tirto.id - Forum Rektor Indonesia (FRI) sepakat meminta mahasiswa agar tidak melakukan demonstransi merespons sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang dinilai bermasalah. Hal ini mereka nyatakan usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 3 September 2019.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan demonstrasi memang merupakan hak individu. Namun, kata Nasir, Forum Rektor sepakat mengajak mahasiswa kembali ke kampus untuk berdiskusi, bukan menyampaikan aspirasi melalui demo.
Hal senada diungkapkan Ketua FRI Yos Johan Utama. Ia menilai perlunya penjelasan lebih detail mengenai sejumlah RUU, khususnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) agar mahasiswa paham isinya secara mendalam dan menyeluruh.
“Karena banyak sekali kejadian kekurangpahaman atau informasi minim, dan ini sudah ditindaklanjuti oleh para rektor melakukan sosialisasi secara mandiri mengundang para perancang KUHP untuk memberikan penjelasan sehingga kami menempatkan mahasiswa itu setuju karena paham dan tidak setuju juga karena paham,” kata Yos usai bertemu Jokowi, seperti dikutip Antara, 3 September 2019.
Yos bersama sejumlah rektor yang tergabung dalam FRI telah melakukan audiensi bersama Presiden Jokowi. Hasilnya, mengajak seluruh pihak untuk menahan diri guna menciptakan suasana bangsa yang kondusif.
Rektor Universitas Diponegoro Semarang itu juga mengusulkan dibukanya ruang dialog konstruktif. Yos juga mengimbau mahasiswa untuk melihat RUU secara keseluruhan, tidak hanya sepotong-sepotong.
Dia juga menilai terkait UU KPK yang sudah disahkan, agar jika ada pihak yang mempermasalahkan, maka dapat mengajukan sesuai konstitusional.
Penggembosan Sejak dalam Pikiran
Koordinator Aliansi Akademisi Indonesia, Andina Dwifatma, menyatakan hasil pertemuan sejumlah rektor dengan Jokowi menunjukkan pandangan berat sebelah. Sebab, hasilnya hanya berupa sosialisasi RKUHP.
Artinya, mahasiswa yang melakukan demonstrasi dianggap tidak paham substansi dari RUU yang mereka tolak.
“Anak-anak ini dianggap demo karena tidak paham, jadi harus disosialisasi supaya mengerti. Padahal dalam aksi kemarin, ada aspek hak kebebasan berekspresi dan kewajiban mereka untuk membela kepentingan masyarakat, tapi itu tidak pernah muncul,” ucap Andina ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/10/2019).
Menurut Andina, yang muncul justru pernyataan aksi mahasiswa ditunggangi pihak-pihak yang mau menjatuhkan presiden. “Ini sudah tidak adil sejak dalam pikiran,” kata dia.
Andina berpendapat tidak dapat membayangkan seperti apa tekanan yang diterima rektor dari menteri.
Namun, ia berharap rektor bisa menyampaikan ke menteri bahwa yang dilakukan para mahasiswa itu jangan dipandang sebagai tindakan rusuh saja, tapi ekspresi demokrasi dan karena itu harus dilindungi.
“Tidak perlu ada ancaman SP, DO dan siapa pun yang luka atau tewas harus diusut tuntas,” kata Andina.
Menurut Andina, pertemuan yang dilakukan Forum Rektor dan Presiden Jokowi tersebut seolah-olah sebagai penggembosan intelektualitas. Padahal, kata Andina, mengawasi kinerja pemerintah dan demo membela kepentingan rakyat seperti yang dilakukan mahasiswa merupakan aspek intelektualitas yang terpenting.
“Tapi malah didelegitimasi dan direduksi jadi upaya menjatuhkan pemerintah. 'Kan lucu sekali,” kata Andina.
Sementara itu, Sri Lestari Wahyuningroem, Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta justru mempertanyakan motivasi pertemuan tersebut. Menurut dia, jika tujuannya melakukan sosialisasi RKUHP, maka semestinya DPR yang turun tangan, bukan Forum Rektor Indonesia.
“Rektor dan menteri berkapasitas memfasilitasi ruang diskusi antar-mahasiswa, akademisi, peneliti. Tapi yang harus aktif ialah DPR,” ucap Sri Lestari ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/10/2019).
Sri Lestari menilai, mahasiswa yang berdemonstrasi saat itu, memiliki kajian dan diskusi ihwal RKUHP dan sejumlah RUU bermasalah yang mereka tolak.
Artinya, kata dia, hal itu sebagai argumen yang kuat agar universitas mendukung bahwa mahasiswa bukan gagah-gagahan ikut unjuk rasa. “Semestinya kampus mendukung itu sebagai latihan akademik antara teori dan praktik. [Demo] jadi 'laboratorium' mahasiswa,” ujar Sri.
Mahasiswa dan akademisi, kata Sri Lestari, sebaiknya diberikan hak untuk mengkritisi celah RKUHP dan ujungnya harus ada penyempurnaan revisi.
Jika tujuan pertemuan untuk memaksakan RUU yang sudah ada, kata dia, maka hal itu jelas bermasalah. “Harus ada ruang untuk menyampaikan usulan perbaikan. Jika untuk menyetir afirmasi dari versi sekarang, jelas itu salah,” kata Sri Lestari.
Menurut Sri Lestari, ada ruang kebebasan akademik yang menjamin adanya ide, kajian dan masukan ilmiah terhadap kebijakan apa pun yang merupakan produk negara. “Apalagi jika ada sanksi atau intimidasi terhadap mahasiswa dan akademisi [yang melakukan demo],” kata dia.
Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Ade Irwan mengungkapkan hal senada. Ia menyatakan pertemuan itu sebagai upaya penggembosan dan membungkam kekritisan mahasiswa.
Menurut Ade, pemerintah hanya menjadikan rektor sebagai alat yang akan memberikan intimidasi secara psikis dan nilai akademik terhadap mahasiswa yang ikut demo.
“Tindakan menghalang-halangi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi rakyat merupakan tindakan melanggar UU Kebebasan Berpendapat dan UUD 1945,” kata Ade ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/10/2019).
Ade berkata, seharusnya lembaga pendidikan maupun rektor mendukung civitas akademik untuk menyuarakan aspirasi sebagai bentuk pengabdian mahasiswa pada rakyat yang termanifestasi pada Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Gerakan mahasiswa, kata Ade, bukan gerakan perusuh.
“Biar pun forum rektor sudah bertemu presiden, itu tak akan meredamkan gerakan mahasiswa ke depan. Karena persoalan bangsa ini bukan hanya persoalan RUU, tetapi yang paling urgen adalah situasi ekonomi politik negara yang tengah mengalami krisis dan defisit yang cukup parah,” kata Ade.
Ade menyatakan pihaknya akan terus mengkonsolidasikan gagasan di tingkatan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat. Tak hanya itu, ia berpendapat gerakan mahasiswa harus bertanggung jawab atas nyawa rekannya yang melayang di Kendari serta pelajar STM.
“Jadi kawan-kawan BEM jangan sampai hanya membakar medan dan takut terhadap ancaman apa pun dari rektor maupun Kemenristekdikti,” kata Ade menegaskan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz