tirto.id - Pada pertengahan tahun lalu perbincangan soal vaksin kembali mengemuka. Musababnya adalah dua putri aktor Oki Setiana Dewi mengalami demam tinggi karena terinfeksi virus campak. Diduga Oki tak memvaksin kedua putrinya. Oki sendiri lalu disebut-sebut antivaksin.
Persoalan vaksinasi memang ramai diperbincangkan. Kali ini tentang banyaknya orang yang enggan anaknya diimunisasi karena alasan bahan-bahan vaksin yang disebut-sebut berasal dari lemak babi.
Terlepas dari dua fenomena itu, topik vaksinasi memang kontrovesial sejak dulu kala. Gerakan antivaksin sebenarnya telah ada sejak sekira pertengahan abad ke-19 dan lalu kian masif sejak Dokter Andrew Wakefield menerbitkan temuannya di jurnal medis prestisius The Lancet pada 1998. Di situ Wakefield menyebut adanya hubungan antara autisme dan vaksinasi.
Temuan Wakefield itu kemudian dibantah dan terbukti direkayasa. Jurnalis Brian Deer dari London Sunday Times menulis bahwa Wakefield disuap oleh seorang yang berwenang untuk membikin pembuktian bahwa vaksin itu berbahaya.
Skandal itu kini bercampur baur dengan argumen-argumen pseudo-sains seperti vaksin adalah racun dan konspirasi tentang pengurangan populasi di dunia. Dan kini, argumen-argumen pseudo-sains dan hoaks itu dipercayai banyak orang. Konsekuensinya cukup serius: penyakit-penyakit menular yang semestinya sudah dapat ditekan penyebarannya kini bangkit lagi.
Fenomena antivaksin hanyalah salah satu contoh saja bagaimana penyangkalan terhadap sains merebak dan berdampak buruk. Kenyataannya, hari ini banyak orang yang menyangkal perubahan iklim hingga keamanan produk pangan modifikasi genetik. Ada pula yang menganggap evolusi adalah bohong dan memercayai bahwa bumi datar.
“Kita hidup di era ketika pengetahuan ilmiah—dari keamanan flourida dan vaksin hingga kenyataan perubahan iklim—menghadapi penentangan yang terstruktur dan seringkali sengit,” tulis penulis sains Joel Achenbach di National Geographic (2015, hlm. 32).
Naluri Intuitif Versus Teori Sains
Dalam esai “Trust Me, I’m a Scientist” yang tayang di laman Scientific American, Profesor Daniel T. Willingham menyebut suatu paradoks sedang terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat. Sebagian besar orang AS, katanya, mengaku percaya kepada ilmuwan. Bahkan, hasil survei National Science Foundation pada 2016 menyebut bahwa orang AS lebih percaya perkataan saintis daripada pejabat atau pebisnis.
Secara umum ilmuwan dianggap lebih menguasai suatu bidang dan netral. Namun, meski begitu, ada juga orang-orang yang mengaku percaya sambil juga mengamini bahwa vaksinasi menyebabkan autisme. Artinya, mereka mempercayai para ilmuwan secara umum tetapi tak bersepakat pada isu-isu sains tertentu.
Mengapa bisa demikian? Penelitian Andrew Shtulman dari Occidental College pada 2012 agaknya bisa sedikit membantu menjawabnya.
Shtulman dalam artikel “Scientific Knowledge Suppresses but Does Not Supplant Earlier Intuitions” yang terbit dalam jurnal Cognition (PDF) menyebut bahwa pikiran manusia bukanlah wadah kosong yang siap diisi informasi baru. Manusia telah memiliki apa yang disebutnya intuisi naif atas dunia sekitarnya. Intuisi naif ini tak akan luntur oleh informasi-informasi yang datang belakangan, meskipun itu lebih ilmiah.
Untuk menunjukkan kecenderungan ini, peneliti dari Occidental College yang bermarkas di Los Angeles itu menciptakan suatu tes sederhana. 150 mahasiswa perguruan tinggi yang telah mengambil beberapa kelas sains dan matematika dimintanya membaca 200 pernyataan tentang fenomena alam sehari-hari.
200 pernyataan ini digolongkan dalam dua kategori: pernyataan konsisten dan inkonsisten. Penyataan konsisten itu meliputi pernyataan yang benar dari sisi ilmu pengetahuan dan intuitif, atau salah satu dari sisi saintifik maupun intuitif. Sementara penyataan inkonsisten meliputi pernyataan yang benar dari sisi intuitif tapi salah secara saintifik atau yang sebaliknya.
Contoh pernyataan itu misalnya "bulan mengelilingi bumi" yang secara intuitif maupun saintifik benar. Atau pernyataan “bumi mengelilingi matahari” yang secara ilmiah benar namun bertentangan dengan intuisi kita. Para mahasiswa dites untuk menilai kebenaran dari pernyataan-pernyataan semacam itu secepat mungkin.
Hasilnya, seperti diuraikan secara lebih awam oleh Jonah Lehrer dalam “Why We Don’t Believe in Science”yang tayang di laman The New Yorker, mahasiswa-mahasiswa itu butuh waktu lebih lama untuk menilai pernyataan-pernyataan yang inkonsisten. Dalam setiap kategori ilmiah, para mahasiswa berhenti sejenak sebelum menyetujui pernyataan ilmiah seperti “bumi mengelilingi matahari”, “tekanan menghasilkan panas”, atau “udara tersusun dari materi”.
Tersendatnya para mahasiswa menilai pernyataan inkonsisten itu memperkuat dugaan bahwa mereka sebenarnya tahu bahwa pernyataan-pernyataan itu benar, tetapi itu bertentangan dengan intuisi pikiran bawah sadarnya.
Shtulman dalam kesimpulannya menulis: “Apa yang terjadi pada teori naif para mahasiswa itu ketika mereka belajar teori saintifik? Temuan kami menunjukkan bahwa teori naif itu ditekan oleh teori ilmiah tetapi tak lantas tergantikan.”
Intuisi membentuk keyakinan awal seseorang. Sebagian orang belajar untuk menerima fakta baru yang lebih ilmiah dan menekan intuisinya, namun sebagian lagi tetap teguh pada keyakinan lamanya. Sehingga, pada dasarnya kepercayaan seseorang pada sains atau menyangkalnya adalah sebuah pilihan.
Keyakinan-keyakinan intuitif di pikiran bawah sadar yang agaknya menjadi sebab sulitnya seseorang mempercayai suatu penjelasan atau informasi ilmiah. Bahkan meskipun informasi ilmiah itu datang dengan bukti-bukti faktual yang kuat.
Emosi dan Lingkaran Sosial
Selain itu, pilihan seseorang untuk mempercayai sains juga dipengaruhi oleh latar sosial dan emosi. Khazanah neurosains modern menyebut kecenderungan itu sebagai penalaran termotivasi. Penalaran tak bisa dipisahkan dari pengaruh emosi, bahkan penilaian emosional kita tentang orang, benda, dan ide, muncul jauh lebih cepat ketimbang rasionalitas. Itu sudah tertanam dalam benak manusia sebagai salah satu kemampuan dasar bertahan hidup.
“Itu tidak mengherankan, evolusi menuntut kita bereaksi sangat cepat terhadap rangsangan di lingkungan kita. [...] Kita tak hanya didorong oleh emosi, tentu saja—secara sadar kita juga menalar. Tetapi penalaran muncul belakangan dan bekerja lebih lambat, itu pun tak terjadi dalam kekosongan emosional,” tulis jurnalis sains Chris Mooney dalam “The Science of Why We Don’t Believe Science” yang tayang di laman Mother Jones.
Penyangkalan seseorang atas konsensus ilmiah pun sebenarnya tak terlalu berkait dengan tingkat pendidikan atau literasi. Penulis sains Joel Achenbach menyitir riset Profesor Dan Kahan dari Yale Law School untuk menjelaskan soal ini.
Profesor Kahan bertanya kepada 1.540 orang Amerika soal penilaian mereka tentang ancaman perubahan iklim. Jawabannya lalu dikaitkan dengan kemelekan sains masing-masing dari mereka. Hasilnya: kemelekan sains yang tinggi berkelindan dengan pendapat yang lebih kuat, baik di kubu penolak maupun penerima perubahan iklim.
Jelasnya, baik mereka yang menolak kenyataan perubahan iklim maupun yang menerima sama-sama memanfaatkan sains untuk memperkuat keyakinannya. Karenanya, menangkis argumen dengan menyodorkan bukti-bukti saintifik tidak akan mempan. Alih-alih membuat seseorang berubah pikiran, upaya seperti itu justru malah memicu backfire effect.
Menurut Profesor Kahan, musabab seseorang bersikukuh pada keyakinannya adalah motivasi untuk mempertahankan lingkaran sosialnya. Hal ini berlaku sama bagi kubu penerima sains maupun penyangkalnya. Seseorang lebih takut kehilangan teman yang sepaham ketimbang mengoreksi keyakinannya.
“Kita meyakini gagasan ilmiah bukanlah karena telah benar-benar memeriksa semua bukti, tetapi karena adanya kedekatan dengan kalangan ilmuwan. [...] Kahan berkata, Percaya pada evolusi sebenarnya gambaran tentang diri Anda. Bukan cara pikir Anda,” tulis Kahan.[]
Editor: Nuran Wibisono