tirto.id - Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa, mengatakan 'kasus buku merah' bisa menjadi pegangan atau pedoman dasar untuk mengungkap siapa otak di balik kasus penyerangan terhadap Novel, seorang penyidik KPK.
"Dari awal kami mempertanyakan kenapa kasus buku merah tidak termasuk dalam daftar yang diduga terkait dengan penyiraman terhadap Novel," ucap Alghiffari di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Pernyataan tersebut dikeluarkan saat tim mendatangi Kantor Sekretariat Negara dalam rangka memberikan rekomendasi resmi agar Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen untuk mengungkap kasus penyerangan terhadap Novel.
Tim mendesak hal ini karena Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dianggap tidak kompeten. TPF menduga penyerangan terhadap Novel dikarenakan penyidik senior KPK itu sedang menangani enam kasus besar di KPK. Di antara enam itu, tidak ada satu pun yang terkait buku merah.
Novel sempat bertemu Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada 4 April 2017. Dalam pertemuan itu Novel mengklarifikasi dugaan adanya nama Tito sebagai penerima aliran dana dari pengusaha Basuki Hariman dalam kasus suap impor daging.
Apa yang terjadi setelahnya kita tahu bersama: Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal. Sebelah matanya buta, hingga sekarang.
Anak buah Novel juga sempat dirampok oleh orang tidak dikenal. Sejumlah dokumen dan laptop dibawa kabur.
Menurutnya kasus buku merah seharusnya jadi perhatian karena setidak-tidaknya ia sangat dekat secara kronologis.
"Tidak bisa kasus buku merah ini dipisahkan dari kasus 11 April 2017, penyerangan terhadap Novel. Karena waktunya hanya beda satu minggu," jelas Alghiffari.
Pendalaman terhadap buku merah ini perlu dilakukan untuk membuktikan apa motivasi Roland dan Harun merobek beberapa lembar buku merah yang terdapat nama Tito. Saat itu keduanya ditugaskan di KPK sebagai penyidik.
"Bisa jadi inisiatif Roland dan Harun yang kemudian menjadi prestasi mereka. Itu harus dibuktikan lebih lanjut," kata Alghiffari.
Untuk bisa itu semua, kata Alghif, dibutuhkan tim independen agar tak memiliki konflik kepentingan. "Kita butuh salurannya, kalau salurannya di kepolisian, maka ada conflict of interest."
"Ini sebenarnya juga untuk menyelamatkan nama pak Tito, bisa jadi nama dia dicatut di kasus satu tindak kejahatan, padahal enggak tau apa-apa," pungkasnya.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino