tirto.id - Demonstrasi menolak Otonomi Khusus Papua Jilid II yang dilakukan gabungan mahasiswa dan masyarakat di kawasan Universitas Cenderawasih dibubarkan paksa oleh aparat keamanan Indonesia. Peristiwa itu disampaikan Mani Iyaba, koordinator lapangan aksi penolakan Otonomi Khusus Papua Jilid II.
"(Massa) dibubarkan paksa, kekerasan militer masih terjadi sampai saat ini," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (27/10/2020). Imbasnya, tiga belas demonstran ditangkap dan ditahan di Polsek Abepura, sementara lima orang luka karena diduga ditembak. Tidak ada provokasi ketika unjuk rasa berlangsung sekira pukul 08.00, Mani mengklaim massa tenang.
Pembubaran itu atas dasar arahan dari Kapolres Jayapura, ujar Mani. "Semua massa aksi dapat pukul, dapat injak," lanjut Mani.
Aparat TNI dan Polri membawa senjata lengkap ketika menangani unjuk rasa hari ini. Mani menyatakan situasi terkini belum kondusif, masih banyak penjagaan aparat di sekitar kampus.
Pembubaran paksa dan dugaan penganiayaan aparat terhadap pengunjuk rasa juga terjadi pada 28 September lalu. Front Mahasiswa dan Rakyat Papua dari Universitas Cenderawasih berdemonstrasi serupa. Kampus Abepura dan Kampus Waena dijadikan lokasi aksi. Sekira pukul 10.50, aparat membubarkan paksa. Petugas memukul mahasiswa, hingga akhirnya mahasiswa melempar batu sebagai bentuk balasan.
Lantas aparat mulai mengeluarkan tembakan peringatan dan mengejar demonstran. Usai menyelamatkan diri, massa kembali berkumpul lagi dan menduduki ruas jalan di samping Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih.
Ketika membubarkan paksa, polisi menangkap tiga mahasiswa, penanggung jawab aksi, yaitu Ayus Heluka, Salmon Tipagau, dan Kristian Tegei. “Polisi juga memukul dua mahasiswa hingga terluka, yaitu Yabet Lukas Degei dan Selius Wanimbo," kata Direktur Perkumpulan Advokat HAM Papua Gustaf Kawer, 29 September lalu.
Yebet Lukas dipukul di kepala belakang hingga berdarah. Selius Wanimbo dipukul dengan popor senjata di badannya hingga terluka.
Gustaf berkata ketiga demonstran ditangkap kemudian dibawa ke Polsek Abepura. Mereka ditahan sekitar satu jam dan dibebaskan setelah perwakilan mahasiswa, pihak kampus, dan pendamping hukum bernegosiasi dengan kepolisian, serta bersepakat tidak melanjutkan unjuk rasa saat itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Papua menolak Otonomis Khusus Papua kembali diperpanjang, yang akan berakhir pada 2021. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berkata Otsus diperpanjang selama 20 tahun ke depan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut tak ada perpanjangan Otsus, yang diperpanjang adalah pemberian Dana Otsus.
Masyarakat Papua yang menolak Otsus menilai yang dibutuhkan orang Papua bukan politik jalan tengah seperti Otsus, tetapi menuntut referendum. Alasannya, referendum adalah hak politik orang Papua dan Otsus telah gagal memberikan jaminan keamanan bagi orang Papua.
Otsus diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Ia disahkan di Jakarta pada 21 November 2001 oleh Presiden ke-4 Megawati Soekarnoputri.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri