Menuju konten utama

Ahli Hukum Sebut Ada Kesalahan dalam Memaknai Arti Remisi

Ahli hukum pidana menyebutkan ada kesalahpahaman dalam memaknai pengurangan remisi dalam hukum yang berlaku di Indonesia.

Ahli Hukum Sebut Ada Kesalahan dalam Memaknai Arti Remisi
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe, Agustiar Ismail (kanan), ketua advokasi AJI, Khaidir (kiri) menujukkan seruan “Cabut Remisi Pelaku Pembunuh Jurnalis” di Lhokseumawe, Aceh, Kamis (24/1/2019). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, ada kesalahpahaman dalam memaknai arti remisi pada sistem hukum di Indonesia. Menurut Fickar, remisi kerap diartikan sebagai pengurangan hukuman atau perubahan hukuman.

“Padahal sebetulnya remisi itu pengurangan terhadap masa menjalani hukuman. Untuk hukumannya tidak berubah, karena itu merupakan yuridiksi dari pengadilan. Ini yang sering keliru,” kata Fickar dalam acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis (7/2/2019) siang.

Fickar menyebutkan, putusan pengadilan itu sebetulnya tidak bisa diganggu gugat. Presiden sendiri memang bisa masuk ke ranah kehakiman. Namun, Fickar mengatakan apabila kuasa yang dimiliki presiden itu harus sesuai dengan konstituen, di mana mencakup dari grasi, amnesti, dan abolisi.

Polemik mengenai remisi memang mencuat belakangan ini terkait dengan narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir dan Susrama yang merupakan pembunuh jurnalis di Bali. Pemberian remisi itu pun disebutkan lantaran adanya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.

“Dari Undang-Undang (UU Nomor 12 Tahun 1995), terjadi perubahan begitu turun ke Keppres. Salah satunya terkait pengurangan masa hukuman dari yang awalnya seumur hidup,” ujar Fickar.

Adapun pernyataan Fickar itu merujuk pada Pasal 9 dalam Keppres Nomor 174 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit lima tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, bisa diubah hukumannya menjadi pidana penjara sementara.

Dengan demikian, sisa pidana yang masih harus dijalani tercatat paling lama 15 tahun. Perubahan pidana tersebut ditetapkan melalui Keppres dengan mekanisme permohonan yang diajukan oleh narapidana kepada presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, beserta perundang-undangan.

Baca juga artikel terkait REMISI HUKUMAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno