tirto.id - "Struktur kekuasaan di Indonesia," kata George Junus Aditjondro di depan para mahasiswa, "ditopang oleh Ha-Ha-Ha-Ha: Soeharto, Habibie, Harmoko, dan Bob Hasan."
Aditjondro, salah seorang intelektual anti-Orde Baru paling sengit, melemparkan lelucon itu di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada 1994. Slogan itu seketika populer di tengah gelombang oposan, dengan tembakan terang belaka: Soeharto segera turun.
Pemerintahan tua itu, yang naik menggantikan Sukarno lewat pembantaian besar-besaran kaum kiri pada 1960-an, telah membenamkan masyarakat Indonesia ke dalam teror, problem akut ekologis dan ketimpangan, dari Aceh hingga Papua.
Di tahun ketika Aditjondro melontarkan lelucon itu, Orde Baru dalam krisis kepercayaan: membungkam pers lewat pemberedelan Majalah Tempo dan Editor serta Tabloid Detik. Langkah Harmoko, sang Menteri Penerangan yang menerbitkan keputusan beredel, yang dipelesetkan namanya sebagai “Hari-Hari Omong Kosong”, direspons dengan protes oleh kekuatan pro-demokrasi dan kelas menengah terdidik di perkotaan—respons yang mungkin belum pernah ada preseden sebelumnya.
Aditjondro sendiri kena serempet dari para kroco rezim militer Orde Baru. Di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga—tempatnya mengajar studi pembangunan sejak 1992 dan episentrum gerakan menolak Waduk Kedungombo—aparat-aparat kekerasan negara mengejarnya dengan tudingan bahwa sang pembangkang “telah menghina penguasa negara”.
Ia bisa menghindari kejaran aparat setelah memilih pindah ke Australia pada 1995. Ia khawatir atas keselamatan diri dan keluarganya. Kepada para kolega ia berkata, “ngeri” membayangkan situasi di penjara ketika seluruh kemampuan terbaiknya diberangus: tak bisa membaca dan menulis dengan bebas.
“Beberapa teman menganjurkan aku tetap tinggal dan terus melawan Soeharto. Dan tidak menjadi pengecut,” kata Aditjondro di hadapan rekan-rekannya bertahun-tahun kemudian.
Tetapi ia tak mau jadi martir yang mati konyol. Dalam pertimbangannya, bagaimanapun, kekuatan-kekuatan Soeharto—yang ia sebut ditopang oleh "tangsi" dan "partai penguasa"—bisa bertindak semena-mena dengan menghabisi nyawa lawan tanpa jejak.
Penakaran Aditjondro persis. Tiga tahun sejak ia diburu, kekuatan ekonomi semu Orde Baru, yang bergantung pada utang, berantakan. Krisis mata uang baht di Thailand pada 1997 menjalar ke Jakarta, memukul rupiah hingga jadi bancakan para spekulan dengan menarik dolar besar-besaran, yang bikin tiris pasar perbankan.
Krisis ekonomi ini merambat jadi krisis politik. Pada periode 1997-1998, muka bopeng Orde Baru tampak: sejumlah aktivis dan mahasiswa ditangkap dan dihilangkan paksa, kekerasan anti-Tionghoa meletus, para demonstran ditembaki, dan daerah-daerah yang mengusung aspirasi separatisme ditindas lebih keras.
Salah satu dari daerah itu, Timor Timur, yang diduduki Indonesia sejak 1975, jadi perhatian serius Aditjondro. Ia adalah penantang keras praktik kejahatan negara-nya Soeharto di wilayah yang dulu bekas jajahan Portugis tersebut. Ia termasuk dalam simpul jaringan gerakan pro-demokrasi yang menyuarakan bahwa perubahan politik besar di Jakarta bakal berdampak penting bagi kemerdekaan Timor Leste. Sejak lama pula tentara-tentara Orde Baru memburunya karena suara lantangnya menjadi "lidah penyambung penderitaan rakyat Timor Timur" ke pers Indonesia dan internasional.
Di Australia, mata tajam Aditjondro tetap menyasar kaum elite Orde Baru. Sejak mengajar di Universitas Newcastle, New South Wales, pada 1996, Aditjondro semakin intens menekuni sumber dan aliran kekayaan keluarga Cendana—nama jalan kediaman Soeharto di Menteng, Jakarta Pusat—sembari mengembangkan teori sosiologi korupsi dan gerakan-gerakan kemerdekaan pascakolonial.
Ia mengumpulkan beragam sumber dan pergi ke sejumlah lokasi vital untuk memetakan kekayaan keluarga Cendana. Dalam satu artikelnya pada 1998, ia menjelaskan puluhan yayasan Soeharto yang jadi "mesin anjungan tunai" bagi sang patron. Aditjondro menyebut kompleksitas jaringan yayasan ini sebagai "oligarki". Kelak, subjek riset ini dipertajamnya terus-menerus sepanjang hayat.
Majalah TIME edisi Asia pada 24 Mei 1999, dalam artikel berjudul “Seseorang dengan misi melacak jarahan Soeharto”, menyebutnya "sang pemuka dunia tentang kekayaan keluarga Soeharto."
Intelektualisme dan Aktivisme Aditjondro
Arianto Sangadji, salah satu karib George Junus Aditjondro dari Palu, Sulawesi Tengah, menyebut GJA—akronim beken Aditjondro—“sepanjang kariernya telah mengombinasikan dua kutub: aktif mengerahkan kemampuan fisik dan mental untuk memproduksi pengetahuan; dan dalam waktu yang sama, karya-karyanya menjadi senjata untuk gerakan-gerakan sosial tempatnya terlibat secara aktif.”
Sejak usia 25 tahun, Aditjondro telah merintis langkah yang bakal disandangnya sebagai "sang pembangkang yang tak takut miskin".
Ia memulai karier sebagai wartawan Majalah Tempo pada 1970-an dengan menulis isu-isu lingkungan yang saat itu masih jadi topik sebelah mata bagi orang Indonesia. Ia mengalami dilema ketika seorang sumber menuduh para wartawan "memanfaatkan penderitaan" orang-orang yang diliputnya, dan mencari laba dari situ, untuk kemudian ditinggalkan.
Pada 1980-an, Aditjondro menanggalkan pekerjaan jurnalistik, lalu bergerak lebih emansipatoris sebagai peneliti. Selama nyaris empat dekade kemudian, ia merambah prakarsa sebagai intelektual yang terlibat dalam sehimpun isu menonjol di sekitar kekuasaan, dari zaman Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Cakupan perhatiannya pun luas: dari korupsi hingga lingkungan, dari hak asasi manusia hingga bisnis militer.
Sebelum banyak orang terjun ke Irian Jaya (nama saat itu untuk Papua), Aditjondro sudah merintisnya sejak 1980-an. Sebuah lingkaran terpelajar di Papua mengenal sejarah pers bukan dari mengikuti “sejarah pers Indonesia”—apa pun definisi dan kategorinya—tetapi lewat Kabar dari Kampung yang dibikin Aditjondro di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa di Irian Jaya.
Aditjondro meninggalkan Papua pada 1984 setelah kawan dan tetangganya, antropolog Arnold Ap, dibunuh para tentara Koppasandha (kini Kopassus). Pengamatannya tentang Papua dituangkan dalam buku kumpulan esai Cahaya Bintang Kejora, yang terbit pada 2000.
Di Sulawesi, sebelum banyak orang memprotes penyingkiran masyarakat hukum adat dan kerusakan lingkungan, ia telah memulainya lewat perjalanan jurnalistik pada akhir 1970-an. Kelak, selepas pulang ke Indonesia pada 2002, ia kembali ke sana: membongkar "bisnis kekerasan" dan "bisnis pengungsi" di Poso, wilayah yang menjadi medan konflik regional pasca-Soeharto.
Selama 1998-2010, Aditjondro setidaknya menulis 11 buku dalam bahasa Indonesia: empat tentang korupsi, tiga amatan isu lingkungan yang diterbitkan serentak, dua soal Timor Leste, dan masing-masing satu buku tentang Papua dan Toraja.
Di antara karya terkenalnya adalah Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari (1998), yang terjual hingga 21.000 eksemplar, dan Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (2010), yang bajakannya beredar luas dan diperjualbelikan loper-loper di perempatan jalan.
Ia juga menulis puluhan kata pengantar dan artikel lepas untuk sejumlah buku dan terbitan dari wilayah-wilayah yang sering ia datangi sebagai pedagog populer maupun peneliti. Seorang kenalannya pernah mengumpulkan seberapa banyak Aditjondro menulis kata pengantar. Jumlahnya lumayan berjibun: 26 buku. Kata pengantar yang ia tulis umumnya bernapas panjang dan memberi konteks serta memperdalam substansi buku-buku tersebut.
Dalam karya-karya ini, Aditjondro memaksimalkan daya nalarnya dengan menyampaikan problem-problem rumit seperti korupsi dengan istilah populer—satu ciri khas dari personanya yang menyukai humor. Menyebut jejaring korupsi kepresidenan, misalnya, ia mengistilahkannya sebagai “gurita”.
Saat menjelaskan oligarki di Indonesia, ia mewarnainya dengan gambaran "reproduksi kekuasaan yang ditopang tiga kaki: istana, tangsi, dan partai penguasa." Memakai teori William Chambliss, sosiolog radikal Amerika Serikat, ia mengidentifikasi bahwa jejaring korupsi tersebut meliputi birokrat, politisi, pengusaha, aparat hukum, serta lembaga yang memberikan legitimasi “ilmiah”.
“Tidak adakah tempat buat lagu, puisi, melodi, goyang pinggul Inul, lukisan, grafiti, atau jokes dalam pengumpulan data atau interaksi kita dengan teman belajar kita?” tulis Aditjondro saat mengenalkan mata kuliah mengenai metode penelitian pada 2006.
Sebagaimana judul tulisannya pada 2002 bahwa "Soeharto telah pergi, tetapi (sifat) rezim belum berubah", Aditjondro menganalisis secara dekat rezim politik otonomi lokal pasca-Soeharto, yang memperbesar sorotannya pada sebaran praktik pemburu rente dan korupsi di daerah-daerah. Ia terus-menerus menguji tesisnya sekaligus menawarkan gagasan penguatan arus gerakan sosial akar rumput, sambil tetap kritis untuk isu-isu pelanggaran hak asasi manusia.Mentor Anak-Anak Muda
Perjalanan intelektual dan aktivisme Aditjondro telah menarik dan mendidik anak-anak muda, terlebih ketika ia kembali mengajar sebagai dosen lepas di Yogyakarta sejak 2005. Banyak mahasiswanya yang memberi kesaksian bahwa Aditjondro adalah "dosen yang sangat rajin membuat dan menulis bahan kuliah," dan membagikannya kepada mahasiswa di kelas pada setiap pertemuan. Ia mendorong para mahasiswa untuk rajin menulis dan tugas-tugas mereka diperiksa dengan telaten.
Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, adalah orang yang berjasa dalam karier akademik Aditjondro. Ben menyetujui lamaran Aditjondro untuk sekolah magister dan doktoral meski tanpa ijazah di kampus yang terkenal dengan kajian Asia Tenggara itu. Indonesianis ini suatu kali pernah bilang, Aditjondro adalah tipe pekerja keras; sosok yang tak pernah ragu dan setengah-setengah bila terlibat dalam pekerjaan apa pun.
Pujian Ben itu dibuktikannya. Aditjondro tetap "suka cita" dengan gaji dosen tamu yang kecil di Indonesia. Ia mengendarai sepeda motor, terkadang menumpang bus kota, dari rumah kontrakannya di Yogya menuju kampus. Ia bilang kepada mahasiswa dekatnya untuk "jangan takut miskin."
Lingkaran-lingkaran persahabatan dan generasi anak didiknya membentang dan menerabas ikatan primordial, bahkan lintas-negara. Ketika ia menghadapi sakit parah pada 2012, merekalah yang turut bersolidaritas untuk meringankan dan mendoakan kesembuhannya. Pada awal September 2014, ia pindah ke Palu, menjalani pemulihan di masa tenang sekaligus melawan salah satu krisis terberat dalam fase hidupnya.
Menjelang Desember 2016, para koleganya, termasuk Arianto Sangadji, menyiapkan sebuah konferensi internasional mengenai Sulawesi Tengah, dan salah satu sesinya khusus membahas peta pemikiran George Junus Aditjondro. Sesi khusus tersebut diselenggarakan pada 19 Desember di Universitas Tadulako.
Namun, sebelum hari pelaksanaan konferensi, Aditjondro mengembuskan napas terakhir pada 10 Desember 2016, tepat hari ini satu tahun silam. Ia meninggal ketika seluruh dunia tengah merayakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional—sesuatu yang diperjuangkannya hampir sepanjang hidup. Jasadnya dikebumikan di Pemakaman Talise, menghadap Teluk Palu yang indah.
Seorang muridnya berkata bahwa Aditjondro, sepanjang aktivismenya, telah terlibat dalam mendirikan lebih dari 20 organisasi nonpemerintah di seluruh Indonesia. "Ia adalah segelintir intelektual Indonesia yang menulis dari nyaris setiap sudut negeri kepulauan ini, termasuk tentang Aceh, Sumatera Utara, Poso, Kepulauan Maluku, Timor Leste, dan Papua," tulis Andreas Harsono.
Salah satu warisan intelektualnya adalah lebih dari 2.500-an buku yang kini tersimpan di Perpustakaan Iboekoe, Yogyakarta. Sebagian besar koleksi pribadi tersebut memancarkan jelajah perhatian Aditjondro, selain buku-buku babon teoritik, plus jejak-jejak tertulisnya dalam penelitian dan perjalanan akademis.
Pria yang tujuan utama hidupnya seakan-akan menyuarakan ketimpangan politik-ekonomi di sudut-sudut Indonesia ini lahir dari keluarga campuran: garis ningrat Jawa-Solo menurun dari papanya dan keturunan Belanda dari garis mamanya. Papanya adalah lulusan sarjana hukum di Belanda yang berkarier dengan kehidupan sederhana. Sebagai Ketua Pengadilan Negeri yang pernah bertugas di Pekalongan (tempat Aditjondro lahir) sampai pensiun di Makassar, papanya dikenal selalu menolak suap.
Di Majalah TIME, Aditjondro berkata: “Anak-anak Belanda memanggilku negro, sementara anak-anak Indonesia menyebutku bule. Jika kau jadi orang marjinal, ketimbang identitas kau lenyap karena terus berusaha dipaksa asimilasi, kau gunakanlah posisi kau sebagai orang marjinal untuk mengungkap semua sisi: mereka yang ditindas, para penindas, dan sistem yang melanggengkan penindasan.”
Penulis: Fahri Salam
Editor: Ivan Aulia Ahsan