tirto.id - Masa tanggap darurat bencana COVID-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diperpanjang untuk kesembilan kalinya. Epidemiolog menilai status ini tak mencerminkan penanganan dan respons yang juga darurat dari otoritas setempat. Hasilnya, pandemi tak kunjung terkendali.
“Menggunakan sistem tanggap bencana tapi yang responsnya tidak seperti respons tanggap bencana. Responsnya, ya, respons yang biasa. Tidak cukup untuk mengendalikan penularan,” kata epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad kepada reporter Tirto, Selasa (2//2/2021).
Oleh karena otoritas “tidak secara sistematik mengendalikan transmisi” dan “selalu responsnya tidak jelas,” Riris menilai masa tanggap bencana kali ini “sama saja nanti hasilnya.” “Sekarang setelah 9 kali diperpanjang, ada perbedaan atau tidak?”
Berdasarkan data yang dilaporkan Pemda DIY, dalam dua bulan terakhir kenaikan kasus baru dan kematian akibat COVID-19 meningkat tajam. Pada Desember 2020 total ada 6.192 kasus baru dengan 115 kematian, berikutnya pada Januari 2021 menjadi 9.670 kasus diikuti angka kematian 248 atau lebih dari dua kal lipat.
Perpanjangan masa tanggap darurat dari 1 hingga 28 Februari 2021 tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 28/Kep/21 tentang Perpanjangan Kesembilan Status Tanggap Darurat Bencana COVID-19 di DIY. Surat ditandatangani oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X pada 1 Februari 2021.
Keputusan mengamanatkan Wakil Gubernur DIY mengambil langkah dan tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan menangani dampak buruk yang ditimbulkan, antara lain meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi, isolasi, perlindungan pengurusan, penyelamatan, serta pemulihan korban COVID-19.
Riris mengatakan status tanggap darurat dipertahankan dan terus diperpanjang agar otoritas dapat mengakses anggaran tertentu.
Sejumlah kebijakan memang kontradiktif terhadap pengendalian COVID-19. Di Kota Yogyakarta misalnya, kawasan wisata Malioboro dibuka saat malam pergantian tahun baru. Imbasnya terjadi kerumunan di wilayah tersebut.
Dua pekan setelahnya pertambahan kasus baru melonjak. Sejumlah rumah sakit pun kewalahan menangani pasien COVID-19 yang terus bertambah. Akibatnya, beberapa rumah sakit harus menutup ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Menurut Riris, penanganan pandemi COVID-19 di Yogyakarta perlu sistematis dan terprogram sebagaimana penanganan penyakit-penyakit lain seperti TBC atau malaria. Dua penyakit itu penangananya telah terprogram dalam satu tahun dan menggunakan anggaran khusus.
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengatakan perpanjangan masa tanggap darurat tidak terelakkan sebab menjadi dasar Pemda DIY untuk bergerak menangani COVID-19. Dengan status tanggap darurat bencana itu Pemda DIY dapat menggunakan alokasi belanja tak terduga (BTT) dari APBD.
Pada 2020 lalu, ada Rp600 miliar uang keluar untuk penanganan COVID-19. Anggaran itu sebagian besar digunakan untuk bantuan langsung bagi warga terdampak.
Sementara pada 2021 ini dialokasikan Rp66,9 miliar khusus untuk penanganan COVID-19 di luar bantuan langsung. Besarannya masih dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan dengan mengambil anggaran di pos lain yang direalokasi.
“Tapi sampai sekarang itu [Rp66,9 miliar] belum terpakai semua. Tolong jangan diirit anggaran itu yang penting COVID-19 itu tertangani dengan baik. Jangan mengirit anggaran tapi tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan,” kata Huda kepada reporter Tirto, Selasa.
Kebijakan terkini yang diterapkan oleh Pemda DIY selain memperpanjang masa tanggap darurat adalah memperpanjang Pengetatan secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM) dari 26 Januari 2021 sampai 8 Februari 2021. Perpanjangan itu tertuang dalam Instruksi Gubernur DIY Nomor 4/INSTR/2021 yang diteken Sultan HB X pada Senin (25/1/2021).
Dengan perpanjangan itu Sultan berharap akan semakin mengurangi kontak langsung sesama warga, terutama kontak antar tetangga yang selama ini menurutnya turut menyumbang peningkatan kasus COVID-19.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino