tirto.id - "Fakta tentang George Soros, pria yang menghancurkan Indonesia lewat krisis moneter," tulis situsweb clickbait Boombastis.com.
"Soros mengucurkan dana untuk gerakan-gerakan kiri," tulis situs serupa lain di Amerika Serikat.
"Pria yang menghancurkan ekonomi Inggris," tulis media-media Britania pada 1992 ketika namanya muncul dalam krisis perbankan Inggris pada 1992.
Lima tahun kemudian, "Inggris" bisa diganti dengan "Indonesia", "Thailand", "Filipina", dan "Korea".
Dunia tak pernah kekurangan rumor tentang George Soros. Sosoknya penuh kontroversi. Banyak yang mengecam, tapi tidak sedikit yang diam-diam patuh pada omongannya. Ada kalanya ia seperti peramal. Robert, putra George Soros, suatu ketika mengatakan ayahnya bertindak atas dasar insting, alih-alih teori ekonomi.
"Jerman harus memimpin Uni Eropa atau sekalian keluar," komentarnya pada 2008. Saat itu Jerman tengah mengalami perlambatan ekonomi yang paling parah sejak unifikasi pada 1993.
Sembilan tahun kemudian, Perancis mengeluhkan dominasi Berlin di Uni Eropa. Editorial harian konservatif Inggris The Sunmenyatakan Uni Eropa sebagai "negara federal Jerman yang didominasi Jerman dan terus meluas”. Sosiolog Jerman Ulrich Beck percaya negaranya sedang jadi “Monster Eropa”.
Belum genap sepuluh tahun saran Soros, Jerman menjadi negara kreditor terbesar UE. Kanselir Jerman Angela Merkel dan menteri keuangannya Wolfgang Schaeuble menentukan bagaimana krisis Yunani harus diatasi. Ketika krisis pengungsi merebak dua tahun silam, Merkel mengundang masuk pengungsi asal Suriah tanpa berkonsultasi kepada Uni Eropa.
Soros juga bicara tentang Tiongkok yang menurutnya mendapat keuntungan besar dari globalisasi. Namun, model pertumbuhan yang didasarkan pada ekspor dan investasi sulit dipertahankan di saat tingkat pendapatan stagnan. Perlambatan ekonomi, tuturnya dalam sebuah wawancara, menciptakan pengangguran dan orang memilih untuk menabung.
“Jadi, Tiongkok sudah gagal dalam tiga sektor ini: ekspor, investasi, dan konsumsi,” ujar Soros pada Chrystia Freeland dari Foreign Policy pada 2008.
Tahan Banting karena Perang
Michael T. Kaufman dalam biografi Soros: The Life and Times of a Messianic Billionaire (2002), menyebut Soros sebagai “negarawan tanpa negara.”
Kaufman, reporter senior The New York Times, membungkus kisah Soros bak tokoh-tokoh karangan novelis Horatio Alger: merangkak dari bawah, rajin belajar, dan tekun bekerja hingga akhirnya sukses meraih mimpi-mimpi Amerika, suatu impian yang membuat negeri itu menjadi magnet para imigran yang menginjakkan kaki di Pantai Timur AS dari Eropa demi kedigdayaan finansial.
Soros lahir di Hungaria, 12 Agustus 1930. Usianya baru 13 tahun ketika Nazi menduduki tanah airnya. Pengalaman hidup di bawah pendudukan fasis tampaknya berpengaruh besar pada cara pandang Soros terhadap dunia, yang menurutnya rapuh, rawan perang, kekuasaan otoriter, dan beberapa dekade terakhir, spekulasi finansial—di mana ia salah satu pelakunya. Ia mengatakan riwayat keluarganya yang penuh pergolakan (ayahnya ditahan oleh pasukan Rusia di akhir 1940-an), memberikannya kemampuan “mengelola situasi yang jauh dari ekuilibrium.”
Soros dan kawannya, pengusaha Amerika Jim Rogers, mendirikan perusahaan pengelola investasi global (hedge fund) Quantum Group of Funds. Dalam krisis perbankan Inggris, perusahaan tersebut meraup £1 miliar. Quantum Fund adalah perusahaan pengelola dana investasi yang paling sukses di dunia, tulis Rupert Hargreaves untuk Business Insider. Di bawah kepengurusan Soros, Rogers, dan kemudian Druckenmiller Stanley, investor mendapatkan rata-rata 30 persen dari aset yang mereka titipkan ke Soros.
“Investasi sebesar $1.000 akan tumbuh menjadi $4 juta pada 2000” tulis Hargreaves.
Daily Telegraphmelaporkan, pada musim panas 1992, Soros mengendus devaluasi poundsterling dan berharap keuntungan darinya. Ia meminjam sekitar £6,5 miliar dari Bank of England dan mengonversinya menjadi Deutchmark dan Franc (masing-masing mata uang Jerman dan Perancis sebelum Euro). Perkiraan Soros terbukti. Nilai mata uang Inggris yang semula tinggi segera ambrol. Setelah mengembalikan pinjaman awal, £1 miliar masuk ke rekeningnya.
Spekulasinya juga menjangkau Asia. Krisis Finansial Asia dimulai ketika pemerintah Thailand menetapkan kurs mata uang Baht mengambang terhadap dolar. Dalam posisi tersebut, Soros memainkan skema yang sama hanya dengan dana kurang dari $1 miliar untuk menyerang Baht, yang segera turun nilainya, disusul Ringgit dan mata uang beberapa negara Asia lain, termasuk Korea, Filipina, dan Indonesia.
Mengetahui terjadi spekulasi, Bank of Thailand membeli Baht dengan dolar di pasar valuta asing, menaikkan suku bunga dan membatasi akses orang asing ke mata uang itu selama beberapa bulan pertama. Namun, tindakan ini malah menurunkan kredibilitas bank sentral Thailand. Krisis di Thailand kemudian merembet ke negara-negara tetangganya, termasuk Malaysia dan Indonesia. Dua negara ASEAN ini tercatat mengalami krisis yang cukup parah.
Lantaran krisis menyeret Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyebut Soros "tolol" dan krisis tersebut merupakan "plot Zionis yang tidak senang menyaksikan kemajuan umat Islam." Soros bersikukuh hedge fund tidak memulai krisis; justru masalah diperburuk oleh reaksi Bank Sentral Thailand saat mengetahui keberadaan hedge fund.
Aktivitas Filantropi
Lazimnya para superkaya, Soros mendirikan yayasan—dan dari sanalah segala mitos Soros berkembang. Para pengkritik Soros mengklaim, ia mendalangi krisis di suatu negara dengan cara spekulasi, atau dengan cara memanfaatkan jejaring politiknya. Ketika pelantikan Donald Trump dihujani protes, media-media pendukung baron lahan yasan (real-estate) itu mengeluarkan laporan tanpa verifikasi yang mencantumkan sederet gerakan anti-Trump yang diduga didanai Soros.
Soros sendiri terkenal dekat dengan para elite Partai Demokrat AS. Menjelang pilpres 2004, ia mengucurkan $27 juta ke kas kelompok-kelompok pendukung John Kerry guna menghentikan kebijakan perang Irak di bawah rezim Bush. Pada pemilihan primary 2008, ia mengalihkan dukungan dari Hillary Clinton ke Barack Obama. Pada pemilu terakhir, ia menyumbang lebih dari $25 juta untuk kampanye Clinton.
Kaufman mencatat, antara 1994 dan 2000, kontribusi Soros ke yayasan-yayasannya mencapai lebih dari $2,5 miliar, “bergerak dari $300 juta ke $574,7 juta pada 1998 dan sekitar $570 juta pada 1999.”
Pada 1970-an Soros mulai mengucurkan proyek-proyek kemanusiaan melalui jejaring yayasan-yayasan di negara-negara Eropa Tengah dan Timur, Uni Soviet, dan Afrika. Yayasan Soros beroperasi di 60 negara dan dikelola oleh Open Society Foundations. Ketika Uni Soviet bubar pada 1991, Soros memasok komputer ke sekolah-sekolah dan mendanai pelbagai macam inisiatif pro-demokrasi di Eropa Timur, Asia, termasuk Indonesia.
Open Society, nama yayasan Soros, diambil dari buku sang guru, Karl Popper, yang terbit pada 1945.
Open Society and Its Enemies, judul buku Popper, menawarkan visi tentang masyarakat yang memiliki lembaga-lembaga dengan komitmen memecahkan masalah-masalah sosial dan politik dengan pendekatan pragmatis. Masyarakat model ini, menurutnya, hanya ditemukan dalam demokrasi liberal. Ancaman terhadap masyarakat terbuka ini datang dari ideologi “holisme” atau pandangan politik yang sejak awal mengklaim lengkap, membawa misi sejarah, tidak bisa dibuktikan salah, dan akhirnya utopis. Bagi Popper, rezim fasis dan sosialis adalah contoh rezim yang mempraktikkan holisme ini.
Dalam konteks Perang Dingin hingga dekade 1990-an, gagasan Popper menjadi amunisi untuk mempromosikan demokrasi liberal dan pasar bebas di seluruh dunia, khususnya di Blok Timur dan negara-negara yang baru merdeka pasca-Perang Dunia II.
“Popper berpandangan bahwa kebenaran empiris tidak dapat diketahui secara mutlak,” tulis Soros dalam “General Theory of Reflexivity” (2009). “Hukum-hukum saintifik pada dasarnya hipotetis dan kebenaran mereka tetap perlu diuji. Ideologi yang mengaku menyimpan kebenaran tertinggi sesungguhnya sedang membuat klaim-klaim palsu.”
Titel buku yang awalnya melekat pada Popper kini jadi milik Soros seiring gencarnya operasi yayasan Soros.
Usai krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an, Soros mulai gencar menulis buku tentang rapuhnya pasar finansial. Sasaran kritiknya berubah, dari rezim-rezim otoriter abad 20 ke fundamentalisme pasar yang melanggengkan ketimpangan dan mengancam demokrasi liberal itu sendiri dengan kemunculan politisi-politisi populis sayap kanan.
Namun, Soros bukannya tak percaya pasar bebas—ia tetap mengimani kebijakan deregulasi di seluruh negara. Bagi Soros, politik adalah arena moral; orang dipersilakan untuk bersolidaritas dan mengorganisir pelbagai macam inisiatif publik, mengusahakan distribusi pendapatan, dan membuat regulasi untuk melindungi yang lemah. Namun, dalam ekonomi, semua adalah binatang.
Dalam kritik-kritiknya terhadap fundamentalisme pasar, Soros terlihat sedang memperbaiki sebuah sistem tempat dia terlibat bahkan menjadi pemain utama. Ia bak seorang peretas yang menguji ketahanan Microsoft dengan cara membobolnya, lalu merilis informasi tentang letak kelemahan sistem tersebut. Ironisnya, ia bisa berada di posisi Bill Gates dan si peretas sekaligus.
Pada April 2015, jumlah aset Soros diperkirakan sebesar 25,2 miliar dolar AS.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti