tirto.id - Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana memvonis pemerintah dan DPR “membunuh KPK” seandainya mereka mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Itulah yang mereka lakukan dalam waktu hanya 15 hari.
Selasa (17/9/2019) pukul 12.18 WIB, Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR yang getol mengkritik KPK sejak bertahun-tahun yang lalu, mengesahkan UU KPK yang baru lewat ketokan palu dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Anggota dewan serempak menjawab “setuju” saat Fahri bertanya apakah revisi bisa disahkan jadi UU.
Waktu 15 hari dihitung ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat pada 3 September 2019, berbarengan dengan pembahasan usulan revisi untuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (biasa disebut UU MD3). Baleg adalah lembaga di DPR yang salah satu tugasnya memantau dan meninjau UU.
Inisiator revisi adalah 6 politikus dari 5 partai pro pemerintah: Masinton Pasaribu (PDIP), Risa Mariska (PDIP), Achmad Baidowi (PPP), Ibnu Multazam (PKB), Saiful Bahri Ruray (Golkar), dan Teuku Taufiqulhadi (Nasdem).
Masinton bilang selama ini KPK tidak mengoptimalkan pencegahan dan lebih suka unjuk gigi lewat penindakan, termasuk Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kalau KPK hanya menindak, kata Masinton, “itu tidak akan menyelesaikan masalah korupsi.”
Setelah disepakati di baleg, DPR lalu menggelar rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR pada 5 September 2019—yang hanya dihadiri 70an anggota.
Semuanya “menyanyikan lagu setuju” dalam rapat yang berlangsung 20 menit saja.
DPR langsung mengirimkan surat sekaligus draf RUU KPK ke Presiden Joko Widodo. Jokowi lantas mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR pada 11 September—tanda bahwa pemerintah setuju UU direvisi. Jokowi menunjuk dua menterinya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menpan-RB Syafruddi, untuk membahas revisi dan memberikan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari draf revisi UU KPK.
Pada 12 dan 13 September 2019 baleg langsung menggelar rapat kerja bersama pemerintah. Menkum HAM Yasonna Laoly hadir di rapat tersebut dan sepakat melanjutkan pembahasan.
Setelah libur pada Sabtu dan Ahad, Senin 16 September 2019 baleg dan pemerintah kembali menggelar rapat panitia kerja. Di sini mereka sepakat revisi UU KPK dibawa ke rapat paripurna, dan lantas disahkan.
Tujuh fraksi setuju bulat-bulat: PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, PKB, dan PAN. Sisanya setuju dengan catatan: Gerindra, Demokrat dan PAN.
Semua proses yang disebut di atas dilakukan tanpa melibatkan pihak yang terdampak: KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo mengakui itu. Agar dilibatkan, pimpinan KPK bahkan menyurati Jokowi.
“Mudah-mudahan kami masih punya kesempatan untuk ikut berbicara dalam menentukan UU,” kata Agus di kantornya, kemarin.
Yasonna Laoly membantah itu. Dia mengklaim sudah “berkomunikasi dengan Pak Laode [M. Syarief] dan Pak Agus Rahardjo.”
Pelemahan KPK
Selain tidak melibatkan pimpinan KPK, revisi—yang menurut Agus Rahardjo “buru-buru”—juga melawan arus kehendak masyarakat sipil. Akademisi, aktivis antikorupsi, lembaga agama, dan wadah pegawai dan pimpinan KPK, sepakat revisi ini adalah bentuk pelemahan lembaga antirasuah.
Poin revisi yang dianggap melemahkan KPK adalah keberadaan Dewan Pengawas, terdiri dari lima orang, dipilih langsung oleh Presiden. Dewas diatur dalam Pasal 37 A hingga 37 G.
Salah satu kewenangan Dewas KPK adalah memberi izin penyadapan. Hak yang menurut ICW membikin penyadapan gampang bocor.
Poin lain yang dianggap melemahkan adalah KPK dapat menghentikan penyidikan serta penuntutan korupsi yang prosesnya tidak selesai dalam waktu paling lama dua tahun. Usulan ini membatasi gerak KPK karena tak semua kasus korupsi dapat diselesaikan dalam waktu cepat.
Sistem kepegawaian KPK juga dirombak. Pegawai KPK harus tunduk dan patuh terhadap UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Aturan itu ada dalam Pasal 24. Dengan begitu, status pegawai KPK akan beralih menjadi ASN yang berpotensi membuat mereka diintervensi.
Tapi Yasonna tetap meyakinkan publik kalau pemerintah sama sekali tidak bermaksud melemahkan KPK. Revisi UU KPK dimaksudkan agar ada peningkatan dalam pencegahan dibandingkan penindakan.
"Penguatan KPK dalam kegiatan pencegahan bukan berarti pemberantasan tipikor diabaikan," terang Yasonna.
Keinginan Yasonna ini selaras dengan visi Firli Bahuri, Ketua Terpilih KPK. Firli bilang, dia hendak membawa KPK fokus “melakukan pendidikan masyarakat dan kampanye antikorupsi” yang, menurut peneliti politik dari LIPI Syamsuddin Haris, konyol karena “pencegahan itu tugas semua [institusi], bukan KPK saja.”
Sementara Agus Rahardjo bilang jika fokusnya di area itu, maka sebaiknya KPK ganti nama jadi “Komisi Pencegahan Korupsi saja”.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino