Menuju konten utama

Yogyakarta Darurat COVID-19: Rumah Sakit Kolaps, Kematian Melonjak

Situasi COVID-19 di Yogyakarta tidak baik-baik saja. Pasien mengantre di rumah sakit. Angka kematian terus bertambah.

Ilustrasi Pandemi COVID-19 di Indonesia. tirto.id/Lugas

tirto.id - Fasilitas kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta kewalahan menampung pasien COVID-19. Jumlah pasien terus melonjak. Tak sedikit pasien harus mengantre berhari-hari untuk memperoleh ruang perawatan. Sebagian dari mereka tak tertolong karena terlalu lama menunggu.

Pemerintah provinsi Yogyarta menyatakan ada 27 rumah sakit rujukan COVID-19. Reporter Tirto bersama sejumlah jurnalis dari berbagai media, yang tergabung dalam kolaborasi meliput kesehatan masyarakat di masa pandemi, menghubungi satu per satu rumah sakit, melalui pusat kontak resmi, untuk mengetahui ketersediaan ruangan pada 12 Januari 2021. Hasilnya: 23 rumah sakit tak bisa lagi menerima pasien baru bahkan sebagian bilang masih ada sejumlah pasien COVID-19 yang mengantre di Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena belum mendapatkan ruang perawatan.

Dua rumah sakit lain menyatakan masih menerima pasien COVID-19 tapi khusus pasien perempuan. Satu rumah sakit menyatakan masih memiliki enam ruang perawatan COVID-19 tapi khusus penderita gangguan jiwa. Sedangkan satu rumah sakit lagi tak bisa kami hubungi.

Kondisi ini kontras dengan laporan Pemda DIY pada 12 Januari 2021 pukul 15.56. Dilaporkan secara resmi saat itu masih ada 23 tempat tidur critical (menggunakan ICU) di rumah sakit rujukan dari ketersediaan 76 tempat tidur; sementara masih ada 30 yang kosong dari 652 tempat tidur noncritical. Total tempat tidur yang kosong, critical maupun noncritical, masih ada 53.

Angka itu seolah menunjukkan kondisi yang aman. Tapi, situasi di lapangan menggambarkan sebaliknya.

Pasien Covid-19 Mengantre: 'Mengaduk Perasaan Kami'

Perasaan Siswanto kacau dalam beberapa pekan terakhir. Dokter spesialis paru ini menjadi penanggung jawab layanan COVID-19 di RS Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) di Kabupaten Sleman. Siswanto melihat pasien-pasien COVID-19 meninggal lantaran tak mendapatkan pertolongan medis yang memadai.

“Saya harus merawat pasien di ruang ICU dengan perawatan yang seharusnya diberikan. Tapi, karena ruangannya tidak ada, alatnya tidak ada, akhirnya semampunya. Beberapa meninggal,” kata Siswanto pada 5 Januari lalu. “Ini keprihatinan luar biasa. Itu mengaduk-aduk perasaan kami.”

Siswanto berkata setiap pasien suspek, probable, maupun konfirmasi positif COVID-19 setelah dua jam di IGD harus dipindahkan ke ruang perawatan atau dirujuk ke rumah sakit lain jika memang tidak dapat ditangani. Situasinya saat itu 53 ruang perawatan COVID-19 di RSA UGM sudah penuh, demikian pula rumah sakit lain sehingga para pasien tak bisa dirujuk.

Akhirnya, sampai ada 7 pasien yang menumpuk di IGD, yang menunggu lebih dari sehari bahkan dua hari tapi belum juga mendapatkan ruang perawatan.

“Saya menggambarkannya sangat crowded. Kami terpaksa tutup IGD selama dua hari,” kata Siswanto.

Angka Kematian Pasien COVID-19 Melonjak

Berdasarkan laporan Pemda Yogyakarta, persentase pemakaian tempat tidur di rumah sakit rujukan COVID-19 atau bed occupancy ratio (BOR) semakin meningkat sejak pertengahan November 2020 meski jumlah tempat tidur terus ditambah. Lonjakan BOR itu seiring penambahan kasus pasien COVID-19.

Pada 12 November 2020, terjadi peningkatan BOR lebih dari atau sama dengan 50 persen. Pada tanggal itu dilaporkan ada 452 tempat tidur, baik kategori critical maupun noncritical, dengan BOR 50 persen di seluruh Provinsi Yogyakarta. Angkanya melonjak menjadi 463 tempat tidur dan BOR sebesar 95 persen pada 30 November. Satu bulan kemudian, pada 12 Desember, BOR masih tetap tinggi, yakni 77 persen, meski tempat tidur meningkat menjadi 572.

Pada akhir Desember, ketika tempat tidur ditingkatkan lagi menjadi 641, BOR juga ikut meningkat menjadi 87 persen. Pun demikian pada 12 Januari: Total ada 728 tempat tidur tapi sudah terpakai 93 persen.

Meski tak bisa serta merta menggambarkan kondisi di lapangan, data itu turut menjelaskan kenapa banyak pasien COVID-19 makin kesulitan mencari ruang perawatan.

Salah satu yang mengalaminya adalah Akib Aryo, warga Kota Yogyakarta yang dinyatakan positif COVID-19 pada 26 Desember 2020. Laki-laki berusia 26 tahun ini memiliki penyakit komorbid yang pernah membuatnya berbaring lama di rumah sakit pada tahun sebelumnya. Ia merasakan batuk dan tubuhnya demam tinggi. Ia butuh ruang perawatan mengingat penyakit bawaannya bisa menimbulkan kegawatan.

Benedicta Kirana, teman Akib, panik dan segera mencari rumah sakit. Beberapa rumah sakit yang ditelepon menyatakan ruang penuh dan, kalau mau, harus ikut mengantre. “ Jadi kalaupun Akib ke sana belum tentu dapat,” kata Kirana.

Dari sekian yang dihubungi Kirana, satu rumah sakit swasta mau menerima Akib karena pertimbangan kegawatan komorbid yang dideritanya. Akib bisa dirawat selama kurang lebih 10 hari sebelum diizinkan pulang.

Selain membuat pasien makin sulit cari ruang perawatan, lonjakan BOR diikuti banyak pasien COVID-19 yang tak tertolong dalam beberapa bulan terakhir.

Dari laporan Pemda DIY, per Oktober 2020 ada 26 pasien positif yang meninggal; November ada 52 jiwa meninggal; pada Desember meningkat dua kali lipat menjadi 115 jiwa meninggal. Dari 1-13 Januari 2021, sudah tercatat 81 pasien COVID-19 yang meninggal.

Data jumlah pemakaman dengan prosedur COVID-19 yang dimiliki oleh Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) Yogyakarta jauh lebih banyak.

Pada Oktober, ada 62 pemakaman dengan prosedur COVID-19; November ada 95; Desember melonjak jadi 264 pemakaman. Hingga pertengahan Januari 2021, sudah ada 111 pasien COVID-19 dimakamkan.

Makin sulit orang mencari ruang perawatan COVID-19 dan semakin banyak yang meninggal dalam kondisi darurat yang tidak mendapatkan perawatan memadai.

Inisiatif warga muncul, misalnya dari Sonjo atau Sambatan Jogja. Mereka adalah gerakan kemanusiaan yang berupaya mengoordinasikan seluruh rumah sakit dalam respons perawatan pasien COVID-19. Gerakan yang dimotori Rimawan Pradiptyo, seorang dosen UGM, itu menyatukan perwakilan dari seluruh rumah sakit di Yogyakarta melalui grup WhatsApp.

Mereka membuat pangkalan data berisi informasi soal pasien yang perlu segera mendapatkan rujukan. Sejak 14 Desember, ada 54 pasien yang berhasil mendapatkan rujukan. “Namun ada 10 pasien yang meninggal saat menunggu rujukan,” kata Rimawan. Per 11 Januari 2021, masih ada 25 pasien yang butuh rujukan.

Ruang Perawatan Tak akan Pernah Cukup

Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Yogyakarta, Yuli Kusuma Astuti, mengakui ada sejumlah pasien COVID-19 yang tak tertolong lantaran kondisi rumah sakit penuh.

“Memang ada kejadian, tapi tidak semuanya seperti itu,” ujarnya pada 11 Januari lalu.

Perihal data laporan ketersediaan tempat tidur perawatan COVID-19 yang masih selalu tersedia padahal masyarakat sulit mengaksesnya, Yuli berkata karena ada antrean di IGD. Jadi, meskipun dilaporkan ada kamar yang kosong tapi, karena masih ada yang mengantre di IGD, pasien yang datang tidak dapat mengakses ruang perawatan tersebut.

Kepala Dinkes Yogyakarta, Pembajun Setyaningastutie, berkata sulit untuk menyelesaikan masalah ini. Saat ini Yogyakarta masih kekurangan tenaga medis untuk merawat pasien COVID-19. “Kami pernah melakukan rekrutmen. Yang dibutuhkan 238 orang, yang daftar 88. Ujungnya cuma tinggal 26 tenaga medis,” kata Pembajun.

Cara lain yang diupayakan adalah terus mendesak rumah sakit menambah kapasitas ruang perawatan COVID-19.

Namun, dia mengatakan seberapapun banyak tempat tidur dan nakes yang disediakan untuk menangani pasien COVID-19, itu akan selalu kurang, “kalau tidak ada pengetatan dan intervensi lintas program yang lain.”

Per 14 Januari kemarin, menurut data resmi Pemda DIY, ada 349 pasien COVID-19 meninggal. Pada 7 Januari, ada 301 jiwa meninggal. Ada penambahan 48 jiwa meninggal selama sepekan terakhir. Selama dua pekan pertama Januari, ada 81 pasien COVID-19 meninggal. Angka-angka ini, bagaimanapun, kemungkinan besar tidak menggambarkan realitas pandemi di Yogyakarta, alias underreporting, karena pemerintah pusat maupun daerah belum agresif dalam tracing, testing, dan treatment, kendati pandemi COVID-19 sudah berjalan nyaris setahun.

Menurut LaporCOVID-19, prakarsa koalisi warga yang memantau kesehatan masyarakat selama pandemi, sudah 594 tenaga medis dan kesehatan meninggal dunia di seluruh Indonesia akibat COVID-19 per 13 Januari 2021. Ikatan Dokter Indonesia menyebut angka kematian tenaga kesehatan di Indonesia adalah tertinggi di Asia dan kelima terbesar di dunia.

==========

Laporan ini adalah kolaborasi antarwartawan di Yogyakarta dalam meliput COVID-19 sejak April 2020. Di antara yang terlibat adalah Arif Hermawan (Gatra), Bhekti Suryani (Harian Jogja), Haris Firdaus (Harian Kompas), Hendrawan Setiawan (CNN Indonesia TV), Irwan Syambudi (Tirto.id), dan Pito Rusdiana (IDNtimes). Pada liputan kali ini Nurhadi (VOAIndonesia) tidak ikut berkolaborasi.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino