tirto.id - Satu hari di pertengahan 1950-an, aktris Vivien Leigh terpaksa dilarikan ke rumah sakit lantaran kondisi kesehatan mental yang begitu memprihatinkan. Sebenarnya pemeran Scarlett O’Hara di film Gone with the Wind (1939) itu tengah menjalani proses syuting Elephant Walk di Hollywood AS. Namun, setiap proses pengambilan gambar hendak dimulai, Leigh mendadak tidak sadar peran yang harus dimainkan. Ia malah memerankan karakter yang dulu pernah ia perankan kala mengikuti pentas teater di London beberapa tahun sebelumnya. Akhirnya, Leigh segera dipulangkan ke London agar bisa mendapat perawatan intensif.
Di London, dokter mengharuskan Leigh menjalani terapi elektrokonvulsif, yakni terapi kesehatan mental di mana otak pasien dirangsang menggunakan gelombang elektromagnetik.
“Pada masa itu, terapi elektrokonvulsif dianggap sebagai terapi yang paling serius,” kata Alan Strachan, penulis biografi Dark Star: a Biography of Vivien Leigh, kepada Fox.
Saat itu hal yang paling Leigh takutkan terjadi : orang-orang mengetahui mentalnya bermasalah.
Strachan berkata bahwa gangguan mental Leigh sesungguhnya sudah terlihat sejak dirinya berusia enam tahun.
“Teman-teman sekolah Leigh menyadari bahwa selalu ada momen di mana Leigh menarik diri dari lingkungan sekitarnya. Ada kalanya juga ia bersikap histeris. Lalu ada masa di mana dia terlihat santai, normal, dan ceria seperti biasanya,” lanjut Strachan yang lantas mengungkap bahwa Leigh adalah seorang bipolar.
Ibu Leigh mengetahui kondisi anaknya, tapi, entah mengapa, ia memilih untuk menutupi hal itu ketimbang membawa Leigh berkonsultasi ke dokter atau psikiater. Sang ibu bahkan menyembunyikan realita kesehatan Leigh dari cucunya sendiri. Bila Leigh sedang ada di tahap manic, ia akan berkata pada sang cucu bahwa ibunya sedang melatih ‘tempramen artistik’.
Penulis biografi Vivien Leigh (2003), Michaelangelo Capua menulis bahwa ketertarikan Leigh pada seni peran muncul pada usia 16. Kala itu, kedua orangtua Leigh mengikutsertakan anaknya pada program pendidikan akting di sekolah. Di sana, Leigh mendapat reputasi yang baik seperti biasanya.
Sejak kecil ia sudah dikenal sebagai siswi gemilang baik dari sisi akademik maupun sosial. Ia pandai bergaul dan menikmati jadi pusat perhatian. Gaya busananya pun kerap mencuri perhatian.
Keterampilan akting itu terbukti kala Leigh mengalahkan 1.400 aktris perempuan dalam audisi pemeran Scarlett O’Hara, tokoh perempuan protagonis dalam novel fiksi Gone With The Wind karangan Margaret Mitchell.
Awalnya para kru dan penikmat film AS meragukan kemampuan Leigh. Mereka skeptis bahwa aktris asal Inggris mampu memerankan karakter perempuan asli AS secara mumpuni. Tapi Leigh bisa membuktikan kemampuannya.
Dalam tulisannya di Smithsonian , Carrie Hagen mengingatkan bahwa Gone With The Wind adalah sebuah mahakarya di zamannya. Pada 1937, Mitchell mendapat penghargaan Pulitzer Prize untuk novel tersebut.
“Aku tidak menyangka kalau penerbit dari daerah utara mau menerima novel tentang peperangan dari sudut pandang orang-orang selatan AS,” kata Mitchell seperti dikutip Hagen.
Beberapa saat setelah menang Pulitzer, produser film David O Selznick berniat menggarap film berdasar novel setebal 1.037 halaman itu.
“Selznick membeli hak cipta novel seharga $50.000. Waktu itu, uang tersebut jadi bayaran tertinggi yang diberikan kepada seorang penulis,” tulis Hagen.
Peresensi buku di New York Times, Ralph Thompson mengungkap bahwa film itu akan membuat karya Mitchell dikenal lebih banyak orang dan cenderung akan lebih mudah dipahami lantaran mereka bisa menonton aksi ‘pahlawan perempuan’--Scarlett O’Hara--. Dan kesuksesan film tersebut ditentukan oleh seberapa baik Leigh melakoni peran sebagai O’Hara.
Pemutaran perdana film pada Desember 1939 membuat bioskop penuh antrian lebih dari 300 orang. Film itu meraih pendapatan 1,6 miliar dolar dan tercatat sebagai salah satu karya fenomenal sinema Hollywood. Lewat film itu, Leigh jadi aktris asal Inggris pertama yang mendapat penghargaan sebagai aktris terbaik Academy Awards 1940.
Piala itu boleh jadi merupakan kebanggaan Leigh, tapi tidak demikian bagi Laurence Olivier, suami Leigh. Olivier yang juga seorang aktor, merasa tersaingi dengan istri sendiri. Independent pernah melaporkan bahwa pada satu kesempatan, Olivier memukul istrinya dengan piala tersebut.
Olivier dan Leigh menikah pada 1940, hanya beberapa jam setelah mereka sama-sama resmi bercerai dari pasangan sebelumnya. Pertemuan pasangan tersebut terjadi kala Leigh menyaksikan pertunjukan teater yang menampilkan Olivier. Saat itu, Leigh langsung jatuh hati, bahkan berkata bahwa suatu hari Olivier harus jadi suaminya.
Sesaat setelah pertemuan pertama dengan Olivier, Leigh melakukan pendekatan. Hingga akhir 1930an, Leigh dan Olivier mencoba menyembunyikan hubungan romantis mereka. Dua orang ini sama-sama tidak ingin kariernya jatuh karena kabar perselingkuhan.
Washington Post dan beberapa media lain mengbarkan bahwa kisah cinta pasangan ini adalah jalinan cinta sejati. Sebabnya, mereka kerap mengumbar kemesraan kala sudah resmi jadi suami-istri.
Pasangan ini membuat publik percaya bahwa mereka adalah dua orang yang saling mendukung dalam karier. Leigh sempat bercerita bahwa Olivier yang memotivasinya untuk memerankan berbagai tokoh dari karya novel klasik. Ia juga yang mendorong Leigh untuk bermain dalam film yang berangkat dari novel, layaknya Gone With The Wind. Namun kisah cinta yang katanya sejati itu akhirnya berakhir.
“Olivier mengenal Leigh yang kerap mengungkap kata-kata penuh pelecehan dan penghinaan. Leigh yang kerap meluapkan amarah dengan memecahkan jendela, menyobek pakaian, dan memukul orang lain. Leigh yang beberapa jam atau beberapa bulan setelah melakukan hal buruk itu tidak mengingat apa-apa dan meminta orang lain mengabari tentang siapa saja yang ia sakiti sehingga ia bisa menulis surat permintaan maaf,” tulis Washington Post.
Mereka resmi berpisah pada 1961 dan sejak itu Leigh memutuskan untuk tetap serius menjalani profesi sebagai aktris. Ia sempat berkencan dan menikahi pria lain tetapi tidak pernah berhenti surat-menyurat dengan Olivier dan berkata bahwa ia masih mencintainya.
Ada yang sempat Leigh rahasiakan dalam surat itu yakni kabar bahwa dirinya terserang penyakit tuberkulosis. Leigh tidak menjawab keingintahuan Olivier yang berulang kali menanyakan dan memohon agar mantan istrinya itu memberitahukan penyakit yang ia derita.
Mungkin Leigh hanya ingin Olivier hanya mengenang kasih mereka, tanpa harus tahu bahwa penyakit itu kelak akan merenggut nyawanya pada 8 Juli 1967, tepat hari hari ini, 52 tahun lalu.
Editor: Nuran Wibisono