tirto.id - Dalam acara ulang tahun keempat Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ketua Umum Grace Natalie berpidato bahwa partainya akan mencegah kemunculan ketidakadilan, diskriminasi, dan intoleransi di Indonesia. Karenanya PSI tak akan mendukung adanya perda syariah atau perda injil. Perda semacam itu menurutnya bisa menimbulkan diskriminasi pada kelompok minoritas.
"PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh lagi ada penutupan rumah ibadah secara paksa," kata mantan presenter ini dalam dalam pidato sambutannya, Minggu kemarin (11/11/).
Pidato itu lantas viral dan menuai beragam tanggapan. Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Yunahar Ilyas menganggap pernyataan Grace tidaklah tepat. Yunahar menilai selama ini ada banyak aturan hingga lembaga yang bernafas syariah yang diterapkan dan bermanfaat. Yunahar menyebut Kementerian Agama, KAU, UU Perkawinan, dan UU Perbankan sebagai beberapa contohnya.
Yunahar sependapat dengan Grace bahwa perda yang diskriminatif harus ditolak. Namun, menerapkan perda berbasis agama menurutnya bukan upaya diskriminatif seperti itu.
“Kalau ada isi perda yang tak sesuai, ya tinggal disebut saja bagian mana. Jangan dipukul rata tidak setuju dengan perda syariah. Kalau ada perda yang bertentangan dengan Undang-undang, itu, kan, tugas Kementerian Dalam Negeri,” terangnya kepadaTirto.
Bahkan ada yang melaporkan Grace ke polisi karena apa yang ia katakan dinilai menistakan agama. Jumat lalu (16/11) Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hukum Eggi Sudjana melaporkan Grace ke Bareskrim Polri. Pelaporan itu disayangkan oleh Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, yang menyebut pelaporan itu menunjukkan ketidaksiapan terhadap perbedaan pendapat.
"Sepatutnya, dengan adanya lontaran penolakan 'perda agama' ini harus dijadikan momentum mencerdaskan publik dan menciptakan diskursus publik yang sehat. Bukan malah dikriminalisasi melalui proses hukum," katanya kepada Tirto.
Menurut Darraz, seharusnya dalam persoalan penolakan ini ditanggapi dengan diskusi dan adu argumen terhadap pandangan yang menolak perda-perda keagamaan, bukan dengan pelaporan ke polisi. Jika menengok sejarah pendapat Darraz ada benarnya. Sejak dulu perdebatan-perdebatan soal syariah adalah hal jamak, biasa saja, di antara aktivis pergerakan nasional.
Simak misalnya debat antara Sukarno cs dan Mohammad Natsir cs pada kisaran 1930-an. Mulanya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Sukarno, yang memanfaatkan sentimen agama dalam agitasinya. Ejekan terhadap syariah dan kehalalan poligami sering dilontarkan kader PNI kala itu.
Nugroho Dewanto dkk dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011, hlm. 30) menyebut Dr. Sutomo pernah berujar, “Pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Mekkah.”
Ejekan semacam itu membuat Natsir galau awalnya. Ia adalah anak zaman itu yang gandrung nasionalisme, tetapi ia juga tak rela agamanya direndahkan. Ia kecewa karena nasionalisme justru digunakan orang-orang PNI untuk provokasi seperti itu.
Karena itulah ia dan kawan-kawannya lalu membikin majalah Pembela Islam untuk menangkis ejekan-ejekan itu. Ia secara khusus banyak menulis tentang soal-soal politik, kebangsaan, dan tentu saja keislaman. Tak hanya menyerang kelompok nasionalis-sekuler, kritik Natsir juga membidik mereka yang disebutnya “kaum ahli bid’ah”—yaitu yang suka merayakan maulud, pesta khatam Alquran, atau pesta perkawinan yang berlebihan.
“Natsir ingin memberikan garis pemisah tegas antara perjuangan kemerdekaan berdasar kebangsaan dan yang berdasar cita-cita Islam. Hal itu makin dikuatkan oleh artikel berjudul ‘Kebangsaan Muslimin’. Tulisan ini—yang merupakan reaksi atas penghinaan kaum nasionalis terhadap Islam—sangat menggemparkan, hingga Pembela Islam disebut sebagai ‘Pembelah Islam’,” tulis Nugroho Dewanto dkk (hlm. 33).
Debat formal atas penerapan syariah sebagai landasan hukum lalu mengemuka dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan-bulan menjelang proklamasi. Kendati kalah jumlah, perwakilan kelompok Islam dalam BPUPKI cukup berhasil mengangkat syariah Islam sebagai bahasan dalam sidang. Tentu saja mereka harus beradu gagasan dengan kelompok nasionalis-sekuler.
Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013, hlm. 57) menjelaskan bahwa bagi tokoh-tokoh muslim, nasionalisme dan agama tak bisa dipisah. Penerapan syariah dalam negara yang nanti terbentuk adalah tujuan perjuangan.
Sukarno agaknya menyadari hal ini dan cukup bisa mengakomodasi cita-cita mereka ketika ia berpidato tentang apa yang nanti disebut sebagai Pancasila. Satu dari landasan negara menurut Sukarno adalah “kepercayaan kepada Tuhan yang Esa”. Sukarno tak sepakat pada negara yang sepenuhnya sekuler. Begitu pula Muhammad Yamin yang mengatakan bahwa negara Indonesia merdeka hendaknya juga bersifat religius.
Akan tetapi, tulis Remy Madinier (hlm. 58), “Islam disebut hanya dalam kedudukan yang sama dengan agama-agama lain di Nusantara, tanpa pengakuan atas kedudukan istimewanya, yang oleh golongan Islam dianggap sudah sepatutnya dituntut mengingat besarnya jumlah mereka.”
Sukarno lebih suka menjanjikan bahwa penerapan syariah Islam bisa diperjuangkan melalui musyawarah-mufakat jika negara Indonesia meredeka telah tercapai. Sejak itulah, menurut Remy Madinier, cita-cita mendirikan negara berbasis syariah Islam berubah menjadi cita-cita mengislamkan negara. Guna memperjuangkan cita-cita itulah kelompok Islam kemudian mendirikan Masyumi pada November 1945.
Syariah Didebat Minoritas
Selang beberapa jam setelah proklamasi, Mohammad Hatta menerima kabar adanya penolakan kelompok Kristen dan Katolik atas kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam pembukaan rancangan UUD.
Dalam memoarnya Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011, hlm. 95) Mohammad Hatta menyebut kalimat itu digugat karena terkesan diskriminatif. Lagi pula, UUD yang jadi pokok hukum semestinya mengikat bagi semua golongan, bukan hanya mayoritas Islam. Konsekuensinya cukup pelik juga: golongan Protestan dan Katolik lebih baik berdiri di luar Republik Indonesia jika kalimat itu tetap tercantum dalam pembukaan UUD.
Hatta buru-buru mengklarifikasi bahwa itu bukanlah diskriminasi seperti yang mereka anggap. Mr. Maramis, jelas Hatta, yang dianggap wakil agama minoritas dalam panitia penyusun bakal UUD pun tak punya keberatan apa-apa soal kalimat itu. Hatta juga menjanjikan akan membahas masalah itu dalam sidang PPKI keesokan harinya.
Esoknya, 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengajak wakil-wakil umat Islam berunding. Di antara yang diajak Hatta adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo, dan Teuku Muhammad Hasan.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (SNI VI-2008, hlm. 158) disebutkan bahwa rembug itu tak berlangsung lama tapi cukup alot. Ketika ketiga orang lainnya cukup memahami penjelasan dan kekhawatiran Hatta, Ki Bagus Hadikusumo benar-benar ingin mempertahankan kalimat itu.
Hatta, sebagaimana diceritakan dalam memoarnya, merasa tak akan ada masalah jika kalimat itu diganti dengan kalimat yang lebih umum sifatnya. Hatta mengatakan—seperti pernah dijanjikan Sukarno pula—peraturan yang berdasar pada syariat Islam nantinya bisa diajukan dan diperjuangkan bilamana DPR sudah terbentuk.
Teuku Hasan akhirnya yang turun tangan melunakkan hati Ki Bagus. Kepada KI Bagus ia beralasan bahwa yang terpenting saat itu adalah persatuan lebih dulu. Ki Bagus pun melunak. Akhirnya disepakati bahwa kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam pembukaan UUD diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Syariah dalam Konstituante
Gesekan antara pejuang syariah dan nasionalis-sekuler kembali mengemuka dalam Konstituante pada kurun 1956-1959. Dalam lembaga perumus UUD itu, anggota Konstituante terbelah dalam tiga kelompok, yaitu pengusung dasar negara Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi. Debat-debatnya yang paling sengit terjadi dalam masa sidang 11 November hingga 6 Desember 1957.
Adnan Buyung Nasution dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (1995, hlm. 53) menjabarkan bahwa argumen dasar pejuang syariah Islam berpijak pada kebenaran mutlak dan kesempurnaan Alquran sebagai perintah Tuhan. Syariah mengandung tak hanya aturan ibadah individu, tetapi juga cara mengatur negara dan bermasyarakat (muamalah).
Sementara pendukung Pancasila berargumen bahwa Pancasila dapat menaungi segala ideologi dan paling sesuai dengan kepribadian Indonesia. Pancasila juga diklaim bisa menjamin Indonesia tetap plural dan bersatu.
Argumen-argumen seperti itu diulang berkali-kali dalam berbagai variasi oleh masing-masing kubu. Dan sudah pasti, untuk memenangkan perdebatan kedua kubu saling ejek dan meremehkan. Kepentingan politik dan ekonomi juga jelas mewarnai perdebatan ini, karena siapa pun yang menang dialah pengendali negara.
Pembela Pancasila—seperti PNI dan PKI—sejak awal sudah menyebut bahwa penolakan atas Pancasila adalah pengkhianat. Para pendukung Islam menjawabnya dengan menyebut Pancasila sebagai doktrin sekuler yang memberi peluang hidup pada “gerakan-gerakan ateis” seperti PKI. Bahkan mereka tak ragu menyebut muslim yang tak membela Islam sebagai dasar negara adalah pendosa.
Alih-alih mempersuasi, argumen-argumen semacam itu tentu saja justru nampak sebagai usaha meyakinkan golongan sendiri dan memupuk antipati.
“Perdebatan tersebut bersifat ideologis, mutlak-mutlakan, dan antagonistik sehingga partai-partai yang terlibat di dalamnya bukannya saling mendekati melainkan sebaliknya, semakin menjauh,” tulis Adnan Buyung nasution dalam halaman 41.
Setelah melalui perdebatan yang berlarut-larut dan antagonistis seperti itu, Konstituante dianggap gagal merumuskan dasar negara. Konstituante pun diintervensi oleh Konsepsi Presiden yang menginginkan kembali ke UUD 1945. Karena kebuntuan yang tak terpecahkan, eksistensi Konstiuante kemudian ditamatkan dengan terbitnya Dekrit Presiden pada Juli 1959.
Editor: Nuran Wibisono