Menuju konten utama
Demo Tolak RUU Bermasalah

Jurnalis Dilindungi UU Pers, Polisi Kok Main Pukul Saja?

Setidaknya empat wartawan dianiaya aparat dan massa saat meliput aksi. Polisi lalu meminta korban lapor saja.

Jurnalis Dilindungi UU Pers, Polisi Kok Main Pukul Saja?
Ribuan mahasiswa dari berbagai melakukan aksi di depan Gedung DPR RI menolak pengesahan RKUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi, Jakarta, Senin (23/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Empat jurnalis menjadi korban kekerasan dan intimidasi saat meliputan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil di sekitar Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (27/9/2019). Demikian data sementara yang dihimpun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Mereka adalah jurnalis dari Kompas.com Nibras Nada Nailufar, jurnalis IDN Times Vanny El Rahman; jurnalis Katadata Tri Kurnia Yunianto; dan jurnalis Metro TV Febrian Ahmad.

Tak hanya oleh polisi, kekerasan juga dilakukan massa yang tak diketahui asalnya.

Nibras Nada Nailufar atau yang akrab disapa Ajeng menceritakan kronologi saat ia mendapatkan intimidasi dari aparat kepada reporter Tirto

Saat itu, Ajeng baru kembali dari Graha Jalapuspita yang lokasinya berada di seberang Taman Ria Senayan. Ia berencana pulang ke kantornya dengan melewati Jalan Gerbang Pemuda.

"Pas sampai di bawah Flyover Ladokgi, suasana memanas. Polisi di atas jalan layang sudah siap menembak ke arah massa," ucap Ajeng, Rabu (25/9/2019).

"Setelah saya teriak 'saya wartawan', saya disuruh masuk ke JCC (Jakarta Convention Center). Karena rupanya Jalan Gerbang Pemuda sudah penuh gas air mata," Ajeng menambahkan.

Ia melihat polisi dan tentara yang kewalahan menghadapi massa yang jumlahnya cukup banyak. Di tempat itu dia menyaksikan polisi dan tentara sedang memulihkan diri akibat terkena gas air mata.

Ajeng lantas melihat tiga laki-laki digiring polisi berseragam Brimob berwarna hitam. Dia tidak tahu apakah mereka itu mahasiswa atau bukan.

"Pertama, seorang pria yang mungkin usianya sudah di atas 30 tahun mengenakan kaos dan celana panjang. Tubuhnya sudah lunglai dan dipapah secara kasar oleh polisi. Saya merekam itu dari balik dinding kaca JCC."

Ajeng merekam peristiwa itu. Dia lantas ditegur seorang perwira polisi dan meminta agar video dihapus. Ajeng melawan. Dia bilang dia adalah wartawan yang pekerjaanya dilindungi UU Pers.

Namun aparat tidak peduli dan tetap ngotot minta Ajeng menghapus videonya. "Tapi saya tolak dan saya berjalan keluar," kata Ajeng.

Saat keluar, Ajeng kembali melihat seorang laki-laki digiring aparat. Laki-laki itu mengenakan kaos yang sudah basah oleh keringat. Muka dan rambutnya juga basah. Jalannya lunglai.

Dia juga melihat belasan polisi menyeret seorang laki-laki bertelanjang dada. Beda dengan yang lain, laki-laki ini dipukuli dan bahkan diinjak polisi.

Ajeng spontan berteriak agar polisi berhenti mengeroyok. Dia tidak tega. Polisi, yang sadar tengah direkam, justru malah menghardik Ajeng agar tidak mengambil video. Ponsel Ajeng juga coba dirampas.

"Namun saya segera memasukannya ke balik pakaian dalam," kata Ajeng.

Tangan ajeng sempat ditarik dan dia juga hampir diserang. Beruntung dia diselamatkan seorang komandan polisi yang sebelumnya mengeroyok massa.

"Tas saya ditarik, tangan saya ditarik, mereka nyaris menyerang sampai akhirnya komandannya itu melindungi saya dan membawa saya ke dalam JCC. Saya diminta menghapus video dan diminta mengerti bahwa pasukan Brimob sedang mengamuk," kata Ajeng.

Hal yang sama dialami Tri Kurnia. Ia dipukuli aparat saat merekam kericuhan di sekitar kawasan Palmerah-Gelora Bung Karno.

Tri bilang saat itu dia sedang berada di warung makan yang ada di area belakang kawasan Gedung DPR/MPR. Warung ini dekat dengan jalan raya, titik kerusuhan antara polisi dan pengunjuk rasa.

Insting berburu berita Tri muncul saat dia melihat polisi memuntahkan gas air mata dan mobil dari water cannon. "Saat itu saya berusaha merekam dengan kamera handphone," kata Kurnia kepada reporter Tirto.

Saat itulah polisi menghampiri dan tanpa ba-bi-bu langsung memukuli.

"Mungkin saya mendapatkan 5-7 kali pukulan dan tendangan di bagian kepala bagian atas, pelipis kanan dan kiri. Selain itu, sempat merasakan sekali jambakan rambut bagian atas. Bagian dada sebelah kanan juga dipukul. Paha kanan dan kiri merasakan tendangan (ada bekas sepatu di celana sebelah kiri)," kata dia.

Kurnia dituduh sebagai mahasiswa yang mengambil video untuk memprovokasi massa. Padahal dia sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia adalah jurnalis yang sedang bekerja. Kurnia juga menunjukkan kartu pers yang dia kalungkan di leher.

Pelaku adalah Brimob, kata Kurnia. Sayang tidak tidak tahu jumlah pelaku, nama mereka, dan bahkan mengingat wajah-wajahnya. Kurnia terlalu panik dan berusaha melindungi kepalanya dari jotosan.

Ia diselamatkan oleh salah seorang polisi, namun si polisi ini tidak langsung melepasnya. Kurnia diinterogasi.

Kurnia diminta menghapus video yang telah direkamnya itu. Dia lepas setelah seorang polisi lain menelepon redaktur di kantor.

"Ditanya dari media mana, sama disuruh telepon atasan untuk mengkonfirmasi. Untung juga ditolong komandan Brimob, diantar ambil motor setelah itu. Kalau enggak, ya mungkin bisa lebih parah," akunya.

Sementara Vanny El Rahman ditendang dan dipaksa menghapus foto serta video di ponselnya saat meliput aksi demonstrasi di Flyover Slipi, sekitar pukul 21.40 WIB Selasa malam.

Ketika itu polisi memukul mundur demonstran. Vanny mengaku melihat polisi menangkap satu orang demonstran. Polisi itu mendekap kepala demonstran sebelum memukulnya dengan tameng dari belakang.

Vanny pun merekam kejadian tersebut hingga akhirnya polisi memintanya untuk menghentikan rekamannya. Dua polisi tiba-tiba menghampirinya dan langsung menganiaya dia. Ia ditendang dan kartu pers-nya ditarik paksa.

Vanny juga diminta menghapus video dan foto yang di ponselnya. Vanny menolak. Dia beradu mulut dengan polisi.

"Kamu enggak tahu apa yang mereka [demonstran] lakukan? Kamu dikasih hati malah begini," kata Vanny kepada reporter Tirto, menirukan ucapan polisi.

Sementara Febrian Ahmad dianiaya massa yang identitasnya tidak jelas. Mobil yang digunakan Febrian saat meliput di wilayah Senayan dirusak massa. Kaca bagian depan dan belakang, serta jendela pecah semua.

Harus Diproses Hukum

AJI Jakarta mengutuk keras segala kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis, baik yang dilakukan aparat maupun massa. Kekerasan itu merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Seorang jurnalis, dalam peraturan itu, dilarang dihalang-halangi saat meliput berita. Pelakunya terancam hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda uang paling banyak Rp500 juta.

Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung mendesak polisi menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, sekalipun itu anggota mereka sendiri.

"Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan," kata Erick kepada reporter Tirto.

Selain itu, kata Erick, AJI Jakarta juga berharap perusahaan media mengutamakan keamanan dan keselamatan jurnalisnya saat meliput aksi massa yang berpotensi ricuh.

AJI juga meminta perusahaan media lebih aktif dengan cara melaporkan pula penganiayaan ke polisi.

Respons Normatif Polisi

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan aparat memang seharusnya cukup memberikan peringatan tanpa melakukan kekerasan. Karena itu dia meminta jurnalis korban kekerasan melapor saja ke Polda Metro Jaya.

"Kalau memang ada yang merasa dianiaya, silakan laporkan," ucap Argo di Mapolda Metro Jaya, Rabu (25/9/2019).

Baca juga artikel terkait DEMO DPR atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz