tirto.id - “Kami tidak akan memberi dukungan kepada mereka,” ujar Yusuf Muhammad Martak, Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama) kepada saya di Restoran Lazareta, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu terakhir bulan lalu.
"Mereka" yang dimaksud Martak adalah partai politik yang menyatakan dukungan kepada Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini mendekam di penjara karena kasus dugaan penodaan agama.
Setelah gerakan ini mampu membetot sentimen agama dengan mobilisasi massa ke Monumen Nasional, lewat sejumlah demonstrasi pada panggung Pilkada DKI Jakarta 2017, nama aliansi ini tidak memakai lagi embel-embel Majelis Ulama Indonesia. Gerakan ini resmi mengubah nama sejak Oktober 2017.
Perubahan nama aliansi itu juga mengubah struktur kepemimpinan. Yusuf Martak menggantikan Bachtiar Nasir, sosok yang disebut Sidney Jones dalam laporan terbarunya "menggerakkan jaringan Salafi-modernis," kantong kelompok muslim perkotaan.
Martak, sebelum menjadi Ketua GNPF Ulama, adalah Ketua Umum Badan Koordinasi Penanggulangan Penodaan Agama (Bakorpa), yang didirikan bersama sejumlah aktivis dan tokoh muslim.
Dewan pakar Bakorpa diisi oleh Kiai Haji Ma’ruf Amin, Maman Abdurahman, Habib Thohir Al Kaff, Yunahar Ilyas, Kiai Haji Mustofa Ali Yaqub, Hidayat Nurwahid, dan Kiai Haji Tengku Zulkarnaen.
Ma’ruf Amin dikenal sebagai Ketua MUI sekaligus sosok yang mengeluarkan fatwa penodaan agama terhadap Ahok terkait ucapan surat Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kini Amin merapat ke Presiden Joko Widodo.
Ketika kasus Ahok mencuat ke publik, Martak pernah mendatangi DPRD Jakarta dan meminta Ahok dilengserkan. Pertemuannya diterima oleh Abdurrahman Suhaimi, anggota parlemen daerah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
“Seandainya gubernur tidak melakukan penistaan, itu tidak ada masalah,” klaim Martak saat itu.
Menurutnya, pergantian nama dari GNPF MUI menjadi GNPF Ulama membuat aliansi ini punya tujuan dengan "cakupan lebih luas."
Meski ia menolak anggapan bahwa gerakan ini punya iktikad politik, tetapi ia tak menampik gerakan ini melakukan komunikasi dengan parpol, di antaranya dengan Gerindra, PKS, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang.
“Komunikasi, iya. Tapi kalau sampai meminta dukungan, belum. Komunikasi kami intens,” klaim Martak.
Muhammad Al Khaththath alias Gatot Saptono, Sekretaris Jenderal GNPF Ulama, mengatakan tujuan gerakan ini tak beralih, yakni tetap mengawal fatwa ulama yang dihasilkan dalam Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ketiga Tahun 2009 di Sumatera Barat.
Isi fatwa tahun itu, di antaranya, "memilih pemimpin dalam Islam," "memilih pemimpin yang ... memperjuangkan kepentingan umat Islam sebagai hukum wajib," dan mengharamkan orang memilih pemimpin di luar kriteria tersebut.
”Maka fatwa-fatwa yang perlu kami kawal, kami kawal. Misalnya memasuki tahun politik 2018-2019, ada fatwa ulama tahun 2009 tentang Pemilu, itu yang kami kawal,” ujarnya, Rabu terakhir bulan lalu.
Namun, Al Khaththath menolak jika GNPF Ulama memiliki agenda politik terutama menjelang Pilkada serentak tahun ini dan Pemilu 2019.
“Orang yang tidak suka dengan Islam dan gerakan Islam, mereka cara mengatakannya, 'Ini berpolitik.' Tidak pernah mengatakan, 'Ini memperjuangkan Islam.' Jadi kami maklumin saja,” katanya.
Gerakan Lain Setelah 212
Gelombang "Aksi Bela Islam" sejak akhir tahun 2016, dengan demonstrasi besar-besaran pada 2 Desember, telah menjadi acuan kelompok ini yang menamakan diri Alumni 212. Pada akhir tahun lalu, gerakan ini mengadakan pertemuan bertajuk “Reuni 212”, digelar di pelataran Monas, Jakarta Pusat.
Semula gerakan ini bernama Presidium Alumni 212, yang diketuai Slamet Maarif, juru bicara Front Pembela Islam. Namun, pada Maret 2018, gerakan ini berganti nama menjadi Persaudaraan Alumni 212.
Sempat diisukan ada perpecahan di antara kalangan Alumni 212, kabar ini ditepis Maarif, yang kini menjabat Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Alumni 212. Isu perpecahan alumni 212 itu juga dibantah oleh Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, yang kini di Mekkah sejak akhir April 2017 menyusul Polri menjeratnya dengan kasus dugaan pornografi.
Rizieq berada dalam struktur kepemimpinan GNPF Ulama dan menjabat ketua dewan pembina. Sementara Amien Rais bersama Al Khaththath menjadi bagian dari Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS), yang dideklarasikan saat “Reuni 212”, 2 Desember 2017.
Slamet Maarif, selain memegang posisi teras di Pusat Persaudaraan Alumni 212, juga menjadi anggota Tim 11 Ulama Alumni 212. Tim ini bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, menepis dukungan soal Pilpres 2019, mengklaim semata membahas mengenai apa yang mereka tuduhkan "kriminalisasi terhadal ulama dan aktivis 212."
Soal Gerakan Indonesia Sholat Subuh, Al Khaththath mengatakan bahwa ide gerakan ini bermula dari pertemuan dengan Ki Gendeng Pamungkas ketika mereka mendekam di penjara karena dugaan kasus makar.
“Ketika saya keluar, kemudian saya rumuskan, maka terwujudlah gerakan salat subuh ini,” ujarnya.
Ia menolak jika gerakan ini dikaitkan dengan GNPF Ulama meski struktur pengurus masih diisi oleh nama-nama tergabung dalam Alumni 212.
“Kami organisasi sendiri, tapi kami berkoordinasi dengan GNPF,” katanya, yang juga menjabat Sekjen GNPF Ulama.
Yusuf Muhammad Martak, Ketua Umum GNPF Ulama, tak menampik jika GISS adalah bagian GNPF Ulama, tetapi ia menegaskan bahwa tujuan GISS adalah "berdakwah lewat jemaah salat subuh," sebagaimana nama gerakan itu.
Meski menolak dianggap sebagai gerakan politik, akan tetapi GISS pernah dideklarasikan oleh tokoh-tokoh nasional yang juga sebagai pengurus partai. Deklarasi gerakan ini dihadiri oleh Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra serta Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno.
Prabowo hadir dalam deklarasi GISS di Masjid Kristal Khadija di Yogyakarta dan Masjid Al-Hijri II, Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Jawa Barat. Sementara Sandiaga menghadiri deklarasi GISS di Masjid Al Ittihad Tebet, Jakarta Selatan, dan Masjid Al-Makmuriyah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Menurut Al Khaththath, kehadiran para politikus itu dalam deklarasi GISS tak ada kaitan dengan politik. Ia mengklaim tak ada undangan resmi kepada tokoh-tokoh politik tersebut.
Dominasi FPI dalam Struktur GNPF Ulama
Sejak awal GNPF MUI terbentuk hingga metamorfosisnya sekarang, selalu ada para pengurus teras FPI. Rizieq Shihab menjabat sebagai Ketua Pembina GNPF MUI. Sementara Misbahul Anam, Ketua Majelis Syura FPI dan pimpinan pesantren Al Umm—tempat pembentukan FPI—kini menjabat Ketua Tim 11 Ulama Alumni 212, dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua I GNPF MUI.
Munarman, yang pernah menjadi panglima Laskar Pembela Islam, menjabat panglima lapangan GNPF MUI, dan kini menjadi anggota Tim Advokasi GNPF Ulama. Tim ini pula yang menjadi salah satu pelapor dugaan penodaan agama terhadap Sukmawati Soekarnoputri. Sementara Novel Bamukmin, mantan jubir FPI, kini memilih keluar dari FPI dan tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), sebuah kantor penasihat hukum yang menjadi saksi pelaporan dugaan penodaan agama terhadap Ahok.
Dominasi FPI, dengan modal besar anggotanya, dalam gerakan itu bermula dari aksi penolakan penggusuran pemerintahan Ahok di Masjid Luar Batang.
Ketika itu beberapa tokoh nasional termasuk ulama yang kini bergabung dalam GNPF Ulama pernah membentuk "Rapat Akbar Masyarakat Jakarta Untuk Menyikapi Penggusuran dan Reklamasi", yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tokoh-tokoh yang hadir di antaranya ialah Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, Eggi Sudjana, dan Ratna Sarumpaet. Keempat nama itu kelak berurusan dengan kepolisian atas dugaan makar dalam "Aksi Bela Islam."
Meski struktur pengurus GNPF MUI diisi juga sejumlah tokoh lain, tetapi pengurus FPI menjadi bagian penting dari kepengurusan gerakan sesudahnya, demikian klaim Slamet Maarif, jubir FPI.
Maarif menyebut FPI tak bisa dipisahkan dari GNPF Ulama, nama sekarang dari metamorfosis GNPF MUI. "Artinya," klaimnya, "berbicara GNPF Ulama tak lepas juga berbicara FPI. GNPF Ulama bagian dari FPI."
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam