tirto.id - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun usai Pemilihan Presiden 2019.
Sebelum Pilpres 2019, LSI Denny JA mencatat tingkat kepercayaan publik pada KPK sebesar 89 persen. Namun, hal itu turun menjadi 85,7 persen saat pesta demokrasi ini rampung.
Sementara responden LSI Denny JA yang kurang percaya terhadap KPK trennya naik dari 6,5 persen menjadi 8,2 persen usai pilpres.
Tak hanya KPK, LSI Denny JA mencatat tren penurunan kepercayaan publik juga terjadi di TNI, Polri, DPR hingga MK. TNI dari 90 persen jadi 89 persen; Polri turun dari 87,7 persen jadi 72,1 persen; DPR dari 65 persen jadi 63,5 persen; dan MK dari 76,4 persen jadi 70,2 persen.
Peneliti senior LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengamini bahwa terpilihnya pimpinan KPK periode 2019-2023 menjadi salah satu faktor menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap komisi anti-rasuah tersebut.
"Saya pikir untuk saat ini berpengaruh ke trust terhadap KPK ya, agak turun sedikit. Artinya [penurunan] itu kan kombinasi dari banyak faktor, termasuk faktor itu [ketua KPK baru dan revisi UU KPK]. Tapi yang menjadi catatan kami [adalah] turunnya trust," ujar Adjie dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2019).
Proses pemilihan komisioner KPK berlangsung gaduh. Ketua KPK terpilih periode 2019-2023, Firli Bahuri ditengarai bermasalah secara etik saat bertugas di komisi anti-rasuah sebagai Deputi Penindakan. Namun, tudingan ini dibantah oleh Firli.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menganggap, penurunan yang disebabkan faktor proses pemilihan pimpinan KPK adalah hal yang wajar. Sebab memang dalam perjalanannya, pemilihan tersebut basah oleh kontroversi.
"Proses pemilihan pimpinan KPK kita nilai tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. Jadi wajar saja kepercayaan publik menurun terhadap KPK," ujarnya kepada Tirto ketika ditemui di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2019).
Sementara Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rohman berpandangan, tidak adanya keterbukaan dalam proses merevisi undang-undang KPK turut melatarbelakangi menurunnya tingkap kepercayaan publik terhadap KPK.
"Revisi UU KPK jelas sekali melemahkan KPK dan membahayakan independensi KPK karena berada di bawah pengaruh dan kontrol Presiden Jokowi. Sehingga masyarakat bertanya-tanya. Itu juga mempengaruhinya," ujarnya kepada tirto, Jumat.
Revisi UU KPK dibikin dalam waktu singkat dan tanpa prosedur administrasi perundang-undangan, sehingga cacat formil dan materiil. UU ini kini tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.
Bisakah Kepercayaan Publik Meningkat?
Kurnia justru tidak berpikir bahwa KPK harus melakukan sesuatu hanya demi meningkatkan kepercayaan publik terhadap mereka.
Sebab, menurut Kurnia, KPK sudah terlanjur dilemahkan dan tak lagi berkutik sejak UU baru diterbitkan pada 17 Oktober 2019.
"Memang kondisinya harus diterima. Kita tidak mungkin berharap pada pemerintah, apalagi pada DPR. Dan KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kunci-kunci KPK dipegang pemerintah dan DPR," ujarnya.
Meski pernyataan Kurnia kental nuansa pesimistis. Namun, ia bersama ICW masih akan tetap mengawal jalannya KPK dibawah kendali Firli kelak.
"Kami akan tetap kritis terhadap KPK dan akan lebih mengawasi lagi bagaimana pola kerja. Harapan kami tidak ada lagi potensi-potensi pelanggaran yang dilakukan pimpinan baru," ujarnya.
Sementara Zaenur, justru berpendapat bahwa dengan adanya perubahan UU ini, seharusnya dapat menaikkan kepercayaan publik ke KPK. Hal ini karena masyarakat selama ini memandang KPK merupakan lembaga yang independen.
"Kunci dari tingkat kepercayaan masyarakat adalah independensi KPK. Dengan begitu KPK bisa melaksanakan tugasnya dengan baik," ujarnya.
Ke depan, lanjutnya, implementasi UU baru ini akan terus diuji di tengah harapan masyarakat soal independensi KPK.
"Harus ada usaha masyarakat untuk menuntut negara dan pemerintah untuk mengembalikan independensi KPK. Lakukanlah perubahan terhadap UU 19/2019. Melalui judicial review atau perppu," ujarnya.
Peraturan Pengganti UU KPK terus disuarakan sejak revisi UU KPK bergulir. Namun, sejumlah tokoh menilai Presiden Joko Widodo tak lagi mengindahkannya, karena harus berpikir jangka panjang untuk lima tahun ke depan.
Di tengah situasi ini, Zaenur meminta KPK harus terus meyakinkan masyarakat bahwa independensi tetap akan mereka jaga meskipun kondisi tidak lagi sama.
"Internal KPK harus meyakinkan masyarakat bahwa mereka tetap independen dengan cara tidak pandang bulu, menunjukkan kinerja yang baik dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.
Respons KPK
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah enggan berpolemik menanggapi hasil survei LSI Denny JA.
Menurutnya posisi KPK masih cukup baik lantaran berada di nomer urut kedua dari 12 lembaga negara yang disurvei. Meskipun ia menyadari ada penuturan 3 persen dari angka sebelumnya.
"Tentu perlu kita lihat lebih jauh karena momentumnya yang dilihat oleh survei itu kan dalam politik. Di dalam momen politik ada kubu-kubuan dan ada persepsi yang beredar sedemikian rupa, dikaitkan dengan kerja KPK. Perlu juga dilihat lebih lanjut," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (14/11/2019).
Momentum Politik itu membikin KPK selalu diarah seakan-akan membela partai politik tertentu ketika sedang menindak kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi.
"Kami juga sudah menegaskan secara kritis bahwa KPK secara kelembagaan tidak akan berada pada salah satu pihak yang berkepentingan politik. Ketika ada kasus yang melibatkan aktor-aktor politik akan kami proses semuanya selagi buktinya cukup kuat," ujar Febri.
Febri enggan berspekulasi lebih jauh ketika disinggung terkait adanya faktor dari pemilihan pimpinan baru dan revisi UU KPK terhadap tingkat kepercayaan publik. Ia hanya mau memandang hasil survei sebagai masukan dan tolak ukur demi perubahan internal KPK saja.
"Kalau tingkat kepercayaan publik memang turun dan bisa diidentifikasi penyebabnya maka akan dilakukan perbaikan. Kalau naik juga tidak bisa berpuas diri, karena masih ada banyak hal yang harus dilakukan," tutupnya.
Terpisah, Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo menyebut, Jokowi masih punya kesempatan untuk mengeluarkan Perppu KPK. Hal ini, karena kewenangan KPK bakal berlaku penuh pada 21 Desember 2019.
Di antaranya terkait Dewan Pengawas KPK yang mempunyai kewenangan memberikan izin terhadap upaya penggeledahan, penyitaan dan penyadapan yang dilakukan oleh KPK dalam mencari alat bukti dan barang bukti kasus korupsi dilantik bersamaan dengan pimpinan baru.
Menurutnya, harapan publik yang tinggi ke KPK seharusnya memicu upaya penguatan, bukannya menerbitkan revisi yang justru melemahkan KPK dan berujung turunnya kepercayaan publik.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali