tirto.id - Dalam tiga bulan terakhir, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui fase krusial pandemi Corona. Penularan meluas dan mayoritas kasus tidak dapat lagi diidentifikasi sumbernya. Penambahan kasus harian pun terus meningkat diikuti bertambahnya jumlah kematian.
Hampir seluruh sektor menyumbang angka positif yang membuat kasus makin melonjak dalam tiga bulan terakhir.
Di perkantoran, COVID-19 mundul di DPRD DIY, Dinas Perhubungan, hingga Dinas Kesehatan. Di sektor pendidikan, sejumlah pesantren di Sleman juga mencatatkan ratusan kasus. Pada sektor ekonomi, sejumlah pasar tradisional seperti Beringharjo dan Cebongan mencatatkan kasus, begitu juga dengan sejumlah warung makan. Di sektor pariwisata, kasus muncul saat seorang pedagang suvenir di pusat wisata Malioboro meninggal positif Corona.
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad menyebut DIY telah memasuki fase penularan di komunitas yang meluas setelah melalui sejumlah fase yang tak tertangani.
Fase pertama, ketika mulai terjadi penularan di populasi dengan jumlah terbatas dan masih terkendali. Fase berikutnya, penularan mulai terjadi di komunitas terbatas, kasus mulai banyak tetapi sumber penularan masih dapat dilacak. Strategi penelusuran tracing masih efektif menekan penularan.
Fase itu tak tertangani. Maka masuklah fase berikutnya: penularan komunitas yang meluas. Jumlah penularannya jauh lebih cepat dibandingkan kapasitas untuk melakukan tracing dan penemuan kasus.
“Ini yang terjadi saat ini di Yogyakarta. Ada penularan yang meluas di komunitas sehingga kemudian kasusnya meningkat dengan cepat. Ketika ini terjadi kita akan semakin mendapatkan dari hari ke hari kasusnya akan makin tambah banyak,” kata Riris kepada tim kolaborasi jurnalis di Yogyakarta akhir September lalu.
Apa yang terjadi di DIY ini sama dengan yang terjadi pada tingkat nasional. Kasus tak bisa dihentikan pada fase awal lalu penularan makin meluas.
“Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah upaya untuk menurunkan transmisi, tapi tidak sampai menghentikan. Itu yang terjadi di Yogyakarta. Penularan komunitas meluas. Kenapa terjadi demikian? Karena mobilitas di Yogyakarta meningkat pasca diujicobakan atau digaungkannya new normal,” ujar Riris.
Kami menghimpun data laporan harian yang disampaikan oleh Pemda DIY untuk menunjukkan bagaimana fase yang disebut Riris sebagai “penularan komunitas meluas” itu akhirnya terjadi dan sulit untuk dihentikan.
Penyebaran Kasus COVID-19 di Yogyakarta
Kasus Corona pertama diumumkan di DIY pada 15 Maret 2020. Hingga akhir Juni, kasus terkonfirmasi positif tercatat ada 313. Rata-rata penambahan harian mencapai 2,8 kasus.
Pemda DIY saat itu disebut-sebut mampu mengendalikan penularan. Presiden Joko Widodo pada pertengahan Juli bahkan penyebut Pemda DIY jadi salah satu provinsi dengan penanganan Corona terbaik. Pada masa itu klaster-klaster besar seperti Indogrosir, Jamaah Tabligh, dan GPIB dinilai tertangani. Kontak tracing dilakukan secara luas, hingga akhirnya kasus ditemukan dan dapat dipisahkan dari populasi.
Setelah itu, dalam tiga bulan terakhir, Juli-September, kasusnya melonjak tajam. Total penambahan kasus mencapai 2.330 atau lebih dari tujuh kali lipat dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Fase ini ditandai dengan didengungkannya kehidupan normal baru dan yang mulai dilakukan uji coba secara terbatas pada kegiatan ekonomi dan pariwisata.
Salah satu penanda fase ini adalah mulai banyaknya kasus dengan riwayat perjalanan dari luar kota atau sering disebut sebagai kasus impor. Sepanjang Juni, ada 31 kasus dengan riwayat tersebut, jumlahnya meningkat lebih dua kali lipat pada Juli yakni 68 kasus.
Tak hanya itu, riwayat kasus lainnya yang dilaporkan yakni karyawan kesehatan, hasil kontak tracing, masih dalam penelusuran, dan riwayat yang kami golongkan ke dalam kategori lain-lain berasal dari tes mandiri atau screening di satu lembaga jumlahnya meningkat tajam.
Kasus karyawan kesehatan pada Juli ada 86, meningkat dari bulan sebelumnya yang hanya satu kasus. Hasil kontak tracing pada Juli ada 106 kasus meningkat drastis dari bulan sebelumnya yang hanya 31 kasus.
Pun juga dengan kasus yang masih dalam penelusuran, dari Juni hanya delapan kasus di bulan berikutnya jadi 57. Sedangkan kasus dengan riwayat lain-lain dari Juni yang hanya enam kasus menjadi 44 kasus pada Juli.
Kasus COVID-19 dari Juni yang hanya 77 kemudian meningkat menjadi 361 dari berbagai riwayat ini disebut Riris sebagai dimulainya fase “penularan komunitas yang meluas.” Selain peningkatan kasus, positivity rate menunjukkan angka yang cukup tinggi, 2,35 persen.
Sepanjang Juli, total ada 15.424 orang yang dites, sebanyak 361 orang di antaranya terkonfirmasi positif. Artinya, rata-rata tes per hari 497,55 dan rata-rata jumlah orang terkonfirmasi positif per hari 11,65.
Riris bilang fase ini sebetulnya dapat dikendalikan dan dapat diantisipasi apabila saat itu Pemda DIY dapat memastikan setiap orang yang datang ke Yogyakarta apakah positif atau negatif. Apabila diketahui positif maka bisa langsung dipisahkan dari populasi sehingga dapat menghindari terjadinya penularan lokal. Namun, hal itu tak dapat sepenuhnya dilakukan. Akibatnya, fase “penularan komunitas yang meluas” ini makin tak terkendali. Ini merujuk data Agustus: kenaikan sebanyak 751 kasus.
Peningkatan lebih dari dua kali lipat kasus hasil kontak tracing atau disebut sebagai kasus lokal, dan kasus yang masih dalam penelusuran atau belum diketahui jelas riwayat penularannya, menjadi penanda fase ini. Tercatat kasus hasil kontak tracing menjadi 253, kasus masih dalam penelusuran 185 kasus, kasus impor naik menjadi 78 kasus, kasus karyawan kesehatan menjadi 208, dan kasus dengan riwayat lain-lain 27 kasus.
Selain itu, pada Agustus, angka positivity rate juga naik lebih dari dua kali lipat dibanding bulan sebelumnya yakni 4,95 persen. Dengan jumlah orang yang dites lebih sedikit yakni 15.152, malah ditemukan kasus positif lebih banyak. Jika dirata-rata per hari ada 488,77 yang dites dan ditemukan 24,23 yang terkonfirmasi positif.
Laju peningkatannya makin tak terbendung pada bulan berikutnya. Kasus impor sudah cenderung melandai. Namun, kasus hasil tracing atau kasus penularan lokal meningkat lebih dari dua kali lipat, kasus yang tak belum diketahui jelas penularannya juga meningkat.
Tercatat kasus impor naik menjadi 81 kasus, kasus karyawan kesehatan menjadi 116, kasus hasil kontak tracing menjadi 615, kasus masih dalam penelusuran 273 kasus, kasus riwayat lain-lain 133 kasus.
Sementara positivity rate juga mengalami lonjakan menjadi 6,77 persen. Dari total 17.980 orang yang dites ditemukan 1.218 kasus terkonfirmasi positif atau jika dirata-rata per hari ada 599,33 yang dites dan 40,60 di antaranya terkonfirmasi positif.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Joko Hastaryo juga mengamini bahwa di DIY telah memasuki fase penularan di komunitas yang meluas. Kondisi kasus di Sleman bisa jadi gambaran, sebab selama ini menjadi kabupaten penyumbang kasus terbanyak. Per 7 Oktober 2020, total kasus di DIY ada 2.853, Sleman menyumbang 1.268 kasus atau 44 persen dari seluruh kasus.
“Penularan di komunitas [yang meluas terjadi] itu kami amati sejak akhir Juli ketika berbagai aktivitas masyarakat kembali seperti sebelum pandemi. Penambahan kasus kasus banyak yang tidak jelas sumber penularannya,” kata Joko kepada tim kolaborasi pada pekan ketika Agustus lalu.
Pemda DIY Belum Optimal Tangani saat Kasus Meluas
Sampai pada fase penularan komunitas yang meluas ini seharusnya langkah yang dilakukan adalah menurunkan laju penularan dengan melakukan tes massal pada satu komunitas dan pembatasan mobilitas masyarakat. Riris melihat belum ada kebijakan Pemda DIY untuk melakukan upaya itu.
“Masalahnya kita (Pemda DIY) masih melakukan respons yang sama seperti Juni,” kata Riris. Respons yang dimaksud adalah melakukan kontak tracing untuk menekan laju penularan. Padahal, menurutnya, situasinya telah berbeda. Penularan sudah sangat meluas sehingga kontak tracing akan kalah dengan laju penularan. “Transmisinya sudah sangat meluas. Untuk menurunkan transmisi kita harus menghentikan mobilitas penduduk,” ujarnya.
Meskipun menghentikan mobilitas penduduk itu saja, menurutnya, baru akan menekan transmisi, belum bisa akan menghentikan transmisi. Namun, sampai sekarang saat kasus meluas, kebijakan itu belum juga dilakukan oleh Pemda DIY.
“Hingga saat ini, belum pernah ada kebijakan [menghentikan mobilitas penduduk]. Baru pada tahap uji coba new normal, pemberlakuan protokol, dan status tanggap darurat yang masih terlaksana,” kata Riris.
Kebijakan yang tak ada perubahan dibanding awal masa pandemi itu diperparah dengan situasi yang semakin longgar. “Kita jadi makin loss dan permisif dalam implementasi social distancing,” kata Riris.
Padahal, menurutnya, Yogyakarta memiliki modal sosial besar melalui sosok Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X. Imbauan-imbauan Sultan efektif untuk mengubah laku masyarakat. Pada awal Juni lalu misalnya, saat aktivitas di Malioboro menimbulkan kerumunan, ia kemudian dengan tegas menyatakan akan menutup Malioboro jika protokol kesehatan tak dipatuhi.
Namun, Sultan memberikan respons yang berbeda saat terjadi lonjakan kasus, pada 19 September lalu. Lonjakan kasus dalam sehari, menurutnya, tak perlu dipermasalahkan, "Ora popo, nak positif ya neng rumah sakit [tidak apa-apa, kalau positif COVID-19 ya dirawat di rumah sakit]," kata Sultan.
Saat ditanya apakah ada kebijakan khusus untuk meredam lonjakan kasus itu, Sultan menilai tak ada kebijakan lain. "Tidak bisa [kebijakan baru], kita adaptasi saja, jangan menakut-nakuti [masyarakat]," katanya.
Menurut Riris perlu ada kebijakan berbeda yang harus dilakukan dalam situasi penularan yang meluas. Sebab, strategi kontak tracing yang selama ini masih dilakukan tak akan cukup lagi. Ketika penularan meluas, maka kecepatan tracing tidak akan sebanding dengan kecepatan penularan virus. Maka jalan yang harusnya ditempuh adalah melakukan tes massal pada komunitas.
Tes massal ini juga tak serta-merta dapat langsung menekan laju penularan, sebab kasus lain yang tak ditemukan masih akan terus menularkan. Sehingga, sekali lagi, kata Riris, harus dibarengi dengan pembatasan mobilitas penduduk, minimal satu sampai dua kali masa inkubasi yakni dua bulan.
Apabila ini tidak dilakukan, maka konsekuensinya adalah penularan makin meluas termasuk orang-orang dengan risiko tinggi. Sehingga dapat meningkatkan angka kematian pula.
Kapasitas tempat tidur untuk pasien kritikal--berisiko tinggi--hingga akhir September lalu memang masih pada titik yang mencukupi. Dari 48 tempat tidur, 30 yang digunakan dan masih tersisa 18 tempat tidur. Namun, menurut Riris, jika situasinya tak berubah, maka pelayanan kesehatan akan kolaps.
“Tapi kalau kita tidak bisa mengendalikan penularan di komunitas ya satu saat kita tinggal menunggu kapan titik itu terlewati,” kata Riris.
Wakil Ketua Bidang Kesehatan Satgas Penanganan COVID-19 Pemda DIY Rukmono mengatakan skenario-skenario terburuk andai jumlah kasus melebihi kapasitas layanan kesehatan terus dipersiapkan. Ia mengakui berdasarkan data jumlah kasus pada awal hingga pertengahan September menunjukkan angka yang mengkhawatirkan.
“Saya mengambil contoh dari tanggal 6-15 September itu ada penambahan, Kontingensinya ditambah sedikit itu juga karena merespons data-data yang kita pantau terus menerus,” kata Rukmono pada tim kolaborasi akhir September.
“Lalu bagaimana kalau terjadi skenario yang tidak kita inginkan, seperti Spanyol dan yang lainnya? Itu tidak usah ditanya, pasti banyak dari kita yang mati. Itu yang harus kita cegah. Hingga saat ini Insya Allah kita tidak ke arah sana [layanan kesehatan kolaps],” ujar Rukmono yang juga merupakan Direktur Utama RSUP dr Sardjito.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri