Menuju konten utama
12 November 1991

Belajar dari Pemberitaan Tragedi Santa Cruz untuk Konflik Papua

Setelah insiden Santa Cruz, pemerintah Orde Baru sibuk membuat bantahan-bantahan yang disiarkan lewat surat kabar.

Belajar dari Pemberitaan Tragedi Santa Cruz untuk Konflik Papua
Ilustrasi Mozaik Tragedi Santa Cruz. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tahun 1990, film Langit Kembali Biru dirilis. Film itu cukup lama tayang di bioskop-bioskop. Pada November 1991, film ini masuk nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 1991.

“Ada lima judul film yang diunggulkan untuk meraih gelar film terbaik tahun ini, yaitu: Cinta Dalam Sepotong Roti, Langit Kembali Biru, Lagu Untuk Seruni, dan Soerabaia 45,” tulis Angkatan Bersenjata (16/11/1991), sebelum film terbaik FFI tahun itu dibacakan. Juri memutuskan, bukan Langit Kembali Biru yang jadi film terbaik, melainkan Cinta Dalam Sepotong Roti—yang diselipi puisi “Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana” karya Sapardi Djoko Damono.

Namun, seperti dilaporkan Angkatan Bersenjata (18/11/1991), Langit Kembali Biru dapat penghargaan sebagai film yang menggambarkan keadaan dan sejarah daerah. Begitupun Soerabaia 45, yang menggambarkan semangat juang Indonesia. Dalam FFI kali itu, Dimas Haring dan Dias Cimenes, penulis cerita Langit Kembali Biru, diganjar penghargaan Penulis Cerita Asli Terbaik.

Langit Kembali Biru, yang dibintangi idola remaja 1990-an Ryan Hidayat, bercerita tentang Timor Timur. Sonia Dara Carascalao, putri Gubernur Timor Timur (Timtim) yang kala itu menjabat, Mario Viegas Carascalao, juga ikut berperan dalam film tersebut.

Pemenang FFI dibacakan pada 16 November 1991. Empat hari sebelumnya, 12 November 1991, tepat hari ini 29 tahun lalu, terjadi sebuah kerusuhan yang dikenal sebagai peristiwa Santa Cruz. Tragedi itu berlangsung di Dili, ibukota Provinsi Timor Timur.

Bantahan Lewat Surat Kabar Jakarta

“Dili Rusuh, 9 Tewas,” begitu judul berita yang dimuat harian Media Indonesia (13/11/1991). Peristiwanya terjadi pada pukul 07.30 pagi. “Bermula ketika kelompok massa selesai melakukan misa di Gereja Motael Dili yang kemudian bergerak ke kantor gubernur untuk melakukan unjuk rasa,” tulis Media Indonesia. Berita itu senada dengan yang dirilis harian Angkatan Bersenjata (13/11/1991) dalam artikel berjudul: "Kota Dili Tetap Tenang".

Menurut Pusat Penerangan ABRI, aparat keamanan berusaha membubarkan tapi tidak dihiraukan. “Usaha mengatasi situasi yang memburuk, memaksa petugas membela diri dan menguasai keadaan dengan cara tegas, sesuai prosedur yang berlaku,” tulis Angkatan Bersenjata (13/11/1991).

Pihak ABRI menyebut telah menyita tiga granat tangan, sebuah pistol, dan sepucuk senapan laras panjang G-3. “Senjata G-3 merupakan peralatan tempur standar NATO,” ujar Mayor Jenderal Sintong Pandjaitan, yang kala itu menjabat Panglima Kodam Udayana.

Dengan Timor Timur sebagai salah satu wilayah teritorial yang berada dalam tanggungjawabnya, Sintong mengaku kecewa atas kerusuhan itu. Dia menilai ada sekelompok orang di Dili yang menyalahgunakan sikap persuasif pemerintah.

“Kesimpulan dari kejadian tersebut adalah bahwa massa yang terlibat kerusuhan jelas telah terpengaruh agitasi sisa-sisa Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Tim-Tim yang akhir-akhir ini memindahkan kegiatannya ke kota Dili […] kegiatan mereka yang semula ditujukan kepada Parlemen Portugis, namun karena kunjungan dibatalkan, kelompok ini menjadi frustrasi dan melampiaskan kekecewaannya dengan cara-cara yang brutal,” tulis Angkatan Bersenjata.

Sudah pasti, Angkatan Bersenjata (13/11/1991), selaku corong pemerintah dan ABRI, meminta kepada masyarakat “agar tetap tenang dan waspada serta tidak terpengaruh oleh isu-isu yang menyesatkan, dan tidak mudah dihasut oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab".

Masih dalam tulisan serupa, surat kabar resmi militer Indonesia itu memberi peringatan keras: "Secara khusus kepada oknum-oknum gereja dan kelompok-kelompok tertentu yang sering memanfaatkan gereja diingatkan bahwa gereja adalah tempat suci dan tidak selayaknya digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan keagamaan seperti kegiatan politik praktis melawan pemerintah. Aparat keamanan akan tetap memelihara, mengendalikan situasi menindak dengan tegas setiap kegiatan yang mengganggu stabilitas nasional, pembangunan nasional dan ketertiban masyarakat.”

Suara Pembaruan (13/11/1991) juga merilis artikel bernada serupa dengan judul "Pangab: Masyarakat Supaya Tetap Tenang, Jangan Terhasut Provokasi". Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno meminta masyarakat supaya tetap tenang, jangan terhasut provokasi sisa-sisa gerombolan pengacau keamanan (GPK).

Esoknya, 14 November 1991, Angkatan Bersenjata menulis lagi soal Santa Cruz dalam artikel berjudul "Panglima ABRI Sesalkan Kerusuhan di Dili". Terkait isu koran luar negeri yang menyebut jumlah korban meninggal ada sekitar seratus orang, Try membantah.

“Kalau Anda tanya berapa jumlah yang meninggal dan luka-luka, sementara ini diketahui sembilan orang yang meninggal dan ada yang luka-luka. Angka itu bisa bertambah. Tapi yang dikatakan di luar negeri bahwa telah mati seratus orang itu sama sekali tidak benar,” bantah Try Sutrisno seperti dilansir Angkatan Bersenjata (14/11/1991).

“Angka Seratus itu berlebihan,” lanjut Try. Angkatan Bersenjata hari itu juga mencatat, “Try menambahkan bahwa tidak ada orang asing yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Dalam kaitan ini, Jenderal Try Sutrisno mengharapkan pers nasional dapat menjelaskan dengan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat luas.”

Ketika ditanya wartawan apakah setelah insiden orang yang bepergian ke Timor Timur akan dibatasi, Try mengatakan: “Silahkan saja ke Timtim. Saudara boleh masuk. Nanti kalau saya ke sana saudara boleh ikut. Saya nanti Natalan keliling ke sana.”

Sementara itu, Media Indonesia edisi 14 November 1991 merilis artikel "Pangab soal Kerusuhan Dili: ABRI Hanya Membela Diri". Dalam peristiwa itu, ABRI “semata-mata hanya untuk membela diri,” kata Try Sutrisno. Salah satu korban insiden itu adalah Wakil Komandan Batalyon 700, Mayor Gerhan Lantara.

Harian sore Suara Pembaruan (14/11/1991) merilis artikel "Kejadian Di Timtim Akan Diusut Tuntas". Isi beritanya tak jauh beda dengan apa yang dirilis Angkatan Bersenjata esok harinya. Dalam artikel ini disebut, sikap Amerika Serikat—yang dekat dengan Orde Baru—tidak berubah kepada Indonesia setelah insiden.

Besoknya, 15 November 1991, Angkatan Bersenjata merilis artikel "Pemerintah Akan Usut Tuntas Kerusuhan Dili". Pada 14 November 1991 siang, sehari sebelumnya, Angkatan Bersenjata dapat keterangan dari Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Laksamana Sudomo bahwa 19 orang meninggal dan 91 terluka. Setelah peristiwa, 42 orang perusuh ditahan. Senjata yang disita juga bertambah, yakni sepucuk G-3, dua pucuk senapan Mauser, tiga pucuk pistol, lima granat tangan, juga ratusan senjata tajam.

“Di antara korban yang meninggal dalam kerusuhan ini tercatat nama Kemal bin Achmad, warganegara Selandia Baru yang di dalam dompetnya ditemukan SIM atas namanya yang dikeluarkan Kepolisian Malaysia. Ia diduga seorang wartawan yang melakukan perjalanan jurnalistik ke Timor Timur tanpa seizin Departemen Penerangan. Sementara visa yang digunakannya visa turis. Sedangkan diantara yang terluka terdapat dua warga negara Amerika Serikat masing-masing Amy Goodman (wanita) dan Allan Yoseph (pria). Keduanya diduga wartawan yang mengadakan perjalanan jurnalistik ke Timor Timur dengan menggunakan visa turis,” tulis Angkatan Bersenjata (15/11/1991).

Media Indonesia (15/11/1991), dalam artikel "Kerusuhan Dili Direncanakan", juga tak jauh beda beritanya. Bahkan tak lupa diberitakan dalam artikel adanya 200 demonstran di luar Kedutaan Indonesia Canberra, Australia, yang berunjuk rasa. Mereka menuntut Perdana Menteri Bob Hawke membatalkan rencana kunjungannya ke Jakarta,” tulis Media Indonesia.

Try Sutrisno tidak salah ketika dia semula bilang korban 9 dan kemungkinan bertambah. Namun, Try nampak belum dapat laporan adanya warganegara asing yang jadi korban. Orang-orang asing ini berkamuflase sebagai turis, dan menurut pemerintah mereka adalah wartawan yang meliput tanpa izin.

Pada Sabtu 16 November 1991, Angkatan Bersenjata merilis artikel pendek, lebih pendek dari artikel-artikel sebelumnya, dengan judul "Alatas Kecam Pers Asing". Menteri Luar Negeri Ali Alatas menilai, pemberitaan media asing terkait insiden Dili tidak obyektif. “Ia (Alatas) mengatakan tidak benar bila Indonesia bertindak semena-mena seperti diberitakan di media-media asing,” kutip Angkatan Bersenjata.

“Tidak masuk akal bila kita dikatakan melakukan tindakan sembrono di Timtim. Coba bayangkan setelah bertahun-tahun kita mencoba membangun Timtim, masa kita berbuat seperti itu. Di mana logikanya?” kata Ali Alatas seperti dikutip Angkatan Bersenjata.

Infografik Mozaik Tragedi Santa Cruz

Infografik Mozaik Tragedi Santa Cruz. tirto.id/Sabit

Setelah libur di hari Minggu, pada Senin 18 November 1991, Angkatan Bersenjata merilis artikel "Pemerintah Bentuk Komisi Penyelidik Nasional". Komisi ini rencananya akan dipimpin seorang Hakim Agung dengan anggota dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Markas Besar ABRI, Departemen Kehakiman, DPR, dan DPA. Lagi-lagi, seperti tersirat dalam artikel, pemerintah menyayangkan adanya provokasi-provokasi yang meletuskan insiden ini.

Sebelum adanya komisi itu, “menurut Sudomo saat ini ABRI sudah membentuk tim investigasi yang akan meneliti secara tuntas segala hal yang berkaitan dengan peristiwa Dili tersebut. Tim sudah berangkat ke Timor Timur dipimpin Wakil Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) Mayor Jenderal Arie Sudewo,” tulis Suara Pembaruan (15/11/1991).

Mario Viegas Carascalao selaku Gubernur menyatakan akan mengundurkan diri jika insiden itu tak diselesaikan secara obyektif. “Dua jam setelah kerusuhan di Dili laporan dari Gubernur lewat faksimile sudah masuk ke meja saya,” aku Menteri Dalam Negeri Jenderal Rudini seperti dirilis Angkatan Bersenjata (19/11/1991).

Setelah insiden Santa Cruz, Gubernur Carascalao tidak menghadiri pertemuan Konsultasi Nasional Pembangunan. Menurut Rudini, ketidakhadiran Carascalao tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di Dili. Carascalao turun dari kursi gubernur pada September 1992. Setelah Santa Cruz, karier militer Pangdam Udayana Sintong Pandjaitan kemudian terhambat.

Pelajaran dari Tragedi Santa Cruz untuk Kasus Papua

Satu yang pasti, versi pemerintah (yang disebarkan melalui semua media di Jakarta) selalu menyebut (1) jumlah korban yang lebih rendah, dan (2) aparat militer Indonesia tidak bersalah karena hanya membela diri.

Bertahun-tahun setelah kejadian, publik bisa membaca beragam sumber yang lebih variatif tentang Tragedi Santa Cruz. Kontrol negara dan aparat militer terhadap informasi mengenai Tragedi Santa Cruz tidak lagi dominan sehingga siapa pun bisa membaca informasi dari sumber yang lain, baik dari pihak internasional (seperti PBB, Human Right Watch maupun Amnesty International) maupun dari pihak Timor Leste.

Angka-angka yang paling banyak disebut oleh pihak non-Indonesia adalah: korban tewas mencapai 271 orang, 382 orang luka-luka, dan 250 orang hilang. Sedangkan Amnesty International menyebut "paling sedikit 100 orang meninggal" (minimal) dan "kemungkinan lebih dari 270 orang tewas" (maksimal) plus 200an orang hilang.

Angka-angka itu sangat jauh dari yang diakui oleh aparat militer Indonesia. Dan pada masanya, sangat sulit bagi publik di Indonesia untuk mengetahui versi-versi lain karena tertutupnya saluran informasi saat itu. Bukan hanya karena di zaman Orde Baru pers memang tidak bisa leluasa memberitakan, namun juga karena akses terhadap Timor Timur saat itu sangat dibatasi.

Akses terhadap informasi di daerah konflik ini pula yang kini menjadi problem dalam peliputan terhadap Papua. Tidak mudah mengakses Papua bagi para jurnalis dan peneliti. Mekanisme birokratis yang berlapis harus dilewati para jurnalis dan peneliti asing (bahkan termasuk Indonesia) sebelum meliput atau meneliti (di) Papua.

Dikenal istilah "clearing house" untuk mekanisme ini. Ini mekanisme dari pemerintah Indonesia yang melibatkan 18 unit kerja dari 12 Kementerian berbeda, buat menyaring permohonan izin wartawan-wartawan asing meliput ke Papua. Prosedur ini berbelit dan prosesnya lama.

Laporan Human Rights Watch pada 2015 mengenai pembatasan informasi di Papua menyimpulkan ketakutan berlebihan Indonesia terhadap kebebasan pers di seluruh Papua—tak cuma di kawasan tambang Freeport—telah menimbulkan “ketidakpercayaan” dan “disinformasi” yang besar. Buntutnya adalah ketergantungan terhadap sumber-sumber resmi, biasanya dari kepolisian maupun militer Indonesia.

Pada saat yang sama dengan situasi ketergantungan pada sumber-sumber resmi itu, pers sangat kesulitan mengakses sumber-sumber utama dan terdekat di lapangan. Mutu informasi akhirnya relatif rendah karena pers tak mengindahkan seminimal-minimalnya prinsip keberimbangan (cover both side).

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 November 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS & Irfan Teguh