tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif mengungkapkan kekecewaan atas revisi UU KPK yang resmi berlaku sejak 17 Oktober 2019. Lewat akun Twitter miliknya, ia membagi gambar layar-tangkap berisi Pasal 69D dan 70C dalam UU No. 19 tahun 2019 hasil revisi UU No. 30 tahun 2002.
Dua pasal itu saling bertentangan dan membuat komisi antirasuah seolah 'mati suri' karena tak bisa lagi melakukan penindakan hukum atau operasi tangkap tangan (OTT) sejak UU KPK baru diberlakukan.
Giat terakhir KPK dalam melakukan OTT adalah menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin pada 15 Oktober dini hari. OTT ini dilakukan tepat dua hari sebelum berlakunya UU KPK baru. Artinya sejak UU baru berlaku, KPK hanya tinggal kenangan.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zaenur Rohman, membenarkan yang disampaikan Laode dapat diartikan bahwa ada kontradiktif dan pertentangan antara Pasal 69D dengan 70C dalam UU KPK yang baru.
Pasal 69D tertulis bahwa sebelum dibentuk Dewan Pengawas, maka pelaksanaan kewenangan KPK didasarkan pada sebelum UU yang baru.
"Artinya mengacu pada UU No. 30 tahun 2002. Misalnya, mau menyadap, mau melakukan penggeledahan, penyitaan, dan penangkapan, gunakan UU lama," kata Zaenur saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (9/11/2019).
Sedangkan dalam Pasal 70C, tertulis bahwa semua perkara yang sedang berlangsung, dan belum selesai, itu harus mengikuti ketentuan UU No.19 tahun 2019 atau UU KPK yang baru. Di sinilah pertentangan itu, menurut Zaenur.
"Kalau mengikuti ketentuan UU baru, maka tidak bisa melakukan penyadapan, penyitaan, penggeledahan, dan penangkapan, karena belum ada Dewan Pengawas-nya. Kan harus izin," kata dia.
Pertentangan pasal tersebut yang membikin KPK seperti vakum dan 'mati suri' tak bisa bergerak melakukan penindakan hukum per 17 Oktober--termasuk melakukan OTT, buka perkara baru, hingga penetapan tersangka.
"KPK pun rentan jika ingin menetapkan tersangka baru, karena tidak ada kepastian hukum. Kalau KPK nekat, setelah menetapkan tersangka, melakukan penggeledahan dan menyita, kalau itu dilakukan KPK bisa dipraperadilankan. Itu harusnya mengikuti UU yang baru Pasal 70C harus izin Dewan Pengawas," kata Zaenur.
Akhirnya, kata Zaenur, di dalam KPK terjadi kekosongan penegakan hukum. KPK hanya bisa melanjutkan pemeriksaan saksi dan tersangka tanpa membuka perkara baru, serta hanya fokus melanjutkan kasus-kasus sebelum 17 Oktober 2019.
"Ini menunjukkan bahwa pembentuk UU [pemerintah dan DPR] benar-benar ceroboh dan tidak berhati-hati, tidak singkron pengaturannya antar-pasal, dan juga mengakibatkan ketidakpastian hukum," kata dia.
UU Baru 'Membunuh' KPK
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, justru melihat lebih dari itu. Lemahnya KPK saat ini, sejak berlakunya UU yang baru, bukan hanya karena kontradiktif pasal, tapi juga adanya Dewan Pengawas itu sendiri dan adanya kesalahan logika prosedur hukum acara pidana dalam UU KPK yang baru.
"Kenapa enggak bisa OTT lagi? OTT itu butuh penyadapan dulu. Nah, itu butuh izin Dewan Pengawas. Kalau ada Dewan Pengawas pun, ada dua hal yang bikin KPK mati, enggak bisa OTT lagi. Pertama, Dewan Pengawas ditunjuk langsung oleh Pak Jokowi saja. Jadi benturan kepentingannya akan sangat besar," kata Bivitri saat dihubungi, Sabtu.
Selain itu, Bivitri menilai akan sangat mustahil Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan melalui prosedur hukum acara pidana. Alasannya, kata Bivitri, dalam UU KPK yang baru tertulis untuk memberikan izin penyadapan harus mengadakan gelar perkara terlebih dahulu.
"Gelar perkara itu dalam hukum acara pidana baru ada dalam proses penyidikan dan kalau sudah ada tersangkanya, itu sudah tingkat lanjut banget. Padahal yang namanya OTT itu jauh sebelum adanya tersangka, masih awal banget," kata dia.
Sehingga, menurut Bivitri, sangat tidak masuk akal kalau harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu jika Dewan Pengawas ingin memberikan izin penyadapan.
"Jadi sudah bisa disimpulkan bahwa izin penyadapan enggak akan pernah bisa dikeluarkan. Enggak akan bisa kalau dengan logika seperti itu. Akibatnya adalah enggak akan ada lagi OTT," kata dia.
Perppu KPK adalah Kunci
Karena itu, menurut Zaenur, penting untuk Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu KPK agar mengatasi segala ketidakpastian hukum yang terjadi di KPK saat ini.
Menutu Zaenur, dalam konteks negara hukum tak boleh ada pembiaran kekosongan hukum hingga 20 Desember mendatang.
Alasan Jokowi menunggu hasil Mahkamah Konstitusi (MK) yang diucapkan beberapa waktu lalu juga dinilai tidak masuk akal mengingat Perppu KPK adalah kewenangan konstitusional Presiden.
"Kalau Presiden enggak keluarkan Perppu itu berarti memang presiden enggak ada agenda pemberantasan korupsi, tapi hanya investasi saja," kata dia.
Sementara menurut Bivitri, salah satu syarat untuk menerbitkan Perppu KPK adalah adanya ketidakpastian hukum yang harus segera diselesaikan oleh Presiden Jokowi. Menurut dia, UU No. 19 tahun 2019 sudah dan akan menimbulkan ketidakpastin hukum.
Bivitri juga menepis jika pengeluaran Perppu KPK harus menunggu hasil MK. “Itu salah. Jadi enggak mesti nunggu MK dulu,” kata dia.
Bivitri menambahkan proses di MK dan Perppu itu tidak ada kaitan sama sekali. Karena dilakukan oleh dua cabang kekuasaan negara yang berbeda.
“Secara prosedural juga tidak ada kaitannya. Perppu sepenuhnya kewenangan Presiden. Kalau Presiden keluarkan Perppu sekarang juga bisa. Kalau di MK, itu hanya menguji konstitusionalitas dari pasal. Bukan kebijakan hukumnya,” kata Bivitri.
Karena itu, kata Bivitri, pernyataan Presiden Jokowi harus nunggu MK, “itu hanya alasan yang dicari-cari saja, kenapa dia enggak mau keluarkan Perppu,” kata Bivitri.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz