tirto.id - Dalam autobigrafinya Painting as a Pastime (1948), Sir Winston Churchill mengaku mengalami depresi berat dan gangguan kecemasan saat berusia 40 tahun. Pada 1915, Churchill diturunkan dari jabatan Kepala Bagian Politik British Royal Navy secara tidak terhormat. Itu terjadi setelah kekacauan serangan atas Kota Gallipoli, Turki, yang dia perintahkan. Dalam serangan itu, nyawa 250 ribu serdadu Inggris dan Sekutu melayang secara cuma-cuma. Serangan itu pun menjadi salah satu kekalahan terberat Inggris sepanjang Perang Dunia I.
Churchill yang sempat terpuruk itu mengaku bisa bangkit lagi berkat hobi melukis yang ditekuninya. Teknik melukis itu dipelajarinya dari sang adik ipar Lady Gwendoline Bertie yang kebetulan seorang pelukis profesional. Sejak saat itu, Churchill selalu menyempatkan diri untuk melukis di waktu senggang.
Hingga ajal menghentikannya, Churchill menghasilkan total 550 lukisan. Kebanyakan lukisannya menggambarkan en plein airdan pemandangan berbagai tempat tetirah yang dilukisnya langsung di lokasi.
Lukisan Churchill hampir selalu berwarna cerah, didominasi warna pastel dengan nuansa merah muda dan kekuning-kuningan. Lukisan Churchill terlihat feminin bila dinilai murni berdasarkan pemilihan warna dan penggunaan kuas kecil. Brushstrokes-nya terlihat seperti sedang menari secara lugas.
Sebagian lukisan Churchill kini terpajang di National Churchill Museum di Missouri, AS, dan di bekas kediaman Churchill di Chartwell. Lain itu, lukisan Churchill juga menjadi koleksi para kolektor kakap karena harganya bisa mencapai jutaan dolar AS. Salah satu kolektornya adalah Angelina Jolie—yang pada bulan Maret 2021 lalu, menjual lukisan Churchill-nya tentang Kota Marrakesh seharga US$9 juta.
Tokoh lain yang juga menggemari lukisan Churchill adalah Presiden Ke-43 AS George W. Bush. Laman Artsy menyatakan lukisan-lukisan Churchill serta buku autobiografinya juga turut menginspirasi Bush untuk memulai hobi melukisnya sendiri.
Bush kini boleh dikata menjadi pelukis semiprofesional. Bush setidaknya telah menerbitkan dua artbook berisi foto-foto lukisannya. Kedua buku itu sempat mendapatkan gelar “#1 New York Times Bestseller” dan, tak tanggung-tanggung, karyanya bisa dihargai tinggi oleh para kolektor seni. Selain itu, lukisan-lukisannya juga terpajang di George W. Bush Presidential Library and Museum miliknya.
Seperti halnya Churchill, Bush punya kecenderungan melukis dengan warna-warna cerah yang bernuansa merah muda, jingga, dan kuning. Namun, Bush lebih senang melukis potret berbagai orang dari berbagai latar belakang daripada melukis lanskap.
Mantan presiden terbaru yang ikutan melukis adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada awal Agustus 2021, seperti diliput oleh Kompas, SBY dan karya lukisannya tiba-tiba viral di berbagai kanal media sosial. Dalam sebuah foto unggahan Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, SBY tampak berpose di antara tiga lukisan lanskap karyanya.
SBY rupanya mulai dan senang melukis sejak SMP. SBY makin tekun melukis untuk mengisi waktu di tengah pembatasan mobilitas selama pandemi. Lebih dari itu, alasan terbesar SBY melukis adalah mengatasi rasa sedih sepeninggal Ani Yudhoyono. Sebagian besar objek lukisan SBY didasarkan pada foto-foto jepretan almarhum Ani.
Lukisan-lukisan itu nantinya bakal dipajang di Museum SBY-Ani yang sedang dibangun di Pacitan, kota kelahiran SBY.
Cara Menyelamatkan Citra di Mata Publik
Sekilas, hobi melukis para mantan pemimpin negara itu terlihat sangat positif. Churchill dan SBY sama-sama memulai hobi mereka untuk mengatasi luka batin yang pernah mereka alami. Selain itu, subjek dan estetika lukisan yang mereka pilih amat ramah bagi publik dan memiliki pasar yang luas.
Palet warna mereka yang cerah gampang dinikmati oleh semua kalangan dari rentang usia yang beragam. Lukisan-lukisan SBY dan Churchill juga dibuat untuk menumbuhkan perasaan positif penikmatnya.
Casey Lesser dalam artikel “When He Wasn’t Making History, Winston Churchill Made Paintings” menyebut lukisan-lukisan Churchill, “Tidak terlalu revolusioner dari segi nilai artistik, tapi hadir untuk mengingatkan kita akan kegembiraan yang bisa dihadirkan oleh sebuah lukisan.”
Bila dipisahkan dari status perupanya, lukisan-lukisan mereka dari aspek teknik, subjektivitas, dan estetika terlihat layaknya lukisan-lukisan di pasar seni. Bukan pasar seni di galeri atau balai lelang, melainkan pasar seni yang biasa dijumpai di Jalan Braga, Bandung, atau Kota Tua, Jakarta.
Kurator Museum Churchill di Chartwell Katherine Carter, sebagaimana dikutip Lesser, menuturkan, “Saya pikir daya tarik dari lukisan karya Churchill—terlepas dari kualitas artistiknya—akan selalu bertitik pada fakta bahwa ia dilukis oleh Sir Winston Churchill. Saya pikir tidak ada yang salah dengan hal itu.”
Churchill, Bush, atau SBY boleh saja menghasilkan karya seni yang sedap dipandang mata awam, tapi kita memang tidak selalu bisa melepaskannya dari sosok dan reputasi penciptanya. Lukisan-lukisan Churchill bakal dibahas bersandingan dengan ambisi imperialismenya. Begitu pun lukisan-lukisan potret Bush akan dibahas bersama perang-perang yang pernah disulutnya dan lukisan SBY akan bersisian dengan skandal korupsi yang marak di era pemerintahannya.
Pengalaman menikmati lukisan mereka boleh jadi serupa dengan pengalaman saat menonton film Midsommar (2019) karya Ari Aster—horor yang “berwajah” estetis dan cerah.
Kritikus seni dan aktivis asal Zimbabwe Zoé Samudzi dalam artikel “The Ice Man Painteth” mencoba menguraikan pengalamannya mengamati lukisan-lukisan George W. Bush. Menurut Samudzi, Bush seolah ingin menampilkan wajah naif dan cerminan kerinduannya akan politik yang jujur. Tapi, bagaimana orang akan memercayai itu kala mereka menyadari hal itu amat bertentangan dengan kebijakan-kebijakannya selama menjadi presiden.
Di bukunya yang pertama, Bush melukis para tentara AS yang bertugas di Irak dan Afghanistan usai Peristiwa 9/11. Kala itu, dialah yang mencetuskan kebijakan war on terror yang konsekuensinya masih menghantui dunia hingga 20 tahun kemudian.
Bush lalu menampilkan lukisan potret para imigran di bukunya yang kedua. Awam boleh saja melihat lukisan potret kaum imigran bikinan Bush sebagai bentuk hormat. Tapi, semasa jadi presiden, Bush jualah yang mendirikan Department of Homeland Security dan US Immigration and Customs Enforcement (ICE) yang memperlakukan imigran secara tidak adil.
“Kontras antara lukisan Bush dan kebijakannya bisa jadi bukti adanya jurang pemisah antara seni dan kehidupan nyata,” tulis Samudzi.
Beberapa waktu lalu, SBY menghadiahkan sebuah lukisannya kepada anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang juga Ketua Umum Partai Demokrat. Lukisan berjudul “Kokoh Laksana Batu Karang, Lentur Bagaikan Samudera” itu disebut AHY punya makna khusus.
"Ini doa dari Pak SBY bagi saya dan keluarga, bahwa dalam hidup itu prinsip kita harus kokoh, sekokoh batu karang. Tidak boleh patah, atau bengkok-bengkok, terutama dalam menyuarakan kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan juga memperjuangkan rakyat," tutur AHY sebagaimana dikutip Warta Ekonomi.
Langkah SBY itu secara simbolis dapat pula dibaca sebagai cara menaikkan kembali eksistensi dan citranya di mata publik. Selain itu, ia juga dapat ditengarai sebagai cara untuk mengarahkan dukungan publik kepada AHY. Publik tentu mafhum bahwa AHY adalah penerus dinasti politik SBY. Menurut survei Arus Survei Indonesia, AHY memang kembali muncul sebagai kandidat kuat untuk berlaga dalam Pilpres 2024 mendatang.
Seniman Problematik
Tak bisa dipungkiri, di mana pun, seni memang kerap dijadikan sarana untuk mengais simpati publik. Salah satu alasannya adalah karena dunia seni, terutama bidang sejarah seni, punya kebiasaan untuk memisahkan karya dan penciptanya. Kecenderungan ini adalah celah yang kemudian sering dimanfaatkan oleh tokoh publik untuk merevisi kontribusi dan citra mereka dalam sejarah.
Kritikus seni Shannon Lee membahas hal itu dalam artikel “The Picasso Problem: Why We Shouldn't Separate the Art From the Artist's Misogyny”. Lee menggunakan kasus Pablo Picasso sebagai contoh utama.
Menurut Lee, lembaga dan kritikus seni selama bertahun-tahun menginterpretasi karya-karya Picasso dalam koridor akademis murni. Di saat yang sama, mereka mengabaikan perlakuan buruk Picasso terhadap beberapa perempuan yang pernah berhubungan dengannya. Semuanya demi menjaga pemisahan antara seniman dan hasil karyanya.
Beberapa sumber menyebut Picasso kerap melakukan kekerasan seksual dan kekerasan domestik terhadap perempuan yang pernah hidup dengannya. Tapi, kisah-kisah itu lindap dan kalah oleh gegap gempita diskusi sejarah seni yang hanya memajukan Picasso sebagai seorang maestro kubisme dan pemikir seni.
Selain Picasso, masih banyak seniman lain yang kelakuan problematiknya dinafikan oleh sejarah seni. Di antaranya fotografer surealis Man Ray yang menjadi pelaku kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran. Dia juga disebut kerap mencuri ide-ide kreatif para pasangannya. Ada pula pelukis legendaris abad ke-17 Caravaggio yang, selain terkenal dengan teknik chiaroscuro, juga dikenal sebagai kriminal.
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi