tirto.id - Tahun ini, Academy Awards atau yang juga dikenal dengan nama Oscar kembali diselenggarakan di Hollywood, Amerika Serikat. Acara puncak penganugerahan Oscar 2018 digelar pada Minggu (4/3/2018) malam atau Senin (5/3/2018) siang waktu Indonesia. Ribuan orang memenuhi Dolby Theatre untuk menyaksikan penyerahan penghargaan tahunan pada insan film Amerika dan dunia tersebut.
Tapi, hingar-bingar itu tidak terjadi saat Oscar pertama kali digelar pada 16 Mei 1929, tepat hari ini 89 tahun lalu, di Hotel Hollywood Roosevelt, Los Angeles. Seperti dilaporkan Telegraph, hanya 270 tamu yang datang ke jamuan makan sekaligus presentasi penghargaan kala itu. Mereka membayar tiket seharga $5 agar bisa ikut acara. Soal publikasi, Academy Awards tahun itu merupakan satu-satunya perhelatan Oscar yang tidak disiarkan media massa.
Menurut laman www.history.com, Academy Award merupakan acara yang digagas organisasi nirlaba Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) yang berdiri pada 1927. AMPAS dibentuk oleh Louis B. Mayer, pemimpin studio besar Metro-Goldwyn-Mayer (MGM). Lewat organisasi tersebut, Mayer bermaksud meningkatkan dan memajukan industri film.
Film yang dipilih dalam penghargaan Academy Awards tahun 1929 adalah film yang tayang antara 1 Agustus 1927 sampai 1 Agustus 1928. Film-film tersebut selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan 12 kategori yang disusun AMPAS dan diseleksi hingga tersisa 10 finalis. Setelah itu, 25 juri akan menilai kembali kesepuluh finalis tersebut dan memilih tiga besar pemenang, masing-masing di 12 kategori.
Pada 15 Agustus 1928, daftar nominasi awal yang berisi nama tiga besar pemenang di atas dirilis. Dewan Juri Pusat—yang terdiri dari perwakilan satu anggota dari lima cabang AMPAS—kemudian memutuskan siapa pemenang di masing-masing kategori. Para pemenang lalu diputuskan pada 15 Februari 1929. Pada 1929, nama kelima orang di Dewan Juri Pusat adalah Frank Llyod (sutradara), Sid Grauman (produser), Alec Francis (aktor), Tom Geraght (penulis), dan A. George Volck (teknisi).
Timemelaporkan 12 kategori yang menjadi rujukan Oscar kala itu meliputi sinematografi, aktor, aktris, penata artistik, dua kategori sutradara (komedi dan drama), efek, dua kategori film terbaik (“film unik dan artistik” serta “film menakjubkan”), dan tiga kategori penulisan (adaptasi, naskah asli, dan title cards film bisu).
Oscar kala itu juga menjadi ajang penghargaan terakhir yang mengikutsertakan film bisu secara eksklusif. Teknologi audio pada akhir 1920-an mulai membawa perubahan bagi industri perfilman di Amerika. Seperti yang dilaporkan Telegraph, hal ini menyebabkan pihak Academy Awards melarang film “berbicara” untuk ikut serta dalam acara ini sebab dirasa tak adil menilainya dengan film bisu.
Laman www.history.com mencatat beberapa nama keluar sebagai pemenang pada penyelenggaran Oscar tahun 1929. Untuk Kategori Best Picture, film Wings terpilih sebagai pemenang. Karya yang disutradarai William Wellman ini menghabiskan biaya produksi termahal kala itu, yakni sebesar $2 juta. Narasi besar film ini adalah soal dua pilot pesawat tempur Perang Dunia I yang jatuh cinta pada wanita yang sama.
Sementara itu, film lainnya, yakni Sunrise karya F.W. Murnau dipilih sebagai pemenang untuk kategori Best Film of the Year. Pria asal Jerman, Emil Jannings terpilih sebagai aktor terbaik atas perannya di film The Last Command and The Way of All Flesh sedangkan aktris terbaik diraih Janet Gaynor atas perannya di film Seventh Heaven, Steet Angel, dan Sunrise.
Selanjutnya, penghargaan spesial diberikan kepada Charlie Chaplin. Dia masuk nominasi penghargaan Aktor Terbaik, Penulis Terbaik, dan Sutradara Komedi Terbaik, tapi ia kemudian ditetapkan sebagai peraih penghargaan spesial.
Oscar: Ajang Dominasi Hollywood
Saat pertama kali digelar, AMPAS melalui Oscar ingin memberikan penghargaan pada industri dan pegiat film. Namun, sejarah membuktikan bahwa Oscar justru menjadi lahan dominasi kelompok tertentu yang dapat mempengaruhi industri film Amerika, bahkan internasional.
Menurut Kristin Thompson dan David Bordwell dalam Film History: An Introduction (2002), Amerika Serikat tengah mengalami krisis ekonomi parah antara 1930 hingga 1945, yang dikenal dengan nama Depresi Besar. Pada 1932, pengangguran mencapai 23,6% dan hampir 14 juta orang kehilangan pekerjaan pada 1933. Hal ini membuat banyak orang tidak punya uang banyak untuk membeli barang selain kebutuhan sehari-hari.
Industri film Hollywood pun tak luput dari situasi di atas. Selama era film bisu, industri film Hollywood telah berkembang menjadi oligopoli: sejumlah perusahaan bekerja sama untuk menutup persaingan dalam pasar. Pada 1930-an, struktur tersebut tetap sama dan baru berubah setelah Depresi Besar ditambah perkembangan teknologi berupa hadirnya audio dalam film.
Ada delapan perusahaan yang mendominasi industri film Hollywood. Pertama adalah perusahaan film besar atau Big Five yang terdiri dari Paramount, Loew’s (umumnya dikenal lewat nama anak perusahaan produksinya MGM), Fox, Warner Bros dan RKO. Thompson dan Bordwell mengatakan bahwa para perusahaan film besar ini terintegrasi secara vertikal. Mereka memiliki jaringan bisokop dan menjalankan distribusi internasional.
Perusahaan lain yang juga menjadi pemain dalam industri film Hollywood adalah perusahaan film kecil yang masuk kelompok Little Three. Mereka memiliki sedikit atau bahkan tidak mempunyai bioskop. Universal, Columbia, dan United Artits adalah perusahaan film yang termasuk dalam Little Three.
Beberapa perusahaan independen seperti Samuel Goldwyn dan David O. Selznick juga menghasilkan film kelas "A" yang biaya pembuatannya sama mahalnya dengan film produksi Big Five. Di samping itu, ada pula perusahaan seperti Republic dan Monogram yang membikin film kelas "B" yang biaya pembuatannya memakan ongkos sedikit.
Kritikus film Emanuel Levy mengatakan proses penentuan nominasi dan pemilihan akhir Oscar selama akhir 1920-an dan sepanjang 1930-an dinodai kampanye iklan studio film. Hal ini, menurut Levy, dilakukan para pembuat film sebab Oscar dianggap sebagai tolak ukur sah untuk mengevaluasi riwayat kualitas sebuah film. Studio film, sutradara, dan para aktor mengukur karier mereka berdasarkan jumlah nominasi Oscar dan penghargaan yang mereka terima.
Ia berkata studio-studio film besar saat itu memiliki sumber daya dan fasilitas untuk berkampanye secara canggih dan efektif. Bagian publisitas studio dapat menjual film mereka ke publik dan membujuk anggota AMPAS untuk memilih film mereka. Selain itu, Levy juga menekankan adanya pengaruh Louis B. Mayer sebagai pendiri AMPAS sekaligus pemimpin studio film MGM selama dua dekade. Mayer, dalam hal ini, memiliki wewenang untuk menentukan tujuan sekaligus merekrut anggota organisasi nirlaba tersebut.
Levy memaparkan bahwa MGM menerima nominasi dan penghargaan yang tidak wajar selama kepemimpinan Mayer. Pada dekade pertama, MGM menerima total 153 nominasi dan 33 penghargaan. Studio film Paramount menempati posisi kedua dengan perolehan jumlah 102 nominasi 102 dan 15 penghargaan. Angka ini jauh lebih sedikit dibandingkan yang didapatkan MGM. Fox dan Columbia, di sisi lain, tampil dengan pretasi tak mengesankan. Fox meraih 54 nominasi dan 13 penghargaan sedangkan Columbia memperoleh 43 nominasi dan 10 penghargaan.
Puluhan tahun berselang, masalah dominasi di ajang penghargaan film tertua itu masih ada. Paul McDonald dalam buku Hollywood Stardom (2012) mengatakan bahwa selama lebih dari 80 tahun pemilihan AMPAS di Oscar terfokus pada film-film berbahasa Inggris produksi Amerika yang sering berasal dari Hollywood (hlm. 1969).
Menurut McDonald, hal ini terjadi lantaran otoritas Oscar didukung dominasi kultural dan komersial film Hollywood di pasar film terkemuka di dunia. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa anggota AMPAS sebagian besar terdiri dari kalangan profesional komunitas fim Amerika Serikat.
Pada akhirnya, status dominasi Oscar dalam sistem penghargaan film internasional turut mencerminkan hegemoni Hollywood di ranah internasional.
Editor: Ivan Aulia Ahsan