Menuju konten utama

Aksi Hardiknas Berujung Penangkapan, Jadi Tersangka & Wajib Lapor

Para mahasiswa yang mengikuti demonstrasi Hardiknas ditangkap polisi dengan dalil melanggar protokol kesehatan. Mereka dijadikan tersangka.

Aksi Hardiknas Berujung Penangkapan, Jadi Tersangka & Wajib Lapor
Massa dari Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu (GMJB) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kemendikbud, Jakarta, Senin (22/6/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Demonstrasi memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di depan Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta Selatan pada Senin 3 Mei 2021 berakhir dengan penangkapan oleh polisi. Aksi tersebut diikuti oleh Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI), serta organisasi buruh, pelajar, dan pemuda.

Menurut Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) yang juga peserta aksi, Nadya Jessica Junita, kegiatan mereka dimulai pukul 13.00 dan berjalan dengan damai. Dua jam kemudian, peserta aksi diimbau bersiap-siap untuk audiensi dengan pihak Kemendikbud.

Setelah menunggu selama satu jam, peserta aksi tidak kunjung dipanggil dan mereka tetap melanjutkan orasi. Aksi dilaksanakan dengan tetap mematuhi prokol kesehatan--menjaga jarak dan pakai masker. Pukul 16.45, pihak Kemendikbud akhirnya mempersilakan masuk perwakilan peserta aksi. Mereka memberikan waktu 10 menit untuk audiensi.

Penangkapan itu bermula dari sini.

“Ketika perwakilan massa masuk ke dalam, pihak kepolisian yang berada di luar malah mengepung massa aksi dan memaksa massa aksi untuk membubarkan diri. Aparat kepolisian juga melakukan penyitaan terhadap mobil komando FSBN-KASBI,” ujar Nadya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (4/5/2021).

Situasi di luar gedung kementerian menjadi semrawut. Peserta aksi dituding tidak taat protokol kesehatan dan abai menjaga jarak sehingga polisi merasa perlu membubarkan mereka. Tak ingin segalanya berubah nahas, peserta aksi sepakat untuk membubarkan barisan secara tertib dan damai.

“Akan tetapi, saat massa aksi sedang membubarkan diri, aparat kepolisian malah melakukan penangkapan paksa disertai kekerasan terhadap sembilan orang peserta aksi,” ujar Nadya. Mereka adalah satu mahasiswa sekaligus ketua BEM FH UI, satu mahasiswa Universitas Nasional, dua mahasiswa Universitas Bung Karno, satu perwakilan Federasi Pelajar Jakarta, dan empat orang anggota KASBI.

Beberapa jam kemudian, peserta aksi mendapat kabar bahwa sembilan orang yang tertangkap dibawa ke Polda Metro Jaya. “Penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada dasarnya tidak memiliki dasar hukum,” ujar Nadya.

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Teo Reffelsen mengatakan sempat dihalangi polisi untuk bertemu dan mendampingi para korban penangkapan. Seperti Nadya, ia mengatakan penangkapan itu sebagai “kriminalisasi dan pelanggaran hak menyampaikan pendapat di muka umum.”

“Kami dari tim advokasi menolak semua proses yang dilakukan oleh Polda Metro, penolakan berita acara tangkap tangan, penolakan berita acara pemeriksaan tersangka, dan berita acara penyitaan. Karena menurut kami sembilan orang ini mengalami proses hukum yang tidak fair,” kata Teo kepada reporter Tirto.

Penangkapan tersebut adalah kesewenang-wenangan aparat sebab para peserta aksi sudah hendak membubarkan diri. Pelaksanaan aksi pun sesuai protokol kesehatan dengan tetap memakai masker, menjaga jarak, dan menggunakan pensanitasi tangan.

Sembilan orang tersebut akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa siang setelah berjam-jam ditahan. “Sekarang mereka wajib lapor setiap Senin-Kamis dan tidak ditahan karena ancaman hukumannya tidak sampai lima tahun atau lebih.”

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyayangkan sikap Kemendikbud sebab penangkapan terjadi karena jadwal audiensi molor. “Kemendikbud enggak sebaik yang kita kira. Percuma dipimpin orang muda (Mendikbud Nadiem Makarim berusia 36 tahun) tapi buat ketemu mahasiswa saja sulit dan akhirnya disapu polisi,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.

Di era Presiden Joko Widodo, setiap aktivitas mengemukakan pendapat di muka umum kerap direspons dengan penangkapan oleh aparat. Setidaknya Asfinawati mencermati hal ini terjadi setelah demonstrasi Reformas Dikorupsi tahun 2019. Hal ini menurutnya membuat era Jokowi mirip dengan Orde Baru, terlebih kepolisian berada di bawah langsung komando Presiden.

“Kalau Presiden enggak memberi instruksi agar ini dihentikan, atau terulang kembali. Masyarakat akan memiliki kesan ini kebijakan Presiden; setidaknya Presiden melakukan pembiaran,” ujarnya.

Reporter Tirto telah berusaha meminta respons Kemendikbud terkait mundurnya jadwal audiensi dan penangkapan peserta aksi. Namun mereka menolak berkomentar banyak. “Silakan dikonfirmasi kepada pihak polsek tentang aturan dan waktu untuk menyampaikan pendapat,” ujar Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud, Hendarman, Selasa.

Kepolisian Daerah Metro Jaya mengklaim penangkapan demi kepentingan kesehatan bersama. Pembubaran itu dilakukan setelah sebelumnya kepolisian menegur sebanyak dua kali namun tidak digubris peserta aksi.

“Makanya kami tersangkakan mereka dengan undang-undang tentang wabah penyakit, Undang-Undang Nomor 4 [tahun 1984] di pasal 14. Kemudian kami persangkakan juga di Pasal 216, Pasal 218 KUHP,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus kepada wartawan, Selasa.

Yusri menampik kabar sembilan tersangka tidak boleh didampingi kuasa hukum. Saat proses pemeriksaan, para tersangka didampingi LBH Jakarta, katanya. “Orang-orang yang tidak mengerti, mencari panggung, terus berkoar-koar di media sosial. Didampingi mereka. [Saat] pemeriksaan sebagai tersangka pun didampingi.”

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino