Menuju konten utama

Akankah DTSEN Efektif Perbaiki Kerancuan Data Sosial Ekonomi?

Masalah utama dalam penyaluran bansos terletak pada ketidaktepatan sasaran karena data yang tidak sinkron.

Akankah DTSEN Efektif Perbaiki Kerancuan Data Sosial Ekonomi?
Sejumlah warga penerima manfaat mengantre untuk penyaluran bantuan sosial (Bansos) pangan cadangan beras pemerintah di Kantor Pos Bandung, Jawa Barat, Kamis (29/2/2024). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/YU

tirto.id - Sebuah tangkapan layar tabel klasifikasi kesejahteraan sosial yang diklaim berasal dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) viral di media sosial. Konten tersebut memicu kehebohan lantaran mencantumkan pengeluaran per kapita sebesar Rp3 juta per bulan sebagai batas kategori "super kaya".

Unggahan yang tersebar luas di platform X itu menyebutkan bahwa DTSEN membagi masyarakat ke dalam 10 desil berdasarkan pengeluaran bulanan per kapita. Desil 1 digambarkan sebagai kelompok miskin ekstrem dengan pengeluaran di bawah Rp500 ribu per bulan. Desil 2 dikategorikan sebagai miskin (pengeluaran Rp500 ribu–Rp650 ribu), dan Desil 3 sebagai rentan miskin (pengeluaran Rp800 ribu–Rp1 juta).

Kategori berlanjut ke Desil 4 yang disebut sebagai menengah bawah (Rp800 ribu–Rp1 juta), Desil 5 sebagai kelas menengah (Rp1 juta–Rp1,25 juta), Desil 6 menengah atas (Rp1,25 juta–Rp1,5 juta), Desil 7 mapan (Rp1,5 juta–Rp1,8 juta), Desil 8 kaya (Rp1,8 juta–Rp2,2 juta), Desil 9 sangat kaya (Rp2,2 juta–Rp3 juta), dan Desil 10 sebagai super kaya, yakni mereka yang memiliki pengeluaran lebih dari Rp3 juta per kapita per bulan.

Salah satu versi tabel tersebut bahkan diunggah di situs resmi Pemerintah Desa Tokke, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Situs tersebut juga mencantumkan pola simulasi perhitungan: jika sebuah keluarga beranggotakan 5 orang memiliki total pengeluaran Rp2,5 juta per bulan, pengeluaran per kapitanya adalah Rp500 ribu dan berarti masuk dalam Desil 1 alias miskin ekstrem.

Pengkategorian “super kaya” untuk individu dengan pengeluaran hanya Rp3 juta itu memicu gelombang sindiran di media sosial. Banyak warganet menyebut klasifikasi tersebut tak masuk akal dan tidak mencerminkan kondisi ekonomi saat ini.

Salah satu pengguna X dengan akun @hakm*g menulis, “Bisa-bisanya membuat standar seperti ini,” disertai emoji marah.

Pengguna lain, @put*a70**911, menyindir, “Gue yang UMP DKI masuk kategori crazy rich euy. Hahaha.” Sementara itu, akun @mukidion menambahkan komentar bernada satir, “Nomor 10 itu per hari 3 juta, sesuai gaji @DPR_RI,” merujuk pada perbandingan gaji anggota dewan yang disebut-sebut mencapai angka tersebut.

Pemerintah Bantah Data Tersebut

Pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) telah membantah informasi mengenai klasifikasi kesejahteraan sosial dalam DTSEN yang viral itu. Melalui unggahan dalam akun instagram resminya, Kemensos menegaskan bahwa DTSEN yang resmi tidak menetapkan kategori kesejahteraan berdasarkan nominal pengeluaran per individu.

Sistem ini pun, menurut Kemensos, hanya digunakan untuk memetakan kesejahteraan masyarakat berdasarkan skema desil tanpa mencantumkan angka pengeluaran tertentu sebagai batas kategorisasi.

“BPS maupun Kementerian Sosial tidak pernah mempublikasikan besaran pengeluaran seperti yang beredar,” tulis keterangan resmi Kemensos, Selasa (19/8/2025).

Sebagai konteks, pemerintah saat ini memang telah resmi mengganti sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan sistem baru bernama Data Terpadu Stabilisasi Ekonomi Nasional (DTSEN). Sistem ini menjadi acuan utama dalam pendataan penerima bantuan sosial (bansos) dan digunakan untuk memastikan penyalurannya tepat sasaran.

DTSEN merupakan sistem data terpadu yang dirancang untuk mendata dan memverifikasi masyarakat penerima manfaat berbagai program bantuan pemerintah. Basis data ini digunakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan sosial dan ekonomi, khususnya dalam menyalurkan bantuan secara lebih akurat dan objektif.

DTSEN dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan dibentuk melalui penggabungan berbagai sumber data yang sebelumnya terpisah. Di antaranya adalah data dari DTKS, Peta Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), data peserta BPJS Kesehatan, serta informasi dari kementerian dan lembaga terkait lainnya.

Penerapan DTSEN telah ditetapkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 5 Februari 2025.

Apa yang Perlu Disoroti dari Pendekatan Desil dalam DTSEN?

Terkait klasifikasi kesejahteraan sosial berdasarkan pengeluaran, menurut Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, hal itu memang bisa dilakukan. Yang menurutnya perlu disoroti adalah pengelola data dan metodologi penentuan rentang nilai dalam desil tersebut.

Rentang tersebut bisa diperlebar atau dipersempit sesuai dengan metodologi yang digunakan. Dalam kasus tabel viral yang mencantumkan pengeluaran Rp3 juta per kapita per bulan sebagai indikator “super kaya”, Media menilai rentang desil yang digunakan terlalu sempit.

“Kalau kita menghitung desil, kan ada rentangnya ya. Mau kita perlebar, mau kita persempit. Nah, di pemeringkatan desil yang kemarin menyebar itu, itu kan rentangnya sempit sekali,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (20/8/2025).

Meski demikian, Media menyatakan bahwa pendekatan desil tetap dapat digunakan sebagai dasar kebijakan bantuan sosial. Menurutnya, pendekatan ini bahkan bisa lebih valid dibandingkan dengan metode cut-off kemiskinan milik BPS, karena bisa memberikan gambaran yang lebih luas.

“Karena, ketika desil, ya sudah kita bagi saja. Satu juta, dua juta, tiga juta, empat juta misalkan. Sehingga, kita bisa menentukan sebetulnya dari desil yang bakal jadi bahan bansos itu di kisaran pendapatan berapa,” ujar Media.

Publik jadi agak sensitif pada data-data sosial ekonomi seperti ini lantaran mungemukanya persoalan perbedaan data kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia juga belum lama ini. Bank Dunia menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 171,8 juta jiwa pada 2024. Hal ini terpapar dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025.

Jika merujuk hitungan Bank Dunia, dengan jumlah penduduk hampir 285 juta, jumlah penduduk miskin di Indonesia berarti sekitar 60,3 persen populasi. Karena itulah, laporan Bank Dunia ini kemudian memantik perhatian publik.

Sementara itu, data resmi BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 24,06 juta jiwa per September 2024. Ini berarti persentase penduduk miskin Indonesia sebesar 8,57 persen populasi.

Realisasi penyaluran bantuan sosial di Banten

Petugas memotret warga memperlihatkan uang tunai saat penyaluran bantuan sosial di Kota Tangerang, Banten, Selasa (12/8/2025). ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc.

Urgensi Penerapan DTSEN sebagai Basis Data

Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai bahwa permasalahan utama dalam penyaluran bansos di Indonesia terletak pada ketidaktepatan sasaran. Huda menilai, tidak jarang masyarakat yang seharusnya menerima bantuan justru tidak mendapatkannya, sementara mereka yang tidak berhak malah menjadi penerima.

“Masalah tersebut adalah exclusion dan inclusion error. Permasalahan dasarnya adalah data yang tidak sinkron yang digunakan oleh pemda dan pemerintah pusat. Masing-masing punya data sendiri. Maka perlu satu data terpadu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (20/8/2025).

Huda menilai upaya pengintegrasian berbagai sumber data, seperti DTKS, Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), dan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), merupakan langkah yang tepat. Ketiga sumber data ini selama ini berdiri sendiri-sendiri dan kerap tidak selaras satu sama lain.

“Maka sudah tepat jika data tersebut dipadukan. Terlebih, ada integrasi Regsosek yang terbaru, saya rasa validitas data semakin bagus. Karena, selama ini data bantuan sosial tidak valid sehingga terjadi exclusion dan inclusion error,” ujarnya.

Huda menjelaskan bahwa exclusion merupakan kesalahan pencatatan di mana orang yang seharusnya dapat bansos justru tidak mendapatkannya, sedangkan inclusion error merupakan orang yang seharusnya tidak dapat bansos justru mendapatkannya.

Melihat kondisi tersebut, Huda menilai hadirnya DTSEN bisa menjadi jawaban untuk validasi data yang baik guna penyaluran bansos. Dia juga menyebut digitalisasi data melalui DTSEN memiliki potensi untuk menjadi dasar validasi data bansos yang lebih akurat.

“Namun, tantangannya adalah kesiapan SDM daerah. Terkadang, mereka tidak paham harus menggunakan data yang mana,” ujarnya.

Menurut Huda, hal ini menyebabkan praktik nepotisme di tingkat lokal, di mana penerima bantuan lebih ditentukan oleh kedekatan dengan aparat desa, bukan berdasarkan kebutuhan objektif. Oleh karena itu, dia menekankan bahwa digitalisasi harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan terhadap penggunaan data agar tidak disalahgunakan.

“Penyaluran bansos menjadi sangat subjektif. Siapa dekat pemerintah desa, maka mereka yang mendapatkan bansos. Digitalisasi harus bisa mengawasi penggunaan data untuk penyaluran,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DATA BANSOS atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi