Menuju konten utama

Ada Duplikasi UU ITE dalam Pasal Penistaan Agama di RUU KUHP

Pasal penistaan agama di RUU KUHP berpeluang multitafsir, sehingga berpotensi digunakan oleh siapa saja yang merasa sakit hati karena sebuah pendapat.

Ada Duplikasi UU ITE dalam Pasal Penistaan Agama di RUU KUHP
Ribuan orang memadati kawasan Bundaran Air Mancur Bank Indonesia sebelum menuju ke depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (4/11). Mereka berunjuk rasa menuntut pemerintah untuk mengusut kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/foc/16.

tirto.id - DPR sedang membahas perluasan pasal penistaan agama dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Isi perluasan pasal itu dinilai tumpang tindih dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sudah ada saat ini.

Tumpang tindih ini tampak pada pasal 349 ayat (1) RUU KUHP dan pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Pasal 349 ayat (1) RUU KUHP berbunyi: "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348, dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun (..)".

Pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Aktivis kebebasan berpendapat sekaligus Direktur Remotivi Muhammad Heychael menilai perluasan pasal yang digunakan polisi dan jaksa saat menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu tidak perlu dibahas.

“Saya kira inilah masalah hukum kita. Banyak Produk hukum tumpang tindih," kata Heychael kepada Tirto, Kamis (1/2/2018).

Heychael menilai pasal penistaan agama di RUU KUHP berpeluang multitafsir lantaran tidak ada definisi yang jelas mengenai penistaan agama, sehingga berpotensi digunakan oleh siapa saja yang merasa sakit hati karena sebuah pendapat. “Berpotensi membungkam kebebasan berekspresi,” kata Heychael.

Lagi pula, menurut Heychael, tidak masuk akal mengatur penistaan agama dalam konteks hukum positif karena hukum positif mempunyai azas pembuktian yang jelas dan terukur. “Yang sering terjadi adalah pasal ini dipakai untuk melegitimasi sakit hati komunitas agama yang merasa ada orang yang mengkritik atau menghina sebuah agama,” kata Heychael.

Terpisah, pengamat dunia siber Nukman Luthfie menyatakan pasal ini dapat menciptakan kekhawatiran masyarakat untuk menggunakan sosial media.

“Pasal ini berlebihan karena bisa membuat masyarakat khawatir mengabarkan sebuah berita ke media sosial,” kata Nukman kepada Tirto.

Berfungsi Menjaga Stabilitas Kehidupan Sosial

Penilaian Heychael dan Nukman ditanggapi berbeda oleh anggota Panitia Kerja RUU KUHP dari Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi. Ia menyatakan perluasan pasal penistaan agama pada RUU KUHP dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dan beragama masyarakat di Indonesia.

“Masyarakat Indonesia ini kan sensitif soal agama, makanya dibikin pasal itu biar enggak sembarangan menistakan agama orang lain," kata Taufiqulhadi kepada Tirto.

Soal pasal 349 dalam RUU KUHP, Taufiqulhadi mengatakan, pasal itu dibuat agar seseorang tidak sembarangan menuduh orang lain menistakan agama di sosial media.

"Kasus persekusi itu kan banyak terjadi karena ada yang nyebar di medsos si A menistakan agama," kata Taufiqulhadi.

Ia mencontohkan kasus persekusi pada dokter Fiera Lovita yang menurutnya dipicu unggahan di sosial media dan dibagikan oleh individu tertentu secara meluas dengan tuduhan menista agama, padahal penistaan agama merupakan sebuah hukum formal yang baru bisa dibuktikan perbuatannya melalui proses peradilan.

“Jadi yang menyebar pertama dan yang menistakan agama bisa sama-sama dihukum,” kata Taufiqulhadi.

Meski begitu, Taufiqulhadi menyebut ancaman pidana tidak bisa dikenakan kepada seseorang yang mengetahui dugaan pidana penistaan agama yang dilakukan orang lain dan mendokumentasikannya sebagai alat bukti laporan ke polisi.

“Makanya jangan disebar, tapi langsung laporkan ke polisi kalau ada dugaan penistaan agama,” kata Taufiqulhadi.

Ada pun perihal definisi penistaan agama, menurut Taufiqulhadi, saat ini Panja RUU KUHP sedang membahasnya. "Draf yang kamu baca itu belum final, kan. Kami masih proses," kata Taufiqulhadi.

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir sependapat dengan penjelasan Taufiqulhadi mengenai pasal 349 ayat 1 RUU KUHP. Menurutnya, pasal ini penting untuk menghindari semakin maraknya persebaran penistaan agama.

Mudzakkir menjelaskan penyebar pertama konten berisi tindak pidana penistaan agama bisa dihukum pidana karena bertanggung jawab memperluas persebaran konten tersebut kepada publik.

“Kalau si penyebar adalah sekaligus pembuat konten, maka pasal ini bisa berlaku sebagai pemberat pasal sebelumnya [pasal 348],” kata Mudzakkir kepada Tirto.

Mudzakkir memberi contoh kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Menurutnya, Ahok adalah penanggung jawab atas ucapannya yang diduga terkena pidana penistaan agama. Namun, penyebar video pidato di Pulau Seribu-lah yang bertanggung jawab atas penyebaran konten tersebut.

Meskipun begitu, dalam perluasan pasal ini, Mudzakkir memandang kurang dijelaskan secara rinci mengenai maksud dari penistaan agama. Sementara, menurutnya, itu bisa membuat ketidakpastian hukum.

“Setahu saya rencananya itu juga akan diperjelas maksud penistaan agama. Apakah itu kepada Tuhan, nabi, atau kitab suci agama tertentu atau apa?” kata Mudzakkir menegaskan.

Baca juga artikel terkait RUU KUHP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani