Menuju konten utama

Muse, Sosok yang Menginspirasi Para Desainer Kondang

Fashion muse kini didasarkan pada kepopuleran di media sosial.

Muse, Sosok yang Menginspirasi Para Desainer Kondang
Audrey Hepburn. MPTV/Mark Shaw

tirto.id - Mitologi Yunani mencatat Muses sebagai kumpulan dewi inspirasi dalam sastra, ilmu pengetahuan, dan seni. Ada sembilan dewi yang jadi anggota muses, di antaranya Euteroe, Calliope, Terpsichore, Erato, Polyhymnia, dan Aoide. Masing-masing dari mereka dianggap sebagai inspirasi puisi, tari, dan lagu.

Seiring waktu penggunaan istilah muses meluas. Kata ini turut digunakan di ranah mode untuk menandakan sosok yang menginspirasi para desainer busana. Tidak adanya definisi baku tentang muse membuat sejumlah media mencoba memaknai istilah tersebut lewat berbagai pemberitaan. The Guardian pernah mencatat muse adalah sisi feminin dari seniman pria. Sosok tersebut merasuk ke dalam pemikiran sang seniman dan menginspirasinya untuk berkarya. Di ranah seni, sorang seniman tidak mengakui seseorang sebagai muse apabila ia belum menjadi inti dari karya seni.

Dalam artikel lain, The Guardian menyebut muses sebagai sosok unik yang menginspirasi karya desainer. Pendapat serupa juga pernah disinggung oleh media mode, Harper’s Bazaar, yang menyebut muse sebagai sumber dari proses kreatif para desainer. Sebagai sumber inspirasi, muse bisa juga berperan sebagai model dalam iklan, peragaan busana, atau sosok yang kerap mengenakan karya sang desainer ketika mendatangi acara-acara besar seperti Oscar.

Bagi beberapa desainer, makna kehadiran muse melampaui hal-hal yang disebutkan di atas. Hubert de Givenchy, pemilik label Givenchy menganggap relasi dengan aktris Audrey Hepburn bagai sebuah pernikahan. Hepburn berkunjung ke studio Givenchy waktu ia hendak membintangi film Sabrina yang tayang pada 1954. Hepburn memerlukan kostum untuk dikenakan dalam film. Givenchy berkata dirinya sedang sibuk merancang koleksi dan tidak bisa membuat kostum khusus. Hepburn tak marah, ia meminta Givenchy mengeluarkan busana yang sudah pernah dibuat. Untuk Hepburn, Givenchy memodifikasi busana yang telah tersimpan di studionya.

Kerja sama mereka berlanjut. Givenchy menjadi perancang kostum dari tujuh film Hepburn. Busana juga muncul dalam potret ikonik Hepburn. Salah satunya dari film Breakfast at Tiffany. Kolaborasi dua orang ini turut membuat istilah little black dress menjadi populer. Di luar film, Hepburn kerap mengenakan rancangan Givenchy dalam acara-acara besar seperti malam penghargaan sampai pernikahan.

“Busana Givenchy ialah busana yang membuat saya merasa benar-benar menjadi diri sendiri,” kata Hepburn.

“Persahabatan kami semakin erat dan hal itu menumbukan rasa percaya diri satu sama lain,” balas Givenchy.

Kesan Hepburn di benak Givenchy berlangsung nyaris seumur hidupnya. Pada 2014 Givenchy menerbitkan buku To Audrey With Love. Buku berisi sketsa busana Audrey. Dua tahun setelah buku diterbitkan, Gemeente Museum Den Haag menyelenggarakan pameran bertajuk To Audrey With Love yang memperlihatkan relasi di antara mereka.

Givenchy punya banyak cara dan kata-kata untuk mengungkap kekagumannya pada Hepburn. Ia mengungkap relasi mereka yang serupa film Hepburn, Roman Holiday. Kesan itu muncul ketika Hepburn mengajak Givenchy menghadiri acara pertemuan dengan Ratu Inggris.

infografik fashion muse

Kesan mendalam juga pernah dirasakan desainer Yves Saint Laurent kepada Loulou de la Falaise. “Tiada hari di mana ia tidak membuat saya kagum,” kata Saint Laurent. Mereka pertama kali bertemu dalam sebuah pesta di tahun 1968. Saint Laurent terpana dengan gaya bohemian de la Falaise dan pribadinya yang ceria. Pada 1972 mereka mulai kerja sama. De la Falaise merancang aksesori untuk rumah mode Saint Laurent. Aksesori karya de la Falaise kelak menjadi ciri khas dari rumah mode Yves Saint Laurent.

“Buat saya kehadiran Loulou penting ketika saya sedang merancang koleksi. Saya tidak bisa menjelaskan pekerjaan Loulou. Ini terkait dengan perilakunya dan kejujurannya,” tutur Saint Laurent.

Vogue menulis bahwa karya de la Falaise membawa warna, dekorasi, dan kesan hippie-glamor yang menyeimbangkan citra borjuis rumah mode tersebut. Relasi mereka tidak selalu berjalan mulus. Sekitar 18 bulan setelah de la Falaise bergabung dengan Saint Laurent, ia bolak balik menyatakan ingin keluar. Salah satu penyebabnya ia merasa tidak cukup dibayar. Kenyataannya kerja sama mereka berlangsung sampai 30 tahun.

“Kehadirannya di sisi saya bagaikan mimpi,” kata Saint Laurent seperti yang dimuat The Cut .

Kedekatan mereka turut dirasakan oleh Pierre Bergé, partner Saint Laurent dalam bisnis dan percintaan. “Mereka mudah memahami satu sama lain. Loulou adalah interpretasi wanita Saint Laurent. Seorang traveler glamor, isteri, ibu yang bekerja tetapi punya waktu untuk berdansa di Le Palace (gedung pertunjukan teater di Paris). Ia muda dan aktif. Ia sanggup menangani Saint Laurent yang depresif dan menyemangatinya. Ia membuat segala sesuatu jadi ringan,” tutur Bergé.

Awalnya de la Falaise menolak dikatakan sebagai muse Saint Laurent. Ia menganggap muse ialah seorang yang datang untuk mengobrol dan pergi ke pesta. de la Falaise tidak merasa ada muse yang kerja keras seperti dirinya. Pendapat itu berubah setelah ia menanggap Saint Laurent telah menjadi bagian dalam sejarah. “Saya juga menjadi bagian dari sejarah itu. Ternyata jadi muse bukan hal buruk.”

Relasi intim antara desainer busana dan muse terjadi pula pada Azzedine Alaïa dan Naomi Campbell. Naomi menganggap Alaïa sebagai ayah. Pada hari ia bertemu Alaïa, Naomi hanyalah seorang gadis 16 tahun yang jadi korban kejahatan copet Kota Paris. Ia tidak bisa berbahasa Perancis dan tidak punya tempat tinggal tetap. Seorang rekan mengajak Naomi ke rumah Alaïa. Di sana Alaïa menawarkan tempat tinggal dan makanan.

Waktu itu Naomi tengah berusaha menjadi model. Tidak ada agen yang mau memakai jasanya. Hanya Alaïa yang punya pendapat berbeda. Ia menjadikan Naomi sebagai modelnya. Dari sana para pelaku mode mulai melirik Naomi.

Alaïa turut membantunya untuk bisa mendapat pekerjaan di New York. Mereka pergi bersama dan Alaïa memperkenalkan Naomi pada pemilik agen model besar di kota tersebut. “Dengar, ia anak saya. Kamu harus menjaganya baik-baik. Saya tidak ingin ia tersingkirkan di kota ini,” kata Alaïa pada pemilik agen model tersebut .

Agen model itu menuruti perkataan Alaïa. Naomi bahkan bekerja terlalu keras. Saat penat, ia menelepon Alaïa. “Pulanglah, ma fille (panggilan Alaïa untuk Naomi)! Pulang.” Alaïa lantas menelepon agen dan berkata untuk tidak mempekerjakannya terlalu keras. “Itu ialah kasih tulus yang spesial bagi saya,” tutur Naomi pada The Independent.

Selayaknya anak, ia punya sisi nakal. Ketika malam tiba, Naomi kerap kabur dari rumah untuk pergi ke klub bersama Grace Jones dan Iman Bowie. Alaïa tak segan untuk menjemput dan memintanya pulang.

Buat Alaïa Naomi punya kharisma yang kuat. “Saya merasa kami mirip. Ia terkesan defensif tetapi sebenarnya ialah seorang yang rapuh dan butuh kasih sayang.”

Potret Naomi dan Alaïa dari masa ke masa tersebar di berbagai publikasi. Menimbulkan kesan bahwa Naomi selalu mengiringi karya Alaïa sejak hari mereka kenal sampai ia wafat November 2017.

Zaman sekarang muse cepat berganti. Ketika menjadi direktur kreatif label fashion Saint Laurent, Riccardo Tisci pernah menobatkan beberapa selebriti seperti Amanda Seyfried dan Liv Tyler sebagai muse. Belakangan muse rumah mode tersebut ialah Betty Catroux, sosok yang pernah Saint Laurent anggap sebagai kembarannya.

Hal serupa terjadi pada label Balmain yang setiap tahun punya muse mulai dari Kim Kardashian, Kanye West, dan Rihanna. Vogue pernah menyebut Rihanna sebagai muse paling menarik.

Hal serupa terjadi juga pada Nicolas Ghesquiere, direktur kreatif Louis Vuitton yang menobatkan beberapa selebritas seperti Michelle Williams, Charlotte Gainsbourg, Alicia Vikander, Lea Seydoux, dan Selena Gomez sebagai muse. Cerita-cerita romantis serupa Hepburn, de la Falaise, dan Naomi pun jarang terdengar lagi.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono