tirto.id - Kira-kira, masyarakat di Abad Pertengahan (500-1500 Masehi) percaya Bumi itu bulat atau datar? Well, kalau pertanyaan tersebut kita ajukan kepada orang-orang di abad ke-19, barangkali mereka bakal menjawab bahwa orang Abad Pertengahan percaya Bumi datar.
Klaim itu begitu populer pada abad ke-19 berkat sebuah buku karangan Washington Irving yang terbit pada 1828. Buku itu berjudul A History of the Life and Voyages of Christopher Columbus.
Irving menggambarkan Columbus sebagai sosok visioner yang berani menantang kepercayaan umum pada masa itu. Ia menuliskan kisah sang penjelajah menghadapi Dewan Salamanca. Saat itu, para cendekiawan menentang gagasan Columbus untuk mengarungi dunia karena mereka percaya bahwa Bumi itu datar.
Akan tetapi, ada satu persoalan besar dari buku Irving tersebut. Klaim bahwa orang-orang di era Columbus, alias orang yang hidup pada Abad Pertengahan, percaya Bumi datar adalah hasil dari imajinasi sang penulis, bukan berdasarkan catatan sejarah atau bukti sahih mana pun. Sejak mula, buku itu memang memuat kisah biografi fiksi tentang sang penjelajah, atau bisa kita sebut novel.
Sayangnya, informasi soal imajinasi Irving tersebut tidak ikut tersebar luas. Walhasil, para pembacanya pun mengira klaim terkait Bumi datar merupakan fakta sejarah. Anggapan bahwa orang-orang terpelajar di Abad Pertengahan percaya Bumi datar pun makin kuat. Ini, sedikit banyak, ada sangkut pautnya dengan anggapan bahwa Abad Pertengahan adalah Abad Kegelapan sehingga orang-orang yang hidup di masa itu pun dianggap "bodoh dan terbelakang".
Faktanya sama sekali tidak demikian. Abad Pertengahan (Middle Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages) hanyalah sebutan yang dibuat oleh orang Eropa untuk mendefinisikan periode 500-1500 M.
Pada Abad Pertengahan, ada penurunan signifikan dalam produksi karya seni dan sains, termasuk catatan sejarah. Inilah yang lantas membuat masa setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat itu disebut sebagai "Abad Kegelapan". Meski begitu, bukan berarti pengetahuan dari abad-abad sebelumnya lenyap begitu saja. Bukan berarti pula tidak ada karya seni dan sains sama sekali di era tersebut.
Apa yang Dipercayai Orang pada Abad Pertengahan?
Orang-orang terpelajar di Abad Pertengahan sudah mengetahui bahwa Bumi berbentuk bulat. Pemahaman ini berakar dari ajaran para filsuf Yunani kuno, seperti Pythagoras dan Aristoteles, yang memberikan bukti empiris tentang bentuk Bumi bulat.
Aristoteles, misalnya, mengamati bahwa, selama gerhana bulan, bayangan Bumi yang jatuh di bulan selalu berbentuk melengkung, yang menunjukkan bentuk bulat. Gagasan ini diteruskan oleh berbagai cendekiawan pada abad-abad berikutnya.
Memasuki Abad Pertengahan, pemahaman ini makin tersebar melalui karya-karya para sarjana dan pengajaran lembaga keagamaan. Venerable Bede, seorang biarawan Inggris abad ke-8, menulis tentang kebulatan Bumi dalam karyanya De Rerum Natura.
Santo Thomas Aquinas, teolog abad ke-13, juga menerima dan mengajarkan konsep Bumi bulat. Konsep ini bahkan masuk dalam kurikulum universitas di abad pertengahan, untuk memastikan bahwa masyarakat terpelajar memahami bentuk Bumi yang sebenarnya.
Keyakinan agama, terutama dalam tradisi Kristen dan Islam, juga turut membentuk pemahaman ini. Banyak sarjana Kristen menafsirkan ayat-ayat Alkitab secara konsisten dengan konsep Bumi bulat.
Misalnya, Yesaya 40:22 menyebutkan bahwa Tuhan "duduk di atas bulatan Bumi," yang oleh sebagian sarjana diartikan sebagai bukti bahwa Bumi berbentuk bulat, bukan datar. Selain itu, Ayub 26:7 menyatakan bahwa Tuhan "membentangkan utara di atas kekosongan dan menggantungkan Bumi pada kehampaan," yang oleh beberapa pemikir abad pertengahan dikaitkan dengan gagasan tentang bola dunia yang mengambang di ruang angkasa.
Di dunia Islam, para ilmuwan seperti Al-Farghani dan Al-Biruni memberikan kontribusi besar di bidang astronomi dan geografi, yang makin memperkuat konsep Bumi bulat.
Al-Farghani, astronom asal Persia dari abad ke-9, pernah menulis Kitāb fī JawāmiʿʿIlm al-Nujūmi (Kitab Gerakan Benda Langit) yang merangkum temuan astronom Yunani dan memberikan perhitungan keliling Bumi yang hampir mendekati angka modern.
Al-Biruni, ilmuwan abad ke-10, mengembangkan metode pengukuran jari-jari Bumi menggunakan trigonometri dan sudut elevasi sebuah gunung relatif terhadap cakrawala. Perhitungannya sangat akurat pada masa itu. Hal itu menunjukkan bahwa Bumi tidak hanya bulat, tetapi juga dapat diukur dengan metode ilmiah.
Pada Abad Pertengahan, perdebatan utama dalam kosmologi bukanlah tentang bentuk Bumi, melainkan posisinya di alam semesta. Model geosentris, yang menempatkan Bumi sebagai pusat alam semesta, menjadi teori utama sampai akhirnya model heliosentris diajukan Copernicus.
Pergeseran pemahaman ini memicu perdebatan ilmiah dan teologis yang sengit. Butuh waktu cukup lama sampai mereka menerima model heliosentris Copernicus melalui karya-karya astronom kondang, seperti Galileo Galilei dan Johannes Kepler.
Pengamatan teleskopik Galileo, seperti bulan-bulan Jupiter yang mengorbit planet mereka sendiri dan fase-fase Venus, memberikan bukti kuat yang menentang geosentrisme. Meskipun menghadapi perlawanan dari Gereja Katolik, yang awalnya menganggap heliosentrisme bertentangan dengan interpretasi tertentu dari Alkitab, temuan Galileo akhirnya diterima oleh komunitas ilmiah.
Hukum pergerakan planet Kepler makin memperkuat heliosentrisme dengan menjelaskan orbit elips planet secara matematis. Pada akhir abad ke-17, hukum gravitasi universal Isaac Newton memberikan bukti final yang diperlukan untuk mengonfirmasi model heliosentris, yang akhirnya diterima sepenuhnya oleh para ilmuwan dan kemudian oleh otoritas keagamaan.
Sepanjang perdebatan tersebut, kebulatan Bumi tidak pernah menjadi isu yang diargumentasikan secara serius. Diskusinya hanya berkisar pada persoalan: apakah Bumi berbentuk bulat sempurna atau agak lonjong?
"Reinkarnasi" Penganut Bumi Datar di Abad ke-19
Seiring kemajuan zaman, skeptisisme terhadap otoritas ilmiah, interpretasi teks keagamaan, dan keinginan untuk menentang konsensus, berkembang pesat. Menariknya, dari sinilah kepercayaan kuno terhadap Bumi datar kembali lahir. Salah satunya melalui sosok bernama pena Parallax.
Nama asli Parallax adalah Samuel Rowbotham, penemu dan penulis asal Inggris. Melalui pamflet berjudul "Zetetic Astronomy", yang lantas dikembangkan jadi sebuah buku bertitel Earth Not a Globe, Rowbotham mengemukakan berbagai argumen tentang Bumi datar yang didasarkan pada teks biblikal serta pengamatannya sendiri.
Ide-ide Rowbotham menarik perhatian sejumlah kelompok, yang kemudian mendirikan Universal Zetetic Society pada 1892. Organisasi ini mempromosikan teori Bumi datar dan menerbitkan jurnal untuk menyebarkan pandangan mereka.
Skeptisisme terhadap otoritas ilmiah pada abad ke-19 berakar pada perubahan sosial yang lebih luas. Revolusi Industri membawa kemajuan teknologi dan ilmiah yang pesat, yang oleh sebagian orang dipandang dengan ketidakpercayaan. Banyak kaum tradisionalis khawatir bahwa penemuan-penemuan ilmiah, khususnya dalam bidang astronomi dan geologi, bisa melemahkan ajaran agama.
Publikasi On the Origin of Species oleh Charles Darwin pada 1859 menjadi salah satu pemicu ketegangan antara sains dan kelompok agama tertentu, karena teorinya menantang interpretasi literal tentang penciptaan. Iklim keraguan dan perlawanan terhadap pengetahuan baru ini menciptakan lahan subur bagi pandangan kosmologis alternatif, termasuk teori Bumi datar.
Selain itu, beberapa individu mengadopsi teori-teori semacam itu sebagai bentuk kontrarianisme. Mereka menempatkan diri dalam oposisi terhadap otoritas ilmiah arus utama yang dianggap elitis atau dogmatis.
Bagaimana Teori Bumi Datar Bertahan?
Tak peduli seberapa kuat argumen ilmiah yang membuktikan bahwa Bumi bulat, kepercayaan terhadap Bumi datar terus bertahan hingga abad ke-21. Flat Earth Society, yang didirikan pada 1956 oleh Samuel Shenton, menjadi organisasi utama yang menyuarakan pandangan ini. Dengan munculnya internet dan media sosial, teori Bumi datar menemukan platform baru yang memungkinkan para pendukungnya menjangkau audiens global.
Dalam perkembangannya, beberapa penganut Bumi datar telah melakukan eksperimen untuk membuktikan keyakinan mereka. Salah satunya Jeran Campanella, yang melakukan perjalanan sejauh 9.000 mil ke Antartika untuk mengamati fenomena matahari 24 jam, yang tidak dapat dijelaskan dengan model Bumi datar.
Setelah menyaksikan matahari yang terus bersinar di cakrawala es, Campanella mengakui bahwa pengamatannya bertentangan dengan keyakinannya sebelumnya dan menerima bahwa Bumi memang bulat.
Cerita Campanella menarik, tentu saja, kalau tidak mau dibilang ironis. Sering kali, penganut teori Bumi datar dicap sebagai kaum anti-sains. Akan tetapi, apa yang dilakukan Campanella tersebut justru sangatlah saintifik dan empiris. Dia betul-betul menerapkan metode ilmiah termasuk ketika akhirnya bersedia menerima kenyataan bahwa dirinya salah.
Dari sini, kita bisa belajar bahwa inti dari sains bukanlah kebenaran, melainkan perjalanan untuk mencari kebenaran itu sendiri. Selalu ada ruang untuk kesalahan dalam sains, tetapi tidak boleh ada ruang untuk kebohongan. Perdebatan pun menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Sains akan menjadi sains ketika ia terus diperdebatkan. Namun, syaratnya, semua harus dilakukan dalam koridor yang ketat, ilmiah, dan tanpa prasangka.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin