tirto.id - Sebagai orang yang lahir, besar, dan kini juga tinggal di Yogyakarta, minum teh itu seperti ritual harian. Satu hari minimal saya meminum satu gelas meski waktunya tak tentu.
Berbeda dengan kebiasaan orangtua saya yang selalu mencecap segelas teh manis hangat di pagi hari, saya kadang minum teh di siang hari yang panas atau di sore hari yang selo. Sebutuhnya dan sepengennya saja. Untuk menjamin keberlangsungan ritual itu, stok teh selalu tersedia di dapur.
Sebenarnya tak ada yang istimewa dari ritual minum teh di keluarga kami. Kami tak memiliki waktu khusus minum teh seperti Ratu Inggris. Kami juga tak punya merk-merk teh tertentu yang harus tersedia – walau ada sih rasa-rasa kesukaan yang berbeda antara saya, Ibu, Ayah, dan saudara-saudara saya.
Tapi itu intermezzo saja.
Beranjak dewasa, saya menyadari bahwa teh yang saya temui di keseharian di Yogyakarta sebenarnya cukup unik. Di kota ini, teh bisa ditemui di nyaris semua sudutnya. Dari angkringan, hingga ke kedai khusus teh semisal Lokalti --yang punya jargon "Tempat Ngeteh Paling Betul" itu. Karena hadir sebagai ritus harian, maka perbedaan di dunia teh Yogyakarta terlihat tipis, halus, serta butuh butuh waktu cukup panjang dan sensitivitas untuk menyadarinya.
Tipe Minum Teh di Yogyakarta
Dari pengalaman selama ini, saya menghitung-hitung ada setidaknya lima tipe minum teh di Yogya (yang mungkin juga sama di beberapa tempat lain). Perbedaan utamanya dilihat dari jenis tehnya, cara penyajiannya, dan di mana minumnya. Ini tentu list versi saya, ya. Kalau kamu punya pengelompokan yang berbeda, monggo berbagi biar ngetehnya makin gayeng!
Tipe yang pertama adalah tipe yang paling ngangeni untuk saya, yaitu teh angkringan. Saya sebut teh angkringan karena memang teh ini sering ditemui di angkringan-angkringan. Teh yang disajikan di angkringan bisa dikatakan semacam teh house blend. Antara satu angkringan dengan angkringan yang lain, rasanya hampir selalu berbeda, tergantung pada pilihan merk teh yang digunakan oleh para bakulnya. Tidak hanya satu merk, karena mereka biasanya memadukan dari beberapa macam merk sehingga menemukan rasa yang pas.
“Kadang-kadang ceretnya nggak dicuci, jadi aromanya makin kuat, Mbak,” ujar teman saya yang juga penggemar teh angkringan.
Tapi yang jelas, biasanya teh angkringan ini memang tersaji kental, panas dan manis. Nasgitel. Segelas teh ditunggu sampai hangat, sambil mengobrol ngalor-ngidul. Teh di angkringan ini sering kali dinikmati untuk sedikit melepaskan penat dan lelah. Kalau kata orang Jawa, biar kemepyar.
Karena modelnya yang kental, minumnya pun enaknya sedikit-sedikit. Sruput-sruput, lalu ditemani aneka camilan yang tersedia di meja angkringan: jadah bakar, tempe goreng, sate usus, atau sebungkus sego kucing dengan sambal teri yang gurih-pedas.
Yang kedua adalah teh yang paling sering saya temui: teh yang disajikan di warung makan. Umumnya teh di tempat ini adalah teh ringan, dengan warna lebih cerah. Bersanding dengan hidangan-hidangan utama di warung makan, teh ini memang fungsinya lebih ke penghilang dahaga. Diminum langsung, tanpa harus menunggu. Kalau kurang, tinggal minta tambah lagi. Harganya pun murah meriah, sehingga pelanggan tak perlu berpikir dua kali untuk nambah.
Mirip dengan angkringan, penjualnya pun memilliki racikan khusus untuk teh di warung makan. Yang paling sering saya temui, racikannya berasal dari paduan hingga tiga merek teh lokal. Meski begitu, ada juga yang memilih untuk tidak membuat racikan khusus dan hanya setia pada satu merk saja.
Teh tipe ketiga yaitu teh suguhan. Teh suguhan ini hadir ketika berkunjung ke rumah saudara atau kerabat dan diberi suguhan minuman teh – atau justru kami suguhkan di rumah untuk para tamu. Biasanya teh disajikan di cangkir-cangkir cantik atau gelas bening yang ukurannya kecil.
Menariknya, teh suguhan ini memiliki rasa teh yang sangat ringan dan warnanya bening. Mungkin sekali ini karena penggunaan teh celup (dan bukannya teh tubruk) untuk mengurangi keribetan dadakan di dapur.
Dulu, pada masa saya remaja, penyajian teh suguhan terhitung cukup ajaib. Saya ingat dengan jelas bagaimana teh-teh bening itu keluar dari dapur dan tersaji di meja tamu. Rasanya manis, tapi aroma teh kurang terasa. Di masa itu, teh suguhan memang kerap menggunakan satu kantong teh celup untuk membuat beberapa gelas teh sekaligus. Tak heran warnanya bening. Yang penting, rasanya harus manis. Yah, konsepnya seperti sirup teh.
“Kalau gulanya kurang, nanti dibilang pelit,” ujar Eyang saat itu.
Untunglah saat ini gula biasanya menjadi pilihan, disajikan dalam wadah terpisah dan tamu bisa mengambil sesuai keinginan.
Tipe keempat adalah teh pawon, yaitu merupakan teh yang dimasak langsung di pawon (dapur tradisional) di suatu rumah, umumnya di pedesaan. Teh model inilah yang sekarang paling jarang saya temui. Terakhir saya menikmati teh pawon adalah ketika saya berkunjung ke desa-desa di sekitar Yogyakarta.
Meski secara penampakan mirip dengan teh suguhan tamu tadi, teh pawon ini memiliki rasa khas. Karena dimasak di dapur tradisional dengan menggunakan api dari kayu bakar, aroma asap ikut merasuk ke dalam teh, menghadirkan segelas teh sepat beraroma asap nan kuat. Lagi-lagi, karena konsep kedermawanan tadi, biasanya teh ini disajikan manis.
Paduan antara rasa manis, sepat, dan aroma asap menancap di ingatan saya hingga saat ini. Belum lagi suasana minum teh langsung di pawon sambil catch-up gosip-gosip sekitar, mulai dari Bu Joko yang mau selapanan anaknya, hingga Mbak Wanti yang baru saja kehilangan perhiasannya.
Saya jadi pendengar saja, sambil mencomot bakwan goreng yang disajikan di piring.
Sementara, tipe teh kelima merupakan salah satu tipe paling populer, tak hanya di Yogya tapi juga di sekitaran Jawa Tengah: teh poci. Seperti namanya, teh poci disajikan dengan poci tanah liat, ditemani 1-2 cangkir berbahan sama. Minum teh poci ini sekarang berkaitan erat dengan kegiatan wisata, karenanya biasanya tersaji di warung-warung tradisional.
Teh poci biasanya hanya menggunakan satu jenis merk untuk tehnya. Kalau merunut gaya teh poci di Tegal, biasanya bungkus tehnya akan disertakan di poci sebagai penutup moncong dan sekaligus sebagai informasi teh apa yang dipakai.
Daun teh di teh poci diseduh langsung di pocinya, serta menggunakan gula batu untuk rasa manisnya. Dan cara yang paling sering dilakukan untuk menikmatinya dengan maksimal adalah mendiamkan gula batu itu hingga larut dengan sendirinya. Kemepyar! Dengan konsep nasgitelnya, teh poci termasuk teh yang tak dapat diminum cepat-cepat.
Tentu saja, sangat mungkin saat ini ada tipe-tipe ngeteh lain yang bisa ditemui di Yogyakarta, seperti aneka teh kekinian di café atau teh bunga artisan. Tapi bagi saya, tipe ngeteh klasik di atas adalah pondasi bagi kegiatan ngeteh di Yogya. Jadi, lain kali ketika kalian berkeliling kota yang menyenangkan ini, coba deh diamati lagi, siapa tahu ada tipe ngeteh lain yang tak kalah menarik. []
Editor: Nuran Wibisono