tirto.id - Salah satu yang menyebabkan roda mode terus berputar adalah pekan mode (fashion week), sebuah rangkaian acara peluncuran koleksi busana dan aksesori karya para desainer berlangsung selama sepekan. Acara ditujukan untuk jurnalis dan buyer, orang yang bertanggungjawab membeli barang untuk diperdagangkan kembali.
Dalam setahun, pekan mode bisa diadakan empat kali masing-masing pada Januari, Maret, Juli, dan September. Jenis koleksi dibuat berdasarkan iklim cuaca di negara empat musim serta penggolongan kategori busana siap pakai atau couture. Sampai hari ini pekan mode di Paris, New York, Milan, dan London jadi acuan untuk menentukan tren. Khalayak mode menyebut pekan mode di kota-kota itu sebagai "big four fashion week".
Sudah banyak kota atau negara yang menyelenggarakan peragaan busana dengan embel-embel fashion week. Fashion Week Web pernah mendata tempat yang menyelenggarakan pekan mode di antaranya Melbourne, Sydney, Rio de Janeiro, Montreal, Cayman Island, Hong Kong, Bogota, Copenhagen, Uni Emirat Arab, dan Jakarta. Meski demikian, big four fashion week tetap menjadi acuan lantaran merupakan pelopor pekan mode yang konsisten mempertahankan reputasi.
Lambat laun kehadiran pada ajang pekan mode di empat kota tersebut terus masuk ke wish list para jurnalis mode, buyer, penulis blog, dan para penikmat mode lain. Seorang kawan pernah menuturkan kepada saya bahwa berada dalam satu ruangan dengan Katy Perry dan Pharell saat pekan mode membuatnya merasa jadi ‘citizen of the world’.
Obsesi penikmat fesyen terhadap pekan mode tidak akan terjadi tanpa Eleanor Lambert. Menurut Huffington Post, pada 1940, perempuan asal Amerika Serikat yang pernah bekerja sebagai staf Public Relations meminta pabrik-pabrik busana mempromosikan desainer terbaik di perusahaan mereka. Setelah diseleksi, Lambert keluar dengan nama 11 desainer. Eleanor pun membuat beberapa ajang penghargaan karya desainer dan press week, momen bagi jurnalis untuk menyaksikan karya perancang busana. Ia mengundang 150 jurnalis untuk datang ke acara tersebut. Hanya 53 orang yang hadir.
Pada masa itu, publik AS belum melirik karya-karya desainer lokal. Paris senantiasa jadi acuan. Desainer, buyer, dan para pebisnis busana AS menjadwalkan kunjungan ke Paris dua kali dalam setahun guna melihat-lihat koleksi terbaru. Ketika Perang Dunia II meletus, rutinitas itu terpaksa berhenti.
Di titik itulah Eleanor menemukan celah untuk mengusung bakat-bakat dalam negeri. Pekan mode pertama diselenggarakan pada 1943. Acara yang waktu itu masih disebut Press Week akhirnya rutin digelar. Walhasil, berita-berita fesyen di media massa mulai ramai—satu kebaruan di zamannya.
Pekan mode pun berkembang jadi ajang yang populer di New York. Pada 1970-1980an peragaan busana diselenggarakan di sejumlah tempat seperti galeri seni, klub malam, dan restoran. Pada tahun 1990an New York Fashion Week diselenggarakan di sebuah area taman. Smithsonian menulis bahwa latar taman tersebut membuat desainer Amerika mendapat perhatian dari luar negeri. Di tahun 2010 pekan mode diselenggarakan di Lincoln Center.
Pada musim semi 2017, New York Fashion Week menyelenggarakan 279 peragaan. Desainer yang kerap mengikuti pekan mode tersebut antara lain adalah Tom Ford, Michael Kors, Calvin Klein, Diane von Furstenberg, Carolina Herera, dan Donna Karan.
Eleanor tak hanya menggarap pekan mode di New York. Rekan-rekannya di Paris pun akhirnya tergoda. Pada 1973, Eleanor bekerjasama dengan kurator Versailles, Gerald Van der Kemp, untuk menyelenggarakan acara bertajuk The Battle of Versailles yang menampilkan karya-karya desainer Paris seperti Hubert de Givenchy, Pierre Cardin dan Yves Saint Laurent.
Acara ini digelar untuk menggalang dana bagi renovasi Istana Versailles. Selanjutnya, format acara berubah menjadi pekan mode yang menampilkan label busana legendaris seperti Dior, Chanel, dan Louis Vuitton. Desain busana yang dihasilkan bernuansa haute couture yang sarat kesan glamor dan kaya detail.
“Busana-busana Paris Fashion Week selalu terkesan lebih artistik dan bergejolak. Berbeda dengan karya desainer Amerika Serikat yang cenderung sederhana dan jelas ditujukan untuk kepentingan bisnis. Paris punya desainer-desainer eksklusif seperti Yohji Yamamoto, Alaia, Jean-Paul Gaultier, Martin Margiela, Comme des Garcons, yang tidak menyebarkan banyak undangan. Bagi orang yang bukan berasal dari media ternama, hanya bisa masuk ke area show setelah baju ketiga tampil. Itupun menonton sambil berdiri. Ini karakter Paris. Lain cerita dengan London yang mengutamakan kreativitas. Out of the box,” kata Samuel Mulia, pengamat mode dan gaya hidup.
London Fashion Week pertama kali digelar pada 1984 di sebuah lapangan parkir. Seperti halnya di New York dan Paris, pekan mode di kota ini pun berkembang pesat. Kreativitas yang disebut Samuel tidak terbatas bahan dan pola busana. Martine Jarlgaard, desainer anyar yang mengikuti pekan mode tersebut, pernah membuat konsep peragaan busana menggunakan Hololens. Martine menggunakan benda serupa perangkat virtual reality untuk untuk menembakkan tayangan hologram yang memperlihatkan koleksi busana. Desainer lain seperti Isa Arfen memilih membuat komposisi model peragaan busana dengan meminjam khazanah performance art.
Sebagaimana disebutkan oleh Independent, pekan mode di London fokus menemukan bakat baru di ranah mode. Upaya tersebut konsisten terjaga sampai hari ini. Di London Fashion Week 2018, Ratu Elizabeth hadir untuk pertama kali dan memberikan penghargaan pada Richard Quinn, yang dinilai sukses berinovasi dalam pembuatan motif kain.
Dari sisi bisnis, pekan mode ini sempat menghasilkan pemasukan 269 juta Poundsterling. Angka tersebut didapat dari penyewaan ruang acara, pemesanan hotel oleh para tamu peragaan, dan biaya makan di restoran.
Di antara empat kota ini, Paris dan Milan masih menjadi destinasi utama. Seperti Paris, pekan mode di Milan menampilkan karya desainer ternama. Samuel menyepakati hal tersebut. Pekan mode menurutnya ialah sarana untuk menambah pengetahuan seputar aplikasi material, desain busana serta aksesori.
"Ini penting bagi jurnalis dan buyer," pungkasnya.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf