tirto.id - Komjen Pol Firli Bahuri resmi menjabat Kabaharkam Mabes Polri berdasarkan Surat Telegram Nomor: ST/3020/XI/KEP/2019 bertanggal 8 November 2019. Artinya, ia akan rangkap jabatan karena per 20 Desember juga dilantik menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.
Rangkap jabatan itu menuai kritik. Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery pun mempertanyakan masalah itu saat rapat kerja dengan Polri, pada Rabu, 20 November 2019.
“Apakah Komjen Firli dengan diangkat menjadi Kabarhakam dan kebijakan ini tidak terjadi rangkap jabatan, saya kira perlu penjelasan resmi Kapolri,” kata Herman.
Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis pun memastikan bila Firli akan diganti bila resmi dilantik sebagai pimpinan KPK. Namun, Firli tetap tercatat sebagai anggota Polri hingga dia pensiun.
Firli tercatat sebagai polisi aktif, bukan purnawirawan selama menjadi ketua KPK periode 2019-2023.
“Anggota Polri yang diangkat sebagai pimpinan KPK dalam hal ini Kabaharkam, tidak harus mengundurkan diri sebagai anggota Polri, tapi harus diberhentikan dari jabatannya,” kata Idham.
Idham mengacu pada Pasal 29 UU Nomor 30 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal tersebut menyatakan anggota Polri tidak harus mundur dari kesatuan, tapi cukup melepaskan jabatan struktural di kepolisian.
“Nanti kalau beliau akan dilantik, Insya Allah 20 Desember, sebelum dilantik nanti kami akan mencari gantinya karena tidak mungkin Firli rangkap jabatan,” kata Idham.
Hal senada diungkap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Ia menyatakan sebelum Firli dilantik harus melepaskan jabatan di institusi asalnya.
“Dia akan melepaskan jabatan itu [Kabaharham], diatur dalam Undang-Undang KPK lama dan Undang-Undang KPK hasil revisi 2019,” kata Saut dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/11/2019).
Saut menegaskan pencopotan jabatan itu telah diatur. “Intinya menjalankan profesi dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lainya selama menjadi anggota KPK (dalam) Pasal 29," ujar Saut.
“Itu perintah undang-undang, Firli juga paham itu. Lagi pula (jika rangkap jabatan) banyak kerjanya,” kata Saut.
Firli Sebaiknya Mundur dari Polri
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan rangkap jabatan seharusnya tidak boleh.
“Itu standar etik dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN," ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto.
Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian, kata Feri, seorang polisi memiliki dua pimpinan: Presiden dan Kapolri. Seorang anggota Polri, kata Feri, wajib melaporkan seluruh tindakan mereka kepada Presiden dan Kapolri.
“Jika pimpinan KPK harus melapor kepada Kapolri, maka rusaklah sistem lembaga independen,” kata Feri.
Feri berpendapat sebaiknya Firli mundur sebagai anggota Polri bila ia dilantik menjadi ketua KPK periode 2019-2023.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zaenur Rohman menyatakan sudah pasti Firli melepaskan jabatan Kabaharkam, seperti yang disampaikan Kapolri Idham.
Namun, kata dia, ketika Firli sebagai polisi aktif menjabat ketua KPK, maka akan ada potensi konflik kepentingan. Karena itu, ia menyarankan sebaiknya Firli pensiun dini.
“Karena salah satu tugas KPK ialah jadi trigger untuk Kepolisian dan Kejaksaan. Bagaimana jika Ketua KPK adalah polisi aktif? Padahal tugas KPK jadi trigger," ucap Zaenur ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/11/2019).
Menurut Zaenur, KPK dan Polri adalah institusi penegak hukum. Tidak elok jika Ketua KPK adalah polisi aktif yang bisa disebut sebagai 'bawahan kepolisian'.
“Itu terkesan KPK jadi insubordinasi dari Polri,” kata Zaenur menambahkan.
“Secara fatsun, sebaiknya Firli melepaskan statusnya sebagai anggota Polri dengan mengajukan pensiun dini," ujar Zaenur.
Hal ini, kata Zaenur, berbeda dengan konteks Basaria Panjaitan yang telah memasuki masa pensiun ketika ditetapkan sebagai komisioner KPK.
“Basaria tidak apple to apple dengan Firli. Firli masih lama pensiunnya. Konteks Firli lebih kepada fatsun, etika politik lembaga negara,” kata Zaenur.
Tujuan pensiun dini, kata Zaenur, agar menjaga maruah KPK sebagai instansi pemberantasan korupsi dan menghilangkan potensi konflik kepentingan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz