Menuju konten utama
Periksa Data

Maraknya Sangkaan Penistaan Agama di Tahun Politik

Kasus penodaan agama kerap meningkat ketika ada agenda politik elektoral seperti pemilu dan pilkada.

Maraknya Sangkaan Penistaan Agama di Tahun Politik
Infografik Periksa Data Penodaan Agama

tirto.id - Sudah hampir setahun sejak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) divonis dua tahun penjara karena kasus penodaan terhadap surat al-Maidah ayat 51. Kini, kasus serupa masih banyak dilaporkan ke aparat hukum. Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, pada 2017 terdapat 8 kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia. Akhir-akhir ini, isu ini kembali ramai dan melibatkan nama-nama yang tak asing seperti Sukmawati Soekarnoputri dan Ganjar Pranowo.

Sukmawati dilaporkan ke polisi oleh politikus Partai Hanura Amron Asyhari dan pengacara Denny Adrian Kushidayat terkait puisi "Ibu Indonesia" yang dinilai melecehkan dan menghina umat Islam. Amron juga memastikan tidak akan mencabut laporan itu bahkan jika Sukmawati menyampaikan permohonan maaf.

Sementara itu, Calon Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sempat akan dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) terkait puisi "Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana." Namun, rencana pelaporan tersebut batal dilakukan karena puisi yang dibacakan Ganjar merupakan karya ulama Mustofa Bisri atau Gus Mus.

Berkaca dari kasus tersebut, ada indikasi bahwa sangkaan penodaan agama digunakan demi kepentingan politik. Apalagi ketika laporan terhadap Ganjar batal dilakukan, bahkan berujung pada permintaan maaf dari FUIB kepada Gus Mus. Artinya, ada keberanian untuk mempermasalahkan bahkan mengkriminalkan tatkala yang dimasalahkan merupakan Ganjar, tetapi niat itu surut saat mengetahui puisinya adalah milik seorang kiai besar dan kharismatik.

Jika ditarik ke belakang, sebenarnya kasus penodaan agama di Indonesia sudah ada sejak 1965. Setara Institute mencatat pada 13 Januari 1965, dua sayap PKI, yaitu Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia, menyerang dan menyiksa peserta pelatihan Pelajar Islam Indonesia di Kabupaten Kediri. Dalam serangan ini, terjadi perampasan sejumlah musaf Al-Quran yang dirobek dan diinjak.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Setara Institute, Amnesty International (PDF) serta penelusuran Tirto, dapat dilihat bahwa tren kasus penistaan agama mulai meningkat pada 2003. Pada periode ini, ditemukan 3 kasus yang terjadi, yaitu tafsiran dua kalimat syahadat pada buku karya Mas'ud yang berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati dalam al-Quran konflik internal gereja, serta pelafalan bacaan salat yang dilakukan oleh Yusman Roy dengan menambahkan bahasa Indonesia.

Kemudian, dari 2004 hingga 2008, terdapat 19 kasus penistaan agama dengan jumlah kasus paling banyak terjadi pada 2006, yakni 7 kasus. Pada 2009, tren kasus penodaan agama kembali tinggi, dengan jumlah sama seperti 2006.

Infografik Periksa Data Penodaan Agama

Pada 2010, kasus penistaan agama kembali meningkat. Ada 10 kasus yang tercatat terjadi pada periode tersebut. Salah satunya yang terjadi pada 22 Agustus 2010, saat Gregory Luke, seorang warga negara AS yang tinggal di Lombok Tengah, mendatangi masjid untuk memprotes suara dari pengeras suara.

Tahun selanjutnya, kasus penistaan agama yang terjadi sebanyak 3 kasus. Jumlah ini meningkat hingga mencapai 14 pada 2012, 10 kasus pada 2013 dan 6 kasus pada 2014.

Pada masa pemerintahan Jokowi, kasus penistaan agama paling banyak dilakukan pada 2016. Pada periode ini, sebanyak 14 kasus yang terjadi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pidato Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu yang disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51. Video dari pidato ini viral melalui jejaring Facebook milik Buni Yani.

Melihat trennya, kasus penistaan agama terlihat erat kaitannya dengan tahun politik di Indonesia. Kasus ini mulai meningkat sejak pemilihan presiden secara langsung digelar pertama kali di Indonesia, yaitu pada 2004. Pada masa transisi pemerintahan pun, kasus penistaan agama kembali meningkat. Pada 2016 misalnya, yang merupakan transisi kursi kepala pemerintahan di sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta.

Marzena Romanowska pernah menuliskan fenomena ini dalam tesisnya yang berjudul Religious Offences as a Political Tool. Ia menyatakan bahwa agama kerap dijadikan alat politik yang digunakan oleh suatu kelompok atau negara demi kepentingan tertentu. Selama tidak ada batasan yang jelas mengenai kebebasan berpendapat dan pelanggaran terhadap agama, membawa agama ke ranah politik menjadi mungkin, terutama di negara yang tidak memisahkan antara kebebasan beragama dan dunia politik.

Selain penistaan agama, Romanowska menyebutkan hate speech juga banyak dipakai sebagai alat politik sejak zaman dahulu. Bahkan hingga sekarang, ini merupakan elemen politik yang penting dalam membicarakan perpolitikan regional, maupun internasional. Ia juga menjelaskan penggunaan agama sebagai alat politik dapat dilakukan karena nilai absolut dalam agama. Agama dilihat sebagai kebenaran mutlak dan ada pemeluknya yang meyakini bahwa tidak ada ruang untuk dialog. Hal ini kemudian menjadi alat yang digunakan dalam politik dan membatasi kebebasan berpendapat.

Ilham Manea juga menyatakan kritik yang pedas dalam karyanya yang berjudul "In the Name of Culture and Religion: The Political Function of Blasphemy in Islamic States". Ia menyoroti bagaimana undang-undang penodaan agama sering digunakan di negara Islam otoriter untuk membungkam kritik atas perintah politik, sosial, dan agama yang melanggar hak-hak dasar manusia.

Di Indonesia, payung hukum mengenai penodaan agama diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan “Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.” Keputusan ini ditandatangani Presiden Sukarno pada 27 Januari 1965, tapi baru dilaksanakan pada tahun 1959 (UU No.5/1969) pada masa Presiden Soeharto.

Undang-Undang Penodaan Agama sendiri mencakup dua jenis tindakan, yakni penyimpangan dari enam agama yang diakui secara resmi dan penodaan atas keenam agama tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 4 dari Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965. Dalam catatan Amnesty International dari 2005 hingga 2014, terdapat 102 individu yang diadili dan dihukum menggunakan undang-undang penodaan agama.

Selain pasal 156(a) KHUP, pasal 157 KUHP juga digunakan untuk menuntut para penista agama. Aturan hukum ini digunakan untuk menuntut orang-orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia.

Yusman Roy adalah salah satu yang tidak terbukti melakukan penodaan agama dari pasal 156(a) KUHP, tapi tetap dihukum dua tahun penjara dengan tuduhan menyebarkan berita yang mengakibatkan permusuhan (pasal 157 KUHP).

Menariknya, sejak 2011, penistaan agama tidak hanya melibatkan Pasal 156(a) dan Pasal 157 KUHP, melainkan juga Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Tren ini mulai berkembang semenjak media sosial menjadi sarana termudah untuk menyebarkan informasi. Beberapa orang juga dikenakan sanksi berlapis, seperti yang terjadi pada Sebastian Joe, Munarman, Eggi Sudjana, Otto Rajasa, dan Aking Saputra.

Infografik Periksa Data Penodaan Agama

Melihat maraknya sangkaan penodaan agama ketika memasuki tahun politik dan transisi masa kepemimpinan, tidak menutup kemungkinan apabila isu ini kembali ramai pada 2018 dan 2019. Apalagi dengan adanya ragam konteks yang dapat dikaitkan terhadap isu penistaan agama, mulai dari konteks personal, politik, hingga politisasi agama.

Selain itu, aturan hukum yang mengatur penodaan agama menjadikan isu ini sebagai senjata ampuh yang dapat membungkam dan mengerangkeng lawan politik. Seseorang yang didakwa melakukan penodaan agama akan sulit mangkir dari tindak hukum dikarenakan pendakwaan dapat dilakukan dengan pasal berlapis, mulai dari Pasal 156(a) KUHP, Pasal 157 KUHP, hingga UU ITE.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Hukum
Reporter: Irma Garnesia
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Maulida Sri Handayani