tirto.id - Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan kembali mencuat usai pelantikan Idham Azis sebagai Kapolri pengganti Tito Karnavian yang ditunjuk Jokowi sebagai Mendagri Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Presiden memberi tenggat waktu hingga awal Desember 2019.
Saat Idham menjadi Kapolda Metro Jaya, ia sempat membentuk satgas khusus kasus Novel. Setidaknya 166 penyidik ditugaskan fokus untuk kasus Novel.
Polda menggandeng pula pihak luar negeri untuk sketsa pelaku. Namun, sejak tim dibentuk pada 2018, tidak ada hasil signifikan dalam kasus Novel.
Komnas HAM akhirnya merekomendasikan Polri yang saat itu dipimpin Tito agar membentuk tim pencari fakta. Tim ini melibatkan 65 orang dari unsur kepolisian, pakar, dan anggota internal KPK. Surat tugas bernomor Sgas/3/I/Huk.6.6./2019 berlaku selama enam bulan sejak 8 Januari sampai 7 Juli 2019.
Namun, tim teknis tak kunjung menangkap pelaku dan menetapkan tersangka dalam kasus Novel hingga tenggat waktu 31 Oktober 2019.
Tim Teknis Sebaiknya Dibubarkan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta Zaenur Rohman menilai keberadaan tim teknis tidak berguna dan layak dibubarkan. Sebab, tim ini dinilai gagal mengungkap kasus Novel ini.
"Tim teknis yang sudah selesai mandatnya yaitu tiga bulan, tidak perlu diperpanjang. Setelah itu presiden perlu membentuk TGPF," ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat (1/11/2019).
Menurut Zaenur, TGPF merupakan satu-satunya jalan untuk menuntaskan kasus Novel.
TGPF, kata Zaenur, harus terdiri dari perwakilan institusi penegak hukum, tokoh masyarakat, dan parah ahli dengan kredibilitas tinggi. Sehingga peran dan fungsi saling kontrol akan tercipta.
"Agar tidak ada potensi conflict of interest dalam pengungkapan kasus Novel Baswedan," ujar dia.
Kuasa hukum Novel, Muhammad Isnur pun kembali menantang kepolisian untuk mengungkap kasus Novel.
Isnur mengatakan, tim teknis belum bisa menangkap pelaku meski Novel sudah menyatakan ada dugaan jenderal terlibat dalam kasusnya. Isnur menagih kinerja kepolisian dalam kasus Novel karena mereka digaji negara.
"Harusnya ada di kepolisian mana pembuktian yang Anda inginkan. Itu kan pakai uang negara, pakai SK, pakai anggaran rakyat dan lain-lain untuk mengungkap kasus ini dan itu enggak berhasil sama sekali. Kami belum menerima pengungkapan," kata Isnur, pada Sabtu (2/11/2019).
"Kalau kami sih jangan banyak obrol, jangan banyak omong. Buktikan saja mau dengan cara apa pun silakan, ungkap dong dan jangan pelaku lapangan, tapi juga otak pelaku penyerangan," kata Isnur.
Isnur memandang, masalah kasus Novel tidak hanya masalah tim teknis. Sebab, kata dia, kasus ini mempertaruhkan citra kepolisian karena negara tidak mampu menyelesaikannya.
"Kita serahkan ke mereka (pembubaran tim atau tidak), tapi ingat Anda punya kewajiban menurut undang-undang," kata Isnur.
"Masak satu negara berapa puluh ribu kepolisian enggak ada yang sanggup mengungkap kasus ini. Ada apa dengan kepolisian negara kita ini?" kata Isnur mempertanyakan.
Isnur kembali mendorong agar pemerintah membentuk TGPF independen.
Menurut Isnur, TGPF independen dapat mengungkap kasus Novel karena bisa menyinggung aspek politik hingga organisasi kepolisian. Namun, semua itu tidak akan terealisasi tanpa komitmen Presiden Jokowi, Kapolri Idham, maupun Kabareskrim.
Pihak Mabes Polri belum merespons tentang dorongan publik maupun tantangan dari tim kuasa hukum. Polri mengklaim kalau kasus Novel sudah ada kemajuan meski tidak diumumkan ke publik.
"Sampai detik ini, tanpa henti tim teknis bekerja, mereka melakukan upaya upaya maksimal untuk mengungkap kasus ini, peristiwa ini," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M. Iqbal di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11/2019) usai pelantikan Idham sebagai Kapolri.
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Yanuarti menilai polisi seharusnya sudah punya hasil karena kerja tim pencari fakta sudah menyerahkan hasilnya ke polisi.
"Sebenarnya tim TPF kemarin sudah ada hasil, cuma tinggal political will-nya mereka [polisi] saja mau membuka," kata perempuan yang akrab disapa Yanu ini saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu kemarin.
Yanu mengatakan, Polri sebaiknya terbuka dengan proses dan hasil investigasi. Sebab, kata Yanu, hasil investigasi akan membuat publik paham kendala penanganan perkara Novel.
Selain itu, kata Yanu, hasil investigasi tidak langsung menghukum tersangka karena harus dibuktikan di pengadilan.
Yanu beranggapan, kasus Novel tergolong mudah bila dibandingkan dengan sejumlah kasus lain, seperti Saracen. Polisi juga berhasil mengungkap kasus Munir dan Bom Bali yang tergolong sulit.
"Bom Bali itu lebih rumit loh ya. Lebih rumit. Masa cuma nyiram air raksa satu orang enggak bisa ngungkap?" kata Yanu mempertanyakan.
Menurut Yanu, setelah Presiden Jokowi memberi tenggat waktu dan ternya belum selesai juga, maka Jokowi bisa membentuk tim baru atau TGPF independen yang lebih minim kepentingan.
Tim baru disarankan melibatkan Komnas HAM hingga organisasi sipil bebas afiliasi.
Yanu mencontohkan TGPF Munir sebagai bentuk tim ideal dalam mengungkap kasus Novel. Dengan keberadaan tim independen, kata dia, pelaku bisa terungkap dan publik bisa paham tentang dugaan keterlibatan jenderal di kasus Novel.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz