Menuju konten utama
Djoko Setijowarno:

"Uang Satu Yuan pun Belum Keluar untuk Kereta Cepat"

Anggaran negara tak akan sanggup membiayai proyek ambisius kereta cepat Jakarta-Bandung.

Avatar Djoko Setijowarno. Tirto.id/Sabit

tirto.id - Sejak awal, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung jadi sasaran tembak dan kritikan tajam, dari keputusan menggarapnya hingga persiapannya. Setelah berjalan lebih dari satu setengah tahun sejak groundbreaking pada 21 Januari 2016, yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, proyek ini belum ada perkembangan signifikan.

Proyek ini dibelit problem krusial antara lain pembebasan lahan dan proses pencairan pembiayaan. Untuk yang terakhir, pendaaan akan mengandalkan pinjaman dari pihak luar terutama dari Bank Pembangunan China.

Pekan lalu, Presiden Jokowi meminta proyek kereta cepat dievaluasi kembali untuk merombak porsi saham konsorsium Indonesia yang diwakili empat BUMN agar tak menjadi pengendali di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku pengembang proyek ini.

Kemampuan para BUMN yang megap-megap menyediakan dana megaproyek ini menjadi taruhan bagi pemerintah. Persoalan ini kembali jadi target kritikan tajam buat pemerintah. Meski pada dasarnya proyek ini business to business, tapi dengan melibatkan BUMN dan dukungan regulasi, pemerintah tentu tak bisa lepas tangan bila proyek sampai mangkrak.

Baca:

Toh, kesepakatan sudah diteken. Tampaknya Jokowi akan tetap ngotot proyek kereta cepat Jakarta-Bandung jalan terus. Bagaimana peluang proyek kereta cepat yang ambisius ini?

Berikut wawancara Reja Hidayat dari Tirto dengan Djoko Setijowarno, akademisi teknik sipil dari Unika Soegijapranata, yang pernah menjadi pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia, Jumat pekan lalu.

Presiden Jokowi menginstruksikan Menteri Luhut Panjaitan dan Menteri Rini Soemarno untuk mengkaji ulang porsi pendanaan proyek kereta cepat jadi 10 persen untuk Indonesia, dan 90 persen Cina. Anda melihat ada problem apa?

Sebenarnya masalah kereta cepat sudah saya beri masukan sejak awal. Kalau saya ulangi, saya mengungkit masa lalu. Intinya, sekarang ini menjadi pembelajaran sajalah, tidak semudah yang kita pikirkan. Apalagi dengan negara asing. Harusnya kita siap dulu.

Jadi jangan membikin groundbreaking dahulu sementara tidak jelas perjanjiannya. Akhirnya, kan, seperti ini. Kita sudah mengingatkan dari awal. Memang saya tidak pada aspek ekonomi tapi pada aspek teknisnya.

Setidaknya, perjanjian seperti ini menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Kalau buat perjanjian, belum jelas, jangan melangkah dahulu. Ini melangkah dahulu tapi perjanjian belum jelas. Sudah salah langkah, mau gimana lagi?

Kalau salah langkah, yang rugi kita sendiri seperti sekarang ini. Dari 60 persen menjadi 10 persen. Daripada nanti mangkrak, kan, ya sudah menanglah pihak sana. Kalau belum cermat, jangan dikerjakan dahulu. Harus matang. Kalau sudah begitu, kita salah langkah. Yang malu, kan, bangsa sendiri bila proyek ini tidak diteruskan.

Telanjur percaya. Kita sudah keluarkan duit sementara yang janji (perusahaan Cina dan Bank Pembangunan China), satu Yuan pun belum keluar.

Iya, pintar dia, bodoh kita. Begitu percaya dengan orang dekat yang memberi masukan. Yang tanggungjawab itu orang dekat karena memberikan masukan.

Siapa yang memberikan masukan kepada presiden tidak benar itu? Memberikan masukan itu harusnya mereka tanggung jawab!

Presiden Jokowi mengambil langkah terlalu cepat tanpa pertimbangan matang?

Iya, terlalu tergesa-gesa. Ini menjadi polemik lagi. Artinya kita harus berhati-hati. Ini menjadi pembelajaran berharga bagi bangsa ini. Sudah jadi bola politik juga, kan.

Apa perubahan skema pendanaan menjadi salah satu cara menyelamatkan proyek?

Iya, daripada mangkrak.

Memang bagaimana kondisi BUMN kita saat ini?

BUMN seperti PT KAI itu kasihan, kan. Para BUMN ini tidak bisa menolak.

Secara finansial, apakah BUMN kita mampu melanjutkan proyek ambisius ini?

Enggak tahu keuangan BUMN kita, karena beda-beda.

Menurut Anda apa persoalan mendasar dari kasus proyek kereta cepat ini?

Ini ketidakhati-hatian kita saja. Kita terlalu menggebu-gebu. Karakter cepat Cina itu seperti apa. Mungkin semua orang tahu.

Bagaimana kalau konsorsium gagal mendapatkan skema pembiayaan proyek ini?

Gagal atau tidak itu relatif juga. Kalau cermat, ya tidak gagal.

Persoalan pelik proyek kereta cepat sudah terjadi, memang idealnya seperti apa seharusnya?

Sama seperti proyek lain, ya. Artinya, harus ada studi kelayakan terlebih dahulu. Harus ada juga analisis dampak lingkungan. Sama seperti proyek lain, disiapkan terlebih dahulu. Saya kira sudah ada.

Namun yang jadi pertanyaan: membuatnya bagaimana? Mau membuat satu hari? Satu malam? Saya tidak tahu. Kalau ditanya ada studinya? Ya, ada. Masalahnya: Bagaimana prosesnya? Pihak sana yang tahu. Saya tidak ikut-ikutan.

Artinya kajian lingkungan dan studi kelayakan proyek kereta cepat tak masuk akal selesai dalam waktu tiga bulan?

Buat AMDAL sendiri itu setahun, AMDAL itu ada setelah ada feasibility study juga setahun. Jadi minimal dua tahun. Setelah itu baru groundbreaking. Itu paling cepat. Seharusnya seperti itu. Saya tidak tahu tiba-tiba langsung groundbreaking.

Kenapa Januari 2016 itu langsung peletakan batu pertama proyek?

Tidak tahu. Itu ditanya ke orang-orang dekatnya. Pak Jokowi pusing. Kasihan, kan.

Skenario terburuk BUMN tidak mampu membiayai proyek ini. Bagaimana skenario menyelamatkannya?

Ini risiko negara. Skema saja yang diubah, mungkin keputusan terakhir skemanya 10 persen (Indonesia) dan 90 (Cina) itu karena dianggap tidak mampu. Negara punya keputusan itu.

Apakah ada kemungkinan proyek ini ditanggung oleh negara lewat APBN?

Berat. APBN kita tidak sanggup dan pasti DPR tidak setuju. Masak Pulau Jawa terus yang dibangun? Bukan hanya kereta cepat, perjanjian dengan luar negeri itu harus berhati-hati. Apalagi dengan negara yang jarang bekerja sama. Jadi jangan muluk-muluk di awal, masalahnya di ujung. Senang di awal, masalah di ujung.

Mendengar masukan boleh. Tapi lihat kebiasaan dan kejadian yang bisa membuat citra kita lebih buruk. Sebenarnya lebih baik, lihat saja di Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Di situ ada daftar kereta cepat tidak? Itu saja dilaksanakan. Aman.

Dalam RPJM Nasional itu banyak program transportasi yang belum berjalan. Banyak. Ngeri. Kementerian Perhubungan lihat tidak itu? Setiap kementerian ada rencana strategis (renstra), sejauh ini berapa persen renstra itu berjalan? Kalau tidak, maka jadi bahan evaluasi.

Bisa beri contoh?

Public transport. Itu rencananya 34 kota tapi satu kota pun belum ada. Yang berbasis renstra. Ngeri, lho. Saya tidak yakin di sisa akhir jabatan Presiden Jokowi (bisa selesai). Satu kota selesai sudah bagus itu. Satu kota saja belum, bagaimana 34 kota? Ini ngeri-ngeri sedap. Pembantunya di mana ini? RPJM Nasional tidak ada kereta cepat satu kalimat pun. Yang ada industri (ekonomi) kreatif.

Apakah pembangunan kereta cepat ini ada kaitan dengan dorongan para pengembang, terutama di wilayah trase?

Bukan. Karena terpesona saja dengan kereta cepat Cina. Yang namanya orang ditawari ya senang, kan. Wah, keretanya cepat, tapi karakternya beda. Memang enak keretanya, tapi karakter kita, kan, berbeda.

Cina main iya-iya saja. Cina sudah senang karena sudah ada tanah dari Indonesia, lalu uang satu Yuan pun belum keluar. Masih ada waktu dua tahun untuk kembali mengacu pada RPJMN.

Baca juga artikel terkait PROYEK KERETA CEPAT atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam