tirto.id - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD telah melemparkan klaim terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyebut institusi anti rasuah itu tak menggubris laporan kasus korupsi besar yang diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Presiden menunjukkan, menyampaikan laporan ke KPK, ini, ini, ini [kasusnya], tapi enggak terungkap," ujar Mahfud MD saat bertemu para tokoh masyarakat di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019).
Kata Mahfud, Presiden Jokowi akan berupaya menguatkan institusi polisi dan kejaksaan untuk membantu tugas KPK memberantas korupsi.
Menanggapi klaim Jokowi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengaku tak mengetahui persis laporan mana yang dikomentari. Laode bahkan mengundang Mahfud MD untuk bersafari ke kantornya.
"Silakan datang ke KPK, jika memang ada yang perlu diketahui penanganannya," ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).
Laode mengatakan masih menebak kasus mana yang dimaksud Menkopolhukam. KPK saat ini sedang menangani dua kasus besar yakni pembelian Heli AW-101 dan kasus Pertamina Energy Service Ltd (PES) atau Petral.
"Sejauh ini memang ada dua kasus yang menjadi konsennya Presiden dan sejumlah pihak, sudah kami tangani. Meskipun butuh waktu karena kompleksitas perkara dan perolehan bukti," ujarnya
KPK membutuhkan kerja sama yang kuat dengan Pusat Polisi Militer TNI dalam menangani kasus pembelian helikopter AW101, karena menyangkut internal militer Indonesia.
Ia juga menyebutkan KPK sedang menantikan hasil audit kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) serta menanti kerja sama dengan TNI.
"Kami mengharapkan dukungan penuh Presiden dan Menkopolhukam, karena kasusnya sebenarnya tidak susah kalau ada kemauan dari TNI dan BPK," ujarnya.
Sementara dalam kasus PES atau Petral, Laode mengatakan saat ini KPK sudah sampai tahap penyidikan dan menetapkan seorang tersangka. Namun, ia masih harus menelusuri bukti-bukti yang tercecer lintas negara, sehingga ia menegaskan perlu adanya kerja sama internasional.
"Kasus ini melibatkan beberapa negara, Indonesia, Thailand, United Arab Emirate, Singapura, dan British Virgin Island. Sayangnya, hanya dua negara yang mau membantu, sedangkan dua negara lainnya tidak kooperatif," ungkap Laode.
Bukti KPK Independen
Terlepas dari KPK sudah mengatakan, telah memproses dua kasus yang menjadi fokus Jokowi. Namun dengan keluarnya pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, membuat peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman menilai bahwa KPK memang lembaga yang independen.
"Ini jadi bukti KPK, selama ini tidak bisa diintervensi oleh siapa pun termasuk presiden. Bahkan ketika misalnya presiden melaporkan sebuah perkara, presiden tidak bisa juga intervensi KPK," ujarnya kepada Tirto, Selasa (12/11/2019).
Dua kasus besar yang disebutkan Laode yakni Heli AW-101 dan kasus Pertamina Energy Service Ltd (PES) atau Petral berdimensi internasional, tidak hanya melibatkan pihak-pihak dalam negeri saja.
Kasus-kasus tersebut, kata Zaenur, memang membutuhkan waktu lama untuk penanganannya. Yang paling dikhawatirkan, kata Zaenur, usai terbitnya UU KPK Nomor 19/2019, penyidikan yang belum selesai bisa mengakibatkan terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena kasus kedaluwarsa.
Seperti tercantum pada pasal 40 ayat 1, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
"Ini menjadi bukti bahwa pengaturan SP3 dibatasi waktu dua tahun justru berbahaya untuk pengungkapan kasus. Sangat mungkin kasus-kasus berdimensi internasional seperti Petral dan Heli ini bisa jadi tak selesai karena membutuhkan waktu lebih dari dua tahun," ujar Zaenur.
Meskipun dalam setiap komentar Presiden Jokowi, menurutnya, akan berupaya menguatkan KPK dengan memaksimalkan peranan kepolisian dan kejaksaan. Ia tetap berpendapat bahwa satu-satunya jalan yakni dengan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Atau paling tidak, Zaenur menyarankan agar Presiden Jokowi mampu memerintahkan jajarannya untuk membantu penyelesaian dua kasus yang disebut oleh Laode tersebut.
"Jika Presiden serius, perintahkan semua bawahannya untuk bekerja sama dengan KPK. Baik dalam kasus Petral maupun helikopter, perlu alat bukti yang harus diperoleh di luar negeri," ujarnya.
Langkah Mahfud MD Selain Cuma Klaim
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyayangkan sikap Menkopolhukam Mahfud MD yang hanya bisa melemparkan pernyataan bernada klaim dan bias kepada KPK.
Sebagai pihak yang sebelumnya dikenal dekat dengan para petinggi KPK, Mahfud, menurut Boyamin, semestinya bisa memberikan dukungan terhadap penyelesaian kasus besar di tangan KPK.
"Sekarang Pak Mahfud punya kekuasaan, bukan lagi orang luar. Minta lah Panglima TNI dan Pusat Polisi Militer TNI untuk membantu KPK secepatnya. Untuk menghilangkan hambatan-hambatan selama ini. Malah salah ketika beliau hanya di omongan saja," ujar Boyamin kepada Tirto, Selasa.
Begitu juga dengan penuntasan kasus Petral. Mahfud punya wewenang untuk mendorong dan memberikan bantuan terhadap KPK.
"Ini kan untuk strategis negara. Untuk menyehatkan Pertamina dan menyehatkan sistem distribusi minyak kita dari membeli dan menjual. Ia punya kewenangan itu juga," ujarnya.
"[Semisal ada] hambatannya dengan BPK misalnya, tinggal didorong saja. Karena BPK juga rangkaian hukum, bukan semata-mata auditor. Apalagi berhubungan dengan kerugian negara."
Langkah itu, menurutnya, lebih bisa dilakukan Mahfud ketimbang melemparkan klaim terhadap KPK. Yang justru malah menempatkan posisi KPK seolah-olah tidak kompeten dalam menangani kasus korupsi, khususnya yang skala besar.
"Setahu saya Pak Mahfud itu orang yang diterima baik oleh pimpinan KPK. Karena pimpinan itu melihat Pak Mahfud di luar kepentingan perkara-perkara, karena tidak pernah membela perkara," ujarnya.
Dengan posisi relasi yang demikian dan status Mahfud saat ini sebagai Menkopolhukam, Boyamin justru berpendapat, seharusnya Mahfud bisa menjadi jembatan yang baik antara presiden dengan KPK. Tentu dengan perspektif pemberantasan korupsi.
"Kesannya sekarang Pak Mahfud menjadi jubirnya Jokowi, dalam tanda kutip ikut menyerang KPK," ujarnya. "Paling tidak Mahfud bisa menjadi jembatan, untuk memastikan KPK menangani perkara itu."
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri