Menuju konten utama

Aktivis HAM Minta Peradilan Umum untuk TNI Tak Hanya Omong Kosong

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto diminta tak hanya sebatas basa basi dan pencitraan diri soal peradilan umum bagi anggota militer.

Aktivis HAM Minta Peradilan Umum untuk TNI Tak Hanya Omong Kosong
Sejumlah jurnalis menggelar aksi demo memprotes penganiayaan yang dilakukan oknum prajurit Raider Yonif Para Raider 501/Bajra Yudha Kostrad Madiun terhadap jurnalis Net TV Sony Misdananto, Madiun, Jawa Timur, Selasa (4/10). ANTARA FOTO/Siswowidodo/foc/16.

tirto.id -

Sejumlah aktivis pegiat hak asasi manusia (HAM) mempertanyakan keseriusan rencana Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengizinkan prajurit TNI yang melanggar hukum pidana umum disidang pada peradilan umum/sipil. Hadi diminta tak hanya sebatas basa basi dan pencitraan diri.

"Sejauh mana panglima baru ini bisa mengawal? Jangan sekadar wacana di atas awan saja. Sekadar mencari popularitas seolah demokratis dan progresif," kata mantan Koordinator Kontras Haris Azhar saat dihubungi Tirto, Selasa (12/12).

Haris mengatakan penegakkan hukum menerapkan prinsip nondiskriminasi. Artinya hukum berlaku bagi semua orang tanpa ada pengecualian, termasuk anggota militer.

"Penegakkan juga harus didasari pada perbuatannya bukan pada soal siapa atau dari institusi mana," ujar Haris.

"Siapa pun yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang menjadi kompetensi Pengadilan Umum, maka harus dibawa ke Pengadilan Umum. Termasuk militer."

Selain pidana umum, Haris berpandangan anggota militer juga bisa disidangkan di peradilan umum apabila melanggar pidana khusus seperti penggelapan pajak, kepailitan, kejahatan HAM, dan korupsi.

Ia mencontohkan kasus gugat cerai atau sengketa usaha. Menurut Haris janggal apabila seorang tentara menggugat cerai ditangani di peradilan militer. Selain itu, dalam kasus sengketa tanah, janggal bila sipil disidangkan di peradilan militer yang merupakan ranah peradilan umum.

"Jadi sebetulnya kita ini kalau ada urusan yang melibatkan anggota militer akan diselesaikan ke Pengadilan Militer. Seperti kita hidup di negara rezim militer aja," kata Haris.

Meski begitu, Haris mengatakan peradilan militer tetap mesti dipertahankan eksistensinya. Namun fungsinya lebih bersifat internal sebagai upaya menghukum para pelanggar aturan disiplin militer.

"Artinya pemidanaan khas pada masalah ketentaraan saja. Bukan pada masalah pemidanaan yang diatur dalam KUHP," kata Haris.

Koordinator Kantor Hukum dan HAM Lokataru ini mengatakan pernyataan Hadi bisa menjadi momentum bagi semua pihak memperbaiki diri. Sebab selama ini terdapat kesan penegak hukum di peradilan umum belum berani bekerja secara berintegritas saat menghadapi kasus-kasus yang melibatkan anggota militer.

Selain itu, ia juga meminta agar doktrin TNI turut memperkuat peradilan umum bagi anggota militer yang melanggar pidana umum.

"Karena kalau nggak beres maka akan jadi ruang teror atau perlawanan dari anggota TNI untuk tidak tunduk pada pengadilan umum. Momentum ini bisa digunakan juga untuk memperbaiki diri bagi semua pihak," kata penasihat hukum penyidik KPK Novel Baswedan.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur meminta Hadi segera merealisasikan janjinya

"Reformasi Peradilan Militer adalah hal yang memang seharusnya segera dilakukan," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur saat dihubungi Tirto.

Menurut Isnur, tidak ada undang-undang yang dilanggar apabila militer diadili oleh peradilan sipil. Hal ini sesuai dengan amanat perundangan seperti TAP MPR NO VII/2000 pasal 3 ayat 4 poin a serta UU TNI NO 34 TAHUN 2004 pasal 65 ayat 2 yang menyatakan: "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."

Aturan itu diperkuat dengan pasal 65 ayat 2 UU TNI juga menyatakan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU.

Sayangnya sampai saat ini, militer belum pernah melaksanakan amanat tersebut. Oleh sebab itu, YLBHI mengapresiasi bila benar Hadi melaksanakan mandat undang-undang.

"Ide Panglima TNI bukanlah hal baru, tapi itu adalah kewajiban UU. Kami mengapresiasi beliau serius melaksanakan Mandat Tap MPR dan UU TNI tersebut," kata Isnur.

Saat menggelar pertemuan dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mabes TNI Cilangkap Hadi mengatakan tidak menutup kemungkinan anggota TNI yang melanggar hukum pidana disidangkan di peradilan umum atau sipil.

Hadi menerangkan pengadilan militer akan mengadili siapapun yang bersalah. Namun, selama ini penyelesaian kasus militer, meski melibatkan korban sipil, tetap ditangani oleh pihak polisi militer. Pengadilannya pun diadakan di pengadilan militer yang sifatnya tertutup.

"Kami yang jelas siapa yang salah kami akan adili, rasa keadilan harus ada. Kami sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM [Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer] dan KUHP [Kitab Undang-undang Hukum Pidana]. Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer," katanya Senin (11/12).

Namun, terlepas di mana tempat oknum militer akan diadili, Hadi berjanji bahwa semuanya akan ditindak tanpa pandang bulu.

"Pada dasarnya, kami akan tegakkan," katanya.

Ucapanya Hadi ini terkait sikap KontraS yang membuat pernyataan pers yang disampaikan Badan Pekerja KontraS pada Kamis (7/12/2017) bahwa ada 9 pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Hadi saat menjabat sebagai Panglima TNI yang baru. Dalam salah satu poinnya, Kontras mendesak agar Hadi bisa memperbaiki sistem peradilan militer sebagai satu-satunya alat uji akuntabilitas yang justru kerap dijadikan dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM.

Baca juga artikel terkait PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Jay Akbar