktur yang digenjot Presiden Jokowi.

Kementerian PUPR sebagai pelaksana dari sejumlah proyek infrastruktur yang menjadi target pemerintah Presiden Jokowi tentu tak mau kecolongan. Karena itu, Kementerian PUPR menempuh sejumlah terobosan, salah satunya melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 14/PRT/M 2016 tentang Pengendalian Gratifikasi di lingkungan kementerian.

Permen ini diharapkan jadi pedoman bagi pegawai kementerian dalam mengendalikan praktik gratifikasi. Misalnya, pasal 3 menyebutkan setiap pegawai Kementerian PUPR dilarang menerima dan/atau memberikan gratifikasi dan diancam sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Tak hanya menerbitkan Permen soal gratifikasi. Kementerian PUPR juga menerapkan Whistle Blowing System yang dinilai bermanfaat dalam memperkuat sistem pengendalian internal. Ia menyediakan mekanisme antara lain cara penyampaian informasi yang penting dan kritis, deteksi dini atas kemungkinan terjadi masalah akibat pelanggaran, kesempatan menangani masalah pelanggaran secara internal sebelum meluas, mengurangi risiko dampak dari pelanggaran, dan masukan kepada organisasi.

Selain itu, Kementerian PUPR juga mengikuti kebijakan Presiden Jokowi tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Dalam konteks ini, Kementerian PUPR akan segera membentuk Saber Pungli sendiri yang akan bekerja efektif mulai tahun ini.

Langkah-langkah ini sebuah upaya pereventif agar praktik korupsi proyek infrastruktur dapat dihindari. Namun, apakah langkah-langkah macam ini bisa efektif dalam membongkar dan meminimalisir praktik korupsi proyek infrastruktur?

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti