Menuju konten utama

Ada Risiko Apnea, Jangan Sekali-Sekali Sepelekan Mendengkur

Dengkuran kronis juga bisa merupakan alarm dari tubuh seseorang bahwa memang ada sesuatu yang salah.

Ada Risiko Apnea, Jangan Sekali-Sekali Sepelekan Mendengkur
Ilustrasi Sleep Apnea. foto/istockphoto

tirto.id - Mendengkur atau mengorok, bagi sebagian orang, mungkin sudah dianggap lumrah. Namanya juga orang tidur, ya, wajar jika kemudian muncul suara dengkuran.

Biasanya, seseorang mendengkur ketika sedang sangat kelelahan. Semua otot di tubuh orang tersebut akan relaks, termasuk otot lidah. Akibatnya, posisi lidah akan turun dan menutupi jalur keluar-masuk udara sehingga terjadilah dengkuran. Untuk menghilangkan dengkuran, biasanya seseorang hanya perlu mengubah posisi tidurnya, dari telentang menjadi miring.

Akan tetapi, tidak semua dengkuran bisa dianggap lumrah dan bisa dihilangkan begitu saja. Ada pula orang-orang yang selalu mendengkur bagaimana pun kondisinya dan mereka inilah yang mesti benar-benar waspada. Sebab, mendengkur secara kronis tak cuma berbahaya bagi kesehatan, tapi juga bisa merusak kehidupan seseorang.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan Republika pada Januari 2023, seorang petinggi RS Premiere Bintaro berkata bahwa, "Sekitar 70 persen kasus perceraian salah satu penyebabnya karena mendengkur."

Kemudian, sebuah reportase mengenai "perceraian tidur" alias tidur pisah ranjang yang diterbitkan BBC Indonesia awal tahun ini turut menyebutkan bahwa pasangan yang mengorok menjadi salah satu penyebab maraknya fenomena ini terjadi.

"Saya tidak bisa fokus dengan pekerjaan saya. Saya merasa lelah sepanjang hari. Mungkin Anda bisa melalui itu selama beberapa malam, tetapi dalam jangka panjang Anda tidak dapat bertahan hidup," ujar narasumber bernama samaran Cecilia yang diwawancarai oleh BBC kala itu. Karena pasangannya mengorok, Cecilia pun memutuskan untuk pisah ranjang.

Faktanya, suara dengkuran memang bisa mengganggu aktivitas tidur orang lain. Diperkirakan, tingkat kebisingan suara dengkuran bisa mencapai 60 s/d 80 dB. Tingkat kebisingan itu setara dengan kebisingan yang ditimbulkan dari aktivitas mengebor tembok yang tentunya bakal mengganggu orang di sekitar.

Selain itu, dengkuran kronis juga bisa merupakan alarm dari tubuh seseorang bahwa memang ada sesuatu yang salah. Kepada CNN, seorang somnolog (ahli gangguan tidur) bernama Rebecca Robbins berkata, "Mendengkur bisa jadi hal normal dan tidak perlu dikhawatirkan. Namun, ketika suaranya begitu keras dan disertai dengan napas yang berhenti, di situlah kita harus mulai waspada."

Apnea Obstruktif

Apabila situasinya seperti itu, hampir bisa dipastikan bahwa seseorang mengidap apa yang disebut apnea tidur obstruktif. Diperkirakan, di seluruh dunia ini, ada 936 juta pengidap apnea tidur obstruktif dan masih banyak lagi yang belum terdiagnosis secara resmi.

Apnea secara sederhana bisa diartikan sebagai kondisi saat seseorang berhenti bernapas ketika tidur. Kondisi ini bisa dikategorikan menjadi tiga: apnea tidur pusat, apnea tidur obstruktif, dan apnea tidur kompleks.

Apnea tidur pusat terjadi ketika otak gagal mengirimkan perintah kepada otot yang mengontrol pernapasan. Ini berbeda dengan apnea tidur obstruktif, yaitu saat otot tenggorokan mengalami relaksasi dan memblokir jalur udara. Sementara itu, apnea kompleks adalah apnea yang terjadi ketika seseorang tengah menjalani pengobatan untuk apnea obstruktif.

Dari tiga jenis apnea tersebut, apnea obstruktif merupakan yang paling umum ditemui sekaligus disepelekan. Padahal, apnea obstruktif sebenarnya mudah dikenali ciri-cirinya. Menurut para ahli, ada delapan ciri-ciri yang, apabila terjadi pada seseorang, maka seseorang itu bisa dikategorikan sebagai penderita apnea obstruktif.

Pertama, suara dengkuran yang teramat keras. Apabila seseorang mendengkur dengan sangat keras dan suara itu terdengar sampai luar ruangan, ini merupakan pertanda bahwa ia memang mengidap apnea obstruktif.

Kedua, apabila seseorang mudah merasa lelah atau mengantuk saat beraktivitas di pagi hingga sore hari, bisa jadi kualitas tidurnya buruk akibat apnea obstruktif. Berhenti bernapas akan membuat seseorang sering terbangun pada malam hari. Akibatnya, ritme tidur terganggu dan kualitas istirahat pun menjadi tidak optimal sehingga rasa kantuk mudah sekali menyerang.

Ketiga, apabila seseorang berhenti bernapas, bahkan sampai terbatuk-batuk atau kesulitan menghirup udara, ini sudah jelas merupakan salah satu ciri apnea obstruktif. Biasanya, hal ini tidak akan langsung dirasakan si penderita, melainkan disaksikan oleh orang-orang yang tidur bersama si penderita.

Keempat, ketika seseorang memiliki tekanan darah tinggi, bisa jadi musabab utamanya adalah apnea obstruktif. Pasalnya, setiap kali seseorang berhenti bernapas selama beberapa detik, sistem saraf simpatetik tubuh akan beraksi dengan meningkatkan tekanan darah. Bayangkan apabila hal ini terjadi selama bertahun-tahun lamanya.

Yang kelima, apabila seseorang mengalami obesitas dan mendengkur keras, hampir bisa dipastikan pula bahwa dia mengalami apnea obstruktif. Biasanya, beban ekstra di mulut dan leher seorang pengidap obesitas bakal semakin memberi tekanan pada tenggorokan sehingga ia akan semakin sulit bernapas dalam kondisi relaks. Dengan semakin banyaknya pengidap obesitas di seluruh dunia, apnea obstruktif pun makin jamak ditemukan.

Keenam, apabila seseorang memiliki leher yang besar, potensinya untuk terkena apnea obstruktif akan semakin besar. Seseorang tidak perlu mengidap obesitas untuk memiliki diameter leher yang besar. Bisa jadi, ia memang dilahirkan demikian.

Meski begitu, risiko mereka yang secara genetis memiliki leher besar (lebih dari 43 cm untuk laki-laki dan lebih dari 40,6 cm untuk perempuan) untuk terkena apnea obstruktif tidaklah berkurang.

Kemudian, dua ciri terakhir adalah soal usia dan jenis kelamin. Orang berusia di atas 50 tahun, bisa lebih rentan terserang apnea obstruktif karena semakin tua seseorang, semakin lemah pula ototnya. Mereka yang berjenis kelamin laki-laki pun lebih rentan terkena penyakit ini karena lidah laki-laki umumnya cenderung lebih tebal dan mereka juga memiliki lebih banyak lemak di tubuh bagian atas, khususnya pada bagian leher.

Apa yang Harus Dilakukan?

Berbagai penelitian sudah menunjukkan bahwa apnea obstruktif sangatlah berbahaya. Ada berbagai penyakit yang bisa muncul dari kondisi ini, mulai dari tekanan darah tinggi, stroke, serangan jantung, sampai diabetes melitus. Bahkan, ketika seorang pengidap apnea obstruktif gagal bernapas kembali setelah pernapasannya terhenti, ia bisa langsung meninggal dunia.

Untungnya, apnea obstruktif bukanlah kondisi yang tidak bisa ditangani. Pada dasarnya, ada lima hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kondisi ini.

Pertama, untuk kasus apnea ringan, mengubah posisi tidur saja sudah bisa jadi solusi. Tidur telentang membuat seseorang akan kesulitan bernapas ketika semua otot terelaksasi, tapi solusinya pun sangatlah mudah, yaitu dengan mengubah posisi tidur menjadi menyamping.

Kemudian, menurunkan berat badan juga bisa jadi solusi. Umumnya, apnea obstruktif terjadi karena adanya beban tambahan pada bagian-bagian yang terlibat pada proses pernapasan saat tidur, yaitu mulut, lidah, dan leher. Menurunkan berat badan akan membuat massa jaringan di area-area tersebut berkurang sehingga jalur pernapasan bakal lebih terbuka.

Selain itu, kebiasaan-kebiasaan seperti merokok dan minum minuman beralkohol juga mesti dihentikan. Merokok dapat menyebabkan inflamasi (peradangan) pada tenggorokan dan menutup jalur pernapasan. Sementara itu, sifat alkohol sebagai relaksan juga akan memperburuk kondisi ini.

Keempat, penderita apnea obstruktif bisa menggunakan bantuan mesin CPAP (continuous positive airway pressure) untuk membantu agar aliran udara tidak berhenti ketika tidur.

Terakhir, apabila apnea ternyata disebabkan oleh masalah fisiologis seperti adanya polip pada hidung, maka operasi bisa menjadi opsi. Namun, tentunya, sebelum menjalani prosedur seperti ini, Anda perlu berkonsultasi dengan dokter yang ahli di bidang tersebut.

Baca juga artikel terkait MENDENGKUR SAAT TIDUR atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi