Menuju konten utama

Aksi 55 dan Upaya Menggoyang Putusan Hakim

Aksi 55 yang dilakukan GNPF-MUI dalam rangka menuntut dua hal: Pertama, mereka ingin agar Mahkamah Agung mengawasi majelis hakim dalam sidang kasus Ahok. Kedua mendesak hakim agar menghukum berdasarkan pasal penodaan agama, bukan dengan pasal penodaan golongan.

Aksi 55 dan Upaya Menggoyang Putusan Hakim
Pengunjukrasa dari berbagai aliansi melakukan unjuk rasa saat sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di depan Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) akan menggelar demonstrasi atau aksi 55, pada Jumat (5/5/2017). Ketua GNPF-MUI, Bactiar Nasir mengatakan aksi mereka bertujuan untuk menuntut keadilan agar majelis hakim memberikan vonis yang berat kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus dugaan penodaan agama.

Bahtiar Nasir mengklaim aksi 55 bukan dalam rangka mengintervensi proses hukum di pengadilan, melainkan menuntut keadilan agar majelis hakim yang menangani perkara Ahok menggunakan yurisprudensi dari perkara-perkara penistaan agama sebelumnya.

“Kami tegaskan saat ini kami tidak pada posisi ingin menekan hukum. Kami hanya ingin menuntut keadilan yang merupakan hak kami sebab terlalu terang di depan mata ketidakadilan ini seakan-akan tidak ada yurisprudensi sebelumnya,” kata Bahtiar, di Tebet, Jakarta Selatan, pada Selasa (2/5/2017).

Menurut Bahtiar, ketidakadilan sudah terlihat saat persidangan tidak menuntut Ahok dengan Pasal 156 huruf tentang penodaan agama, melainkan hanya menggunakan Pasal 156 tentang penodaan kepada golongan. Ia mengaku sudah mengetahui skenario tersebut sejak awal. Karena itu, ia menilai hal tersebut telah mencederai proses peradilan.

“Ini bukan saja mempermainkan hukum. Hukum untuk hukum itu sendiri, bukan hukum untuk sebuah keadilan, tetapi ini juga sudah mengusik rasa keadilan umat Islam Indonesia sebagai stakeholder terbesar bangsa ini, sebagai pemberi pengaruh besar bangsa ini,” kata Bahtiar.

Tak hanya itu, Bahtiar juga menganggap sikap JPU yang menggunakan Pasal 156 itu telah mendeligitimasi Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa yang dikawal oleh GNPF-MUI statusnya lebih rendah daripada sikap keagamaan MUI. Namun, fatwa dalam kasus dugaan penistaan agama tidak dihiraukan dalam persidangan padahal fatwa MUI sering dipakai untuk proses peradilan.

“Kali ini bukan cuma MUI yang dilegitimasikan, sikap keagamaan dan kefatwaannya, tetapi saksi-saksi ahli dari muhammadiyah, dari NU pun diabaikan,” ujarnya.

Atas pertimbangan tersebut, menurut Bahtiar, dirinya bersama para petinggi GNPF-MUI akan kembali berkonsolidasi untuk menggelar aksi pada 5 Mei atau aksi 55. Ia mengatakan, GNPF-MUI akan segera mengirimkan surat kepada kepolisian setelah konsolidasi aksi.

Menanggapi rencana aksi 55, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengaku bahwa pihaknya belum mendapat pemberitahuan aksi tersebut. “Kita belum mendapatkan konfirmasi akan ada aksi 55. Kita tunggu saja nanti,” kata Argo saat dihubungi Tirto, Selasa (2/5/2017).

Argo belum mau berbicara lebih lanjut tentang aksi tersebut karena pihaknya belum mendapatkan detail pemberitahuan aksi. Mantan Kabid Humas Polda Jatim ini pun enggan menanggapi apakah polisi akan mempersilahkan massa untuk beraksi di Mahkamah Agung atau tidak.

“Saya tidak berkomentar itu ya. Tapi tunggu saja kegiatan itu ada atau tidak, pemberitahuan itu ada atau tidak,” kata Argo.

Namun demikian, tim advokasi GNPF-MUI, Kapitra Ampera menegaskan aksi 55 tidak bisa dicegah oleh siapapun, termasuk polisi. “Kami yakin tidak ada penghambatan karena kami lagi menjalankan undang-undang,” kata Kapitra di Tebet, Jakarta, Selasa.

Kapitra menegaskan, aksi mereka diatur dalam undang-undang seperti UUD 1945 dan UU nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan ekspresi. Ia justru menilai aksi mereka sudah mengikuti undang-undang yang berlaku. Mereka memberikan pemberitahuan kepada aparat berwajib sebelum melaksanakan aksi. Mereka pun siap menunggu izin tersebut keluar jika hal tersebut diatur dalam undang-undang.

“Kalau undang-undang bilang harus ada izin kami akan tunggu izinnya. Undang-undang tak pernah mengstruksikan harus ada izin, tapi hanya memberitahukan,” kata Kapitra.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai masyarakat tidak perlu melakukan aksi turun ke jalan pada 5 Mei 2017 atau aksi 55. “Kalau urusan perlu tidak perlu, pemerintah menganggap tidak perlu lagi, kan pengadilan urusannya itu, tapi sulit juga kita batasi seperti itu akibat ada di undang-undang,” kata JK usai membuka acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Balai Sidang Jakarta (JCC), Rabu (3/5/2017) seperti dikutip Antara.

Undang-undang yang dimaksud JK adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sehingga apabila ada masyarakat yang ingin melakukan aksi 55 maka itu hak mereka.

“Ya, bagi pemerintah tentu menganggapnya tidak perlu, cuma orang yang mau turun ke jalan merasa perlu, dan ini bagian daripada kebebasan dalam demokrasi," kata JK.

Meskipun demikian, Wapres menggarisbawahi bahwa penyelenggara, yakni GNPF-MUI, harus menaati peraturan yang berlaku dan mengikuti arahan dari pihak keamanan. “Jadi, silakan saja, tetapi ada aturannya, jamnya terbatas, jalannya terbatas, juga jumlahnya harus juga dibatasi, gaduhnya tidak boleh, dan kalau melanggar keamanan, ditangkap,” kata dia.

Mendesak Penerapan Pasal Penodaan Agama

Aksi 55 yang dikoordinir GNPF-MUI ini akan dilaksanakan usai salat Jumat bersama di Masjid Istiqlal pada Jumat (5/5/2017). Mereka akan melakukan long march ke Mahkamah Agung (MA) untuk menyampaikan aspirasinya.

Kapitra Ampera mengatakan, aksi 55 yang dilakukan GNPF-MUI kali ini dalam rangka mengajukan dua tuntutan kepada Mahkamah Agung. Pertama, mereka ingin agar Mahkamah Agung mengawasi majelis hakim dalam sidang kasus Ahok agar memberikan putusan independen.

“Kedua Meminta hakim menghukum berdasarkan pasal penodaan agama, bukan dengan pasal penodaan golongan,” ujar Kapitra saat dihubungi Tirto, Selasa (2/5/2017).

Kapitra menilai, hakim tidak perlu mengikuti tuntutan jaksa lantaran ada kepentingan. Mereka menuntut hakim menghukum terdakwa dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama dengan Pasal 156a. Pria yang juga menjadi pengacara Bachtiar Nasir ini menduga ada kepentingan dalam tuntutan jaksa, apalagi tidak ada tuntutan percobaan apabila mengacu pada Pasal 14a KUHP.

“Jaksa itu kita duga berkolaborasi dengan terdakwa. Makanya kita mengingatkan lagi supaya jangan terkontaminasi,” kata Kapitra.

Seperti diketahui, JPU telah membacakan tuntutan dalam sidang lanjutan dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4/2017). JPU menilai terdakwa terbukti memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dalam Pasal 156 KUHP.

Ketua Tim JPU, Ali Mukartono mengatakan sepanjang pemeriksaan dalam persidangan telah didapat fakta mengenai kesalahan terdakwa dan tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar atas perbuatan terdakwa.

Sementara hal yang meringankan, menurut Ali, terdakwa mengikuti proses hukum dengan baik, sopan di persidangan, ikut andil dalam membangun Jakarta, dan mengaku telah bersikap lebih humanis. Selain itu, menurut Jaksa, keresahan masyarakat timbul setelah Buni Yani mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu, JPU menuntut majelis hakim menyatakan Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum dan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan sebagaimana diatur Pasal 156 KUHP.

Meskipun demikian, JPU hanya menuntut Ahok dengan hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Tuntutan ini lebih ringan dari ketentuan hukuman maksimal yang terdapat dalam Pasal 156 KUHP dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dengan tuntutan JPU yang menyatakan bahwa Ahok terbukti memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dalam Pasal 156 KUHP, maka JPU tidak tuntutan Ahok dengan Pasal penistaan agama, melainkan penghinaan terhadap golongan.

Hal tersebut berbeda dengan tuntutan JPU terhadap terdakwa kasus penistaan agama, seperti kasus yang dialami 41 orang dari Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) pada tahun 2006, kasus Lia Aminuddin alias Lia Eden tahun 2006, kasus Rusgiani pada tahun 2012, dan kasus yang menjerat Ahmad Musadeq alias Abdussalam yang divonis pada Maret 2017.

Dalam kasus-kasus tersebut, JPU menuntut terdakwa dengan Pasal 156a KUHP. Misalnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam persidangan pada Selasa 7 Maret 2017 menjatuhkan hukuman lima tahun penjara potong masa tahanan kepada "guru spiritual" organisasi gerakan fajar nusantara (Gafatar), Ahmad Musadeq alias Abdussalam. [Baca ulasan Tirto: Asal-Usul Delik Penistaan Agama]

Dalam wawancaranya dengan Tirto, Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan pasal penodaan agama tidak bisa diberlakukan lagi. Ada beberapa alasan, salah satunya secara materiil, di dalam Pasal 156a tidak dijelaskan penodaan agama itu apa. Padahal di semua pasal lain dijelaskan, ketat unsur-unsurnya.

Misalnya, ia mencontohkan, pencurian dirumuskan sebagai tindakan mengambil barang orang lain tanpa izin. Jika ada seseorang mengambil barangnya sendiri yang ada di rak temannya tanpa izin, maka orang itu tidak bisa dikenai pasal pencurian.

“Satu unsur saja tidak terbukti, misalnya dari keseluruhan lima unsur, orang itu tidak bisa dipidana,” ujarnya.

Karena itu, kata Asfinawati, pasal penodaan agama itu pantas untuk ditiadakan lagi. “Enggak ada [unsur-unsur] yang menyatakan [tindakan apa] seseorang melakukan penodaan agama. Sehingga semua orang bisa kena itu,” kata dia.

Baca juga artikel terkait AKSI 55 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz