tirto.id - “Ya… sangat buruk.”
Itulah jawaban Audrey Hepburn ketika ditanya tentang keadaan Belanda pada masa Perang Dunia II. Ia mengucapkan kalimat yang singkat itu pada 1953 dalam sesi screen test audisi Roman Holiday—film yang membawanya menembus jajaran paling elite di Hollywood.
Hingga kini, ia dikenang sebagai salah satu perempuan paling cantik dan modis sepanjang masa. Gaun hitam yang dikenakannya di Breakfast at Tiffany menjadi salah satu rancangan Givenchy yang paling ikonik.
Bagi Givenchy, seperti dicatat Sam Wasson dalam Fifth Avenue, 5 A.M.: Audrey Hepburn, Breakfast at Tiffany's, and the Dawn of the Modern Woman (2010: 13), Hepburn bukanlah sekadar aktris biasa, ia adalah muse sepanjang masa.
Selain dunia mode, tidak terhitung berapa banyak karya seni, baik film, lukisan, pop art, dan sebagainya, yang dibuat berdasarkan imaji tentang Hepburn.
Tapi, di balik pesona natural Hepburn yang anggun dan glamor, tidak banyak yang mengenal kisah semasa ia menempuh "jalan pedang". Konon, pada 1960-an Hepburn mendapat tawaran untuk berperan sebagai Anne Frank, namun ia tolak dengan alasan trauma Perang Dunia II.
Penggemar Hepburn mungkin pernah mendengar serba-serbi tentang aksi heroiknya di masa perang, di mana ia disebut-sebut hidup sulit dan turut dalam gerakan underground melawan Nazi di Belanda. Namun, seperti apa kisah hidup Hepburn di masa ini masih dipenuhi dengan "konon" dan menjelma mitos bagi banyak orang.
Pindah ke Belanda & Melawan Nazi
Lahir di Brussel pada 1929, nama asli Hepburn adalah Audrey Kathleen Ruston. Ibunya, Baroness Ella van Heemstra, merupakan bangsawan Belanda; ayahnya, Joseph Victor Anthony Ruston, adalah pamong praja Inggris yang pernah ditempatkan di konsulat Inggris cabang Semarang. Keduanya bertemu dan menikah di Batavia, sebelum akhirnya mudik ke Eropa dan menetap di Brussel dan Kent.
Pada 1938, keluarga Hepburn pindah ke kediaman keluarga ibunya, mansion van Heemstra, di Arnhem, Belanda dengan harapan menghindari konfrontasi Jerman dan Inggris. Di Arnhem, Hepburn melanjutkan studi baletnya di Arnhem Conservatory. Ayahnya bercerai dan pergi ke London untuk beraktivitas dengan kelompok fasis Inggris.
Di tahun 1930-an, ideologi fasisme menjalar di Eropa dan menjadi populer bagi banyak orang, termasuk ayah dan ibu Hepburn. Keduanya pernah tergabung dalam British Union of Fascists. Ini juga yang membuat kisah hidup Hepburn di masa perang tambah menarik. Meski orang tuanya adalah pendukung fasisme, Hepburn bergabung dengan gerakan Dutch Resistance melawan okupasi Nazi.
Ketika Nazi Jerman menduduki Belanda, keluarga van Heemstra seketika jatuh miskin. Mansion keluarga van Heemstra dirusak dan dijarah. Paman Hepburn yang juga bergelar bangsawan dieksekusi mati oleh Nazi, sementara dua orang sepupu Hepburn dikirim ke kamp konsentrasi.
Karena alasan tersbeut, Hepburn mengubah namanya menjadi Edda, nama khas Belanda, karena Audrey terdengar asing. Ia membuang nama Inggris ayahnya untuk mengurangi kecurigaan Nazi terhadap keluarganya. Edda van Heemstra yang biasa bercakap dalam bahasa Inggris campur Belanda kini harus berbicara seperti gadis Belanda tulen dan pergi ke sekolah biasa, selain belajar di Arnhem Conservatory.
Di masa okupasi Nazi, ruang bawah tanah keluarga van Heemstra diubah menjadi tempat berkumpul untuk merekrut relawan Dutch Resistance. Untuk menghindari mata-mata Nazi, mereka berbicara menggunakan sandi. Hepburn berkisah, salah satu kata sandi yang digunakan adalah "rijsttafel", yang berarti keadaan tidak aman untuk berkonsolidasi karena banyak mata-mata yang menguping.
Lantaran Hepburn amat berbakat dalam menari, ia diperbolehkan mengajar balet di Arnhem Conservatory. Uang yang ia dapatkan dari mengajar ini secara diam-diam disumbangkan sebagian untuk Dutch Resistance. "Tidak peduli siapa yang diajar, orang Dutch Resistance atau mereka yang pro-Nazi, saya butuh uang untuk bisa makan dan menyumbang bagi Dutch Resistance," ujar Hepburn seperti dikutip Martin Gitlin dalam Audrey Hepburn: A Biography (2009: 12-15).
Menjelang akhir masa perang, keadaan hidup makin sulit. Bahan makanan di Arnhem semakin susah didapat setelah banyak kota hancur dalam serangan Sekutu. Hepburn dan keluarganya harus bertahan hidup dengan memakan tepung yang dibuat dari bunga tulip. Dengan kondisi amat kurus di akhir 1944, Hepburn tetap mengajar balet.
Pernah sekali waktu ia pingsan karena amat lapar dan kekurangan makan. Kalau sudah begitu, seperti diungkap Gitlin, Hepburn akan diberi satu potong kecil keju edam untuk mengisi perut dan kembali menari, demi mendapatkan uang (hlm. 18-20).
Lebih banyak kisah menarik dan peranan Audrey Hepburn di masa perang bisa dinantikan di buku Robert Martzen yang akan rilis pada bulan April tahun ini, the Dutch Girl and World War II.
Film tentang Batavia & Menembus Dunia Akting
Pada 5 Mei 1945, pagi hari, Hepburn terbangun oleh suara sorak sorai di jalan. Ketika ia membuka jendela kamarnya, terlihat puluhan tentara Sekutu yang baru saja membebaskan kota Arnhem. Seorang tentara memberi Hepburn lima batang coklat yang ia terima dengan girang.
Setelah berhari-hari tidak bisa memanjat tangga karena terlalu lemah tanpa makanan, ia melahap habis lima batang coklat tersebut. Hepburn mengenang kejadian itu sebagai salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidupnya.
Hidup lima tahun di bawah okupasi Nazi dan sering mengalami hari-hari tanpa makanan harus dibayar mahal. Di akhir masa perang, Hepburn divonis mengidap berbagai macam penyakit mulai dari anemia akut sampai malnutrisi.
Postur tubuhnya tidak lagi ideal untuk melanjutkan karier profesional di dunia balet, karena ia tidak mempunyai massa otot yang cukup. Ia kemudian memutuskan untuk fokus berkarier di dunia akting.
Hepburn akhirnya berhasil mendapatkan peran perdana pada 1948, dalam sebuah film berjudul Nederlands in Zeven Lessen. Film pendek besutan Charles Huguenot van der Linden dan Heinz Josephson ini berkisah tentang negeri Belanda, di mana Hepburn berperan sebagai pramugari Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM).
Di film tersebut ia bergaya di depan pesawat KLM kuno berkapasitas 40 orang, yang tengah bersiap untuk terbang ke Batavia dari Schiphol. Pesawat itu membawa para penumpang untuk menikmati rijsttafel.
Setelah membintangi film tersebut, ia mendapat berbagai peran dalam drama musikal dan film. Akhirnya, pada 1954, Hepburn meraih Piala Oscar pertamanya lewat Roman Holiday. Sejak itu popularitasnya kian tak terbendung, ia menjadi salah satu aktris paling terkenal di dunia.
Hepburn tidak banyak berkecimpung di dunia akting menjelang akhir hidupnya. Film terakhir yang ia bintangi adalah Always (1989).
Di akhir 1980-an dan awal 1990-an, Hepburn sibuk di "jalan pedang" yang lain: ia menjalani hidup asketis dan menjadi duta UNICEF. Hepburn amat sering pergi untuk misi perdamaian ke Afrika dan Asia di tengah mengganasnya tumor dan kanker yang ia idap. Pada 20 Januari 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu, Audrey Hepburn meninggal di kediamannya di Tolochenaz, Swiss.
Kata-kata Hepburn yang paling terkenal betul-betul menggambarkan dedikasinya pada dunia filantropi yang ia tekuni menjelang akhir hayat: "Semakin kau menua, ingatlah bahwa kau punya tangan yang lain: yang pertama untuk menolongmu sendiri, yang kedua untuk menolong sesama."
==========
Tika Ramadhini adalah peneliti pada Leibniz-Zentrum Moderner Orient, Berlin dan kandidat doktor sejarah di Humboldt Universität. Saat ini sedang menulis disertasi tentang kehidupan para perempuan Jawa di Makkah awal abad ke-20. Ia lahir di Jakarta, 23 Maret 1992.
Editor: Ivan Aulia Ahsan