Menuju konten utama

AJI: Revisi UU Pers Bisa Membumihanguskan Perusahaan Media

Revisi UU Pers lewat RUU Cipta Kerja Omnibus Law justru bertujuan membangkrutkan perusahaan media.

AJI: Revisi UU Pers Bisa Membumihanguskan Perusahaan Media
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/9/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam revisi UU Pers 40/1999 dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law berkaitan dengan sanksi perusahaan media. Revisi itu tertuang dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang sedang dibahas oleh DPR RI.

Pasal 18 UU Pers direvisi menyangkut masalah denda bagi perusahaan media dan sanksi pidana bagi pihak yang menghalangi kinerja pers.

Denda bagi perusahaan pers naik hingga 400 persen dari Rp500 juta jadi Rp2 miliar. Di antaranya berkaitan perusahaan pers bila didapati dalam beritanya menyinggung norma agama, melanggar prinsip praduga tak bersalah, merendahkan martabat, mengiklankan minuman keras dan rokok, dan ketika tak melayani hak jawab.

Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan sanksi kepada perusahaan pers hendaknya punya semangat untuk mendidik.

Ia menduga, adanya denda ini merupakan cara pemerintah untuk menarik pendapatan negara bukan pajak dari perusahaan pers yang melanggar aturan.

Padahal, katanya, Dewan Pers yang hadir rapat saat itu pun paham dan mengerti bagaimana keadaan ekonomi perusahaan-perusahaan pers di Indonesia.

"Berdasarkan standar syarat pembuatan perusahaan pers, syarat modal minimal Rp50 juta. Bisa dibayangkan kalau misalnya dengan cara seperti itu ada sanksi administratif sebesar Rp2 miliar. Jadi itu semangatnya bukan mendidik, tapi seperti membumihanguskan," kata Manan dalam rapat dengar pendapat RUU Cipta Kerja di gedung DPR RI, Kamis (11/6/2020).

Polisi Tak Pernah Pakai UU Pers

Manan juga mengkritik implementasi pasal 18 yang direvisi tersebut. Di antaranya menyangkut penaikan sanksi pidana bagi pihak yang menghalangi kerja jurnalis. Ancaman pidana tetap dua tahun, namun dendanya naik 400 persen mencapai Rp2 miliar.

Menurut dia, dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, penyidik kepolisian tak pernah menerapkan Pasal 18 UU Pers. Buktinya kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi.

"Mulai dari hal sederhana seperti pengusiran hingga pembunuhan. Bisa di-cover oleh pasal ini. Tentu menjadi pertanyaan kami soal urgensi menaikkan sanksi denda sampai 400 persen ini. Apakah selama ini hukuman yang diberikan kepada mereka tidak cukup?" katanya.

Ia justru menjelaslan bahwa dalam kasus penghalang-halangan kerja jurnalistik dan pers di Indonesia, justru pihak kepolisian jarang menggunakan pasal ini.

"Dalam kajian kami di AJI pasal ini sebenarnya harus diimplementasikan oleh polisi ketika menangani kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan. Mulai dari memukul wartawan sampai membunuh wartawan," katanya.

Kata Abdul Manan, polisi lebih cenderung menggunakan pasal pidana biasa di dalam KUHP.

"Tapi dalam kenyataan pasal ini jarang dipakai karena kecenderungan polisi menggunakan pasal pidana [KUHP] dan jarang menggunakan Undang-Undang Pers yang mengandung sanksi denda," katanya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU PERS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali