Menuju konten utama

Melawan Orde Baru dengan "Media Tidak Jelas" Proyek Blok M

Ketika media-media dibredel dan berita disensor penguasa Orde Baru, sekumpulan wartawan membuat media-media yang sekarang bisa disebut "media tidak jelas." Proyek media bawah tanah itu disebut Proyek Blok M.

Melawan Orde Baru dengan
Goenawan Mohamad, Widarti Goenawan, pengacara Tempo Amir Syamsuddin, Atmajaya Salim, Trimoelja D Soerjadi, Todung Mulya Lubis saat pengadilan gugatan pembredelan TEMPO di PTUN Jakarta tahun1995. Majelis hakim yang dipimpin Benyamin Mangkudilaga memenangkan gugatan TEMPO. Foto/Dokumentasi Tempo/Rully Kesuma

tirto.id - 21 Juni 1994, Majalah Tempo, Detik, dan Editor dibredel. Dua bulan kemudian, para wartawan yang geram atas tindakan pemerintah dan tingkah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berkumpul di Sirna Galih. Tempat itu adalah vila milik Tempo di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.

Dalam pertemuan itu, terbentuklah Aliansi Jurnalis Independen. Ia diproyeksikan sebagai organisasi wartawan yang independen, berbeda dengan PWI yang saat itu dianggap sebagai alat kepentingan pemerintahan Soeharto.

Empat bulan setelah AJI dibentuk, Goenawan Mohamad mengundang beberapa wartawan yang tergabung dalam AJI dan intelektual untuk bertemu di Blok M, satu kawasan di Jakarta Selatan. Yang hadir dalam pertemuan itu adalah Fikri Jufri, Aristides Katoppo, Mochtar Pabttingi, Dahana, dan Andreas Harsono.

Dalam pertemuan itu, Goenawan bilang dia ingin membuat satu yayasan untuk tetap bisa bergerak melawan pemerintah yang otoriter. Mereka setuju untuk berpartisipasi kecuali Dahana. Lalu, Ashadi Siregar dari Yogyakarta dan Sunjaya dari Radio Mara Bandung diundang untuk bergabung.

Andreas Harsono dan Toriq Hadad kemudian diminta untuk menyiapkan rencana pendirian. Yayasan itu diberi nama Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Salah satu donor yang mendanai ISAI adalah US Agency for International Development (USAID).

Cerita ini ada dalam bab terakhir buku Janet Steele berjudul Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia. Buku itu terbit pertama kali terbit di Jakarta dan Singapura tahun 2005.

Bab terakhir itu diberi judul The Ghost—hantu. Ia merujuk pada organisasi media bawah tanah pada 1996 yang memproduksi berita-berita tanpa identitas organisasi yang jelas. Nama penulis dan wartawannya pun dipalsukan. Proyek Blok M, mereka menyebutnya.

Andreas Harsono bilang, nama Blok M dipilih hanya untuk kamuflase. Blok M adalah kawasan yang umum didatangi banyak orang. Jadi ketika mereka menyebut “Mau ke Blok M” tak akan ada yang curiga. Blok M digunakan sebagai kode, sebab organisasi itu tak benar-benar berlokasi di blok M.

Blok M adalah salah satu proyek yang dijalankan ISAI. Ia memproduksi enam layanan berita daring. Awal 1996, para wartawan yang terlibat dalam proyek Blok M ini mempublikasikan Pipa. Ia berisi berita umum. Lalu, ada Bursa yang isinyaberita ekonomi dan bisnis.

Kedua produk ini tak bertahan lama, ditutup karena servernya tak cukup aman. Saat reporter mengirimkan berita, identitasnya bisa ketahuan. Ini jelas berbahaya, sebab jika pemerintah mengetahui identitas orang-orang yang mengerjakan proyek Blok M, mereka bisa mendapat masalah.

“Urusannya nyawa,” kata Andreas. Dalam proyek itu, selain menulis, Andreas bertugas mengumpulkan dana, mencari donor.

Setelah menutup dua terbitan yang dikirim lewat milis surat elektronik itu, Blok M mendapat bantuan dari The Asia Foundation. ISAI mendapat server yang lebih aman dan sistem enkripsi yang lebih canggih. Blok M lalu membuat beberapa layanan berita daring baru. Yang paling terkenal adalah SiaR.

Tak banyak yang tahu di mana letak server Blok M. Bahkan Goenawan Mohamad—otak dari Blok M—atau Andreas Harsono sekalipun tak mengetahui keberadaannya. Ia berada di sebuah tempat aman dan sangat rahasia. Banyak organisasi kemudian membaca dan menyebarkan berita-berita dari Blok M di milis mereka sendiri. Namun, sumber dari berita tersebut tak bisa diakses.

Menurut penuturan Steele, kerahasiaan Blok M sangat luar biasa. Goenawan menunjuk Yosep Adi Prasetyo, mantan wartawan majalah Jakarta Jakarta sebagai pemimpin proyek ini. Adi lalu menggunakan nama samaran: Stanley. Kini, Adi menjadi Ketua Dewan Pers dan lebih dikenal orang sebagai Stanley.

Infografik Blok M

Toriq Hadad dalam wawancaranya dengan Janet Steele mengatakan bahwa mereka mengubah nama setiap bulan. “Jika kau menyebut ISAI, nama saya bukan Toriq. Bulan ini, nama saya diawali T, bulan depan, diawali O. Siapa orang paling bingung? Si operator telepon,” katanya. Tak hanya Toriq, Goenawan juga sering melupakan nama palsu apa yang sedang ia pakai.

Andreas menyebutkan ada sekitar 110 orang yang terlibat dalam proyek Blok M. Sebagian besar adalah wartawan dan kebanyakan merupakan wartawan yang masih aktif bekerja pada media tertentu seperti Kompas. Jadi, sehari-hari, wartawan-wartawan itu akan reportase dengan identitas aslinya.

Namun, berita-berita yang tak lolos sensor untuk dimuat di media tempat mereka bekerja akan dikirimkan ke Blok M. Mereka, wartawan-wartawan Blok M yang tersebar dari Aceh hingga Dili dan Papua, bekerja dan dibayar dengan profesional.

Diperkirakan ada sekitar tiga ribu pembaca reguler produk-produk keluaran Blok M lewat milis. Padahal, waktu itu pengguna internet di Indonesia masih sangat jarang. Blok M juga menerbitkan X-Pos. Oplahnya lumayan, sekitar 50 ribu eksemplar.

Para pegiat Blok M mendeskripsikan apa yang mereka lakukan sebagai jurnalisme advokasi. Saat itu, tak ada cara lain untuk memberitakan kebenaran. Proyek Blok M dihentikan pada 1999 setelah rezim Soeharto lengser dan memberi angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani